BAB I
PENDAHULUAN
Kapitalisme
sebagai ideologi dominan saat ini punya pengaruh yang sangat besar dalam setiap
denyut nadi kehidupan manusia. Dominasi kapitalisme tidak hanya dalam wilayah
ekonomi, tapi telah merambah ke wilayah yang lain, termasuk didalamnya dunia
pendidikan. Dalam wilayah pendidikan, dampak yang paling nyata dari dominasi
kapitalisme adalah pada salah satu produk yang dihasilkannya, yaitu “cultur of positivism”. Pengaruh
kapitalisme dan budaya positivisme terhadap pendidikan sangat jelas.
Model
budaya positivisme yang memandang guru sebagai subjek yang mengetahui segalanya
dan murid di anggap tidak mengerti apa-apa. Hal ini disebabkan apa yang
ditekankan dalam proses pembelajaran adalah bagaimana memiliki dan
mengakumulasi pengetahuan, bukan bagaimana memahami, mengkritik, memproduksi
dan menggunakan pengetahuan sebagai alat untuk mengubah realitas. Dengan
demikian diperlukan adanya demokrasi pendidikan, yakni pendidikan dilandaskan
pada visi untuk membangun masyarakat yang demokratis. Demokrasi
pendidikan merupakan suatu pandangan yang mengutamakan hak, kewajiban dan
perlakuan oleh tenaga kependidikan terhadap peserta didik dalam proses
pendidikan.
Pelaksanaan demokrasi
pendidikan di indonesia ini sebenarnya telah diatur sejak diproklamasikan
kemerdekaan hingga masa pembangunan saat ini. hal ini tercantum dalam UUD 45
Pasal 31:
a.
Tiap-tiap warga Negara berhak mendapatkan pengajaran.
b.
Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pengajaran nasional, yang diatur undang-undang.
UU Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan
Nasional Pada BAB IV, Pasal 5, ayat 1 menyebutkan: Setiap warga Negara
mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.[1]
Dengan melihat Undang-Undang SISDIKNAS tersebut apakah realita yang ada
memang sudah sejalan dengan cita-cita demokrasi pendidikan di Indonesia?
Kemudian
ketika membicarakan issu mengenai RUU (Rancangan Undang-Undang) BHP (Badan
Hukum Pendidikan) yang katanya akan mendorong Universitas menjadi world class univercity sebab akan memberikan otonomi kampus seluas-luasnya yang
kemudian dampaknya dicurigai mengarah pada komersialisasi pendidikan. Walaupun
pada akhirnya RUU BHP resmi dicabut oleh Mahkamah
Konstitusi. Kemudian muncul Issu paling baru adalah mengenai Undang-Undang
Nomor 12/2012 tentang pendidikan tinggi. UU PT diharapkan mampu menjadi payung
hukum pengaturan pendidikan tinggi di Indonesia. Kemudian muncul pertanyaan
bagaimana penerapan otonomi perguruan tinggi itu? Dan bagaimana keterkaitannya
dengan BHP dan UU No.12/2012?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Demokrasi
Pendidikan
1. Pengertian
Demokrasi Pendidikan
Istilah demokrasi sebagaimana dalam literatur
politik diambil dari bahasa Yunani kuno, yang terdiri dari dua kata yaitu demos yang bermakna rakyat dan kratos yang berarti kekuasaan, dan
apabila digabungkan menjadi bermakna kekuasaan di tangan rakyat.[2]
Sedangkan pendidikan meburut Ki Hajar Dewantara merupakan proses kebudayaan
yang utuh. Ia tidak saja berurusan dengan pengajaran semata. Tetapi juga
berurusan dengan bakat, psikologi, karakter, dan moral. Pendidikan juga tidak
terbatas pada ruang formal dan non formal belaka, seperti sekolah dan tempat
kursus. Pendidikan meliputi seluruh kehidupan di alam semesta yang dimulai dari
keluarga.[3]
Berdasarkan definisi diatas dapat dipahami bahwa demokrasi pendidikan
merupakan suatu pandangan yang mengutamakan hak, kewajiban dan perlakuan oleh
tenaga kependidikan terhadap peserta didik dalam proses pendidikan.
Hubungan antara demokrasi dan
pendidikan sangat erat dan bersifat saling memberi dan saling membutuhkan. Menurut Dewey,
pendidikan tanpa demokrasi akan menjadi kering, menjemukan dan merana.
Demokrasi adalah system bentuk kehidupan social yang ditandai dengan kontak
interaksi yang terbuka diantara warga masyarakat. Kontak-kontak interaksi ini
memungkinkan setiap individu mendapatkan pengalaman yang tidak terbatas.
Pengalaman yang diperoleh masing- masing individu ada hakikatnya merupakan
pendidikan, sehingga masing-masing individu akan mampu mengembangkan pengalaman
yang diperoleh dan dapat memperhitungkan pengalaman baru yang akan diperoleh
sebagai hasil mendapatkan pengalaman sebelumnya. Tanpa kontak interaksi tidak
akan ada pengalaman, dan tanpa pengalaman tidak ada learning. Dan berikutnya, tanpa ada learning kontak-kontak interaksi sosial sangat terbatas dan pada gilirannya akan membatasi terwujudnya
demokrasi.[4]
Demokratisasi
pendidikan adalah implikasi dari dan sejalan dengan kebijakan mendorong
pengelolaan sektor pendidikan pada daerah, yang implementasinya di tingkat
sekolah. Gagasan demokratis ini didasari oleh pertimbangan yang simpel, yakni
memperbesar partisipasi masyarakat dalam pendidikan,
tidak sekedar dalam konteks retribusi uang sumbangan pendidikan. Kemudian,
gagasan demokratisasi juga dikembangkan dengan sebuah paradigma
baru tentang pelibatan siswa dalam proses pembelajaran, yang juga memberi
kesempatan dalam menentukan aktivitas belajar yang akan mereka lakukan.
Pendidikan
demokrasi merupakan proses sepanjang
hayat. Bermula dari pendidikan keluarga,di dalam masyarakat, di sekolah dasar
hingga sekolah menengah, diteguhkan di perguruan tinggi untuk dilanjutkan sebagai pola hidup dalam berkarya. Pedidikan
demokatis hanya dapat berlangsung dengan lancar apabila kondisi lingkungan juga
demokratis.[5]
Demokrasi
yang ideal adalah pengakuan dan penghargaan terhadap keanekaragaman dan
keberbedaan dalam kehidupan pribadi maupun masyarakat. Demokrasi justru ada
karena pengakuan terhadap pluralisme, terhadap pendapat yang berbeda, dan
kesanggupan menyelesaikan konflik untuk tujuan bersama. Demokrasi adalah suatu
pola hidup bersama dan akumulasi pengalaman-pengalaman yang terkomunikasi
bersama.[6]
2. Paradigma
pendidikan kritis dalam demokrasi pendidikan
Pendidikan pada dasarnya merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Dari mulai lahir (sejak dari buaian),
manusia senantiasa belajar dengan yang terjadi disekitarnya, hingga manusia
lanjut usia bahkan meninggal dunia, ia tetap melakukan prakondisi-prakondisi
dalam melihat persoalan yang dihadapi, dan inilah proses pembelajaran.[7]
Pandangan klasik
tentang pendidikan pada umumnya dikatakan sebagai pranata yang dapat dijalankan
pada tiga fungsi sekaligus ; Pertama, menyiapkan generasi muda untuk
memegang peranan-peranan tertentu dalam masyarakat dimasa depan. Kedua, mentransfer
atau memindahkan pengetahuan, sesuai dengan peranan yang diharapkan, dan Ketiga,
mentransfer nilai-nilai dalam rangka memelihara keutuhan dan kesatuan
masyarakat sebagai prasyarat bagi kelangsungan hidup (survive)
masyarakat dan peradaban.[8]
Dalam
perkembangan berikutnya, ekstensifikasi pengertian pendidikan
tersebut, sejalan dengan tuntutan masyarakat atau “pasar”. Dari sini lalu
pendidikan memainkan fungsi sebagai suplementer, melestarikan tata
social dan tata nilai yang ada dimasyarakat dan sekaligus sebagai agen pembaharuan.[9]
Pendidikan
merupakan pimpinan dan bimbingan bagi peserta didik. Pendidikan menjadikan
prosesnya harus berjalan dengan kebijakan “Learning Process Skill” daripada
“Learning Concept”. Pada pendekatan proses akan ditandai dengan
kurikukulum yang student centered, bukan teacher centered. Peran
guru lebih sebagai fasilitator, mediator, dinamisator, organisator, dan
katalisator yang bekerja keras untuk memberlakukan “dialog” sebagai ruh
yang mendasari hidupnya proses pendidikan, serta tidak mencoba menerapkan sikap
“anti dialog” di dalamnya.[10]
Proses
pendidikan ideal di atas memungkinkan munculnya sikap kritis (prise
conscience) pada peserta didik, di mana persepsi terhadap siswa tidak lagi
ia pandang sebagai “cawan” (yang pasif dan dituangi air ke dalamnya), tetapi
sebagai subjek yang belajar dan bersama-sama dengan subjek yang mendidik untuk
selalu berada dalam derap pencarian makna sesuatu kebenaran. Paradigma
pendidikan semacam ini sering disebut sebagai pendidikan “produksi kesadaran
kritis”. Lebih lanjut, hasil dari proses pendidikan adalah kesadaran kelas,
kesadaran gender, maupun kesadaran kritis lainnya. Oleh karena itu, pendidikan
lebih merupakan pembebasan manusia. Pendidikan merupakan sarana memproduksi
kesadaran untuk mengembalikan kemanusiaan manusia.
3. Demokrasi
Pendidikan di Indonesia
Gloabalisasi adalah suatu keniscayaan yang
takkan terhindarkan. Dari aspek
ekonomi,perekonomian di Indonesia bergerak ke arah perdagangan bebas, hal ini
memperbesar peran tangan-tangan asing untuk menentukan nasib negara-negara
miskin. Aspek social politik Indonesia bergerak dari sentralisasi kearah
desentralisasi, kehidupan politik dan masyarakat semakin demokratis, kebebasan
berpendapat dan berserikat semakin berkembang, dan pers semakin kokoh. Aspek
cultural ditunjukan dengan adanya perubahan perilaku masyarakat termasuk dalam
berkonsumsi. Semakin deras aliran informasi antar bangsa dan semakin intensnya
komunikasi yang terjadi baik dalam sekala nasional maupun internasional.[11]
Globalisasi berdampak luas menyusup dalam segala
aspek kehidupan masyarakat. Dampak tersebut mengakibatkan semakin terpuruknya negara-negara berkembang dan semakin mengokohkan negara-negara maju. Hal ini dikarenakan negara-negara maju memegang monopoli
lima bidang yakni, teknologi, pasar uang dunia, kekuasaan untuk memanfaatkan
sumberdaya alam, media komunikasi, senjata penghancur masal.
Globalisasi dan budaya positivisme membentuk pola pikir materialistik terhadap masyarakat, yang menimbulkan konsekwensi pendidikan bahwa segala
aspek pendidikan akan diarahkan dan difokuskan untuk mengembangkan pertumbuhan
ekonomi sehingga hal-hal yang bersifat nonekonomik akan dikesampingkan. Hal ini akan membentuk fokus
lembaga pendidikan pada client dan customer yang memiliki arti “donator”.
Sehingga lembaga pendidikan akan senantiasa didikte oleh kekuatan penyandang
dana dan tidak lagi mempersoalkan masalah etika dan pengkajian yang kritis.[12] Selain itu lembaga-lembaga pendidikan akan dipegang oleh orang-orang yang
mempunyai modal, dan orang-orang yang kurang mampu akan mendapatkan pendidikan
yang ala kadarnya. Dan terciptalah suatu pandangan bahwa pendidikan milik orang
yang berduit. Dapat dilihat dari Indikasinya, yakni bisnis pendidikan mulai
dirasakan. Maraknya pembukaan program ekstensi atau non-reguler di PTN
(Perguruan Tinggi Negeri) ada kecenderungan untuk memperoleh dana ketimbang
untuk demokratisasi pendidikan. Sehingga pendidikan semakin elitis. Membesarnya
pemungutan biaya yang relatif tinggi tampaknya belum diikuti dengan peningkatan
mutu pendidikan. Karena nuansa bisnisnya semakin menguat, maka orang juga mulai
mempertanyakan eksistensi lembaga pendidikan sebagai lembaga pelayanan publik.
Fenomena lain berbagai gedung pendidikan beralih fungsi menjadi pusat bisnis.
Pelaksanaan demokrasi
pendidikan di indonesia ini sebenarnya telah diatur sejak diproklamasikan
kemerdekaan hingga masa pembangunan saat ini. hal ini tercantum dalam UUD 45
Pasal 31:
a.
Tiap-tiap warga Negara berhak mendapatkan pengajaran.
b.
Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu
sistem pengajaran nasional, yang diatur undang-undang.
UU Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan
Nasional Pada BAB IV, Pasal 5, ayat 1 menyebutkan: Setiap warga Negara
mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.[13]
Akan tetapi pada kenyataannya pada realita yang ada pendidikan di Indonesia
masih jauh dari demokrasi. Hal ini masih banyak dijumpai dalam realitas yang
ada di lapangan. Karena masih banyak ketidak adilan yang terjadi dalam sistem
pendidikan di Indonesia.
Bowles dan Grintis menunjukkan adanya relasi antara sekolah dan
ketidakadilan sosial atau antara sekolah dan reproduksi sosial. Argumennya
adalah hampir semua kasus menunjukkan bahwa mayoritas anak-anak dari golongan
kelas menengah atas akan masuk ke dalam golongan kelas sosial yang sama ketika
mereka nanti beranjak dewasa. Hal ini terjadi karena anak-anak menengah atas
punya kapital dan modal untuk mendapatkan pendidikan yang bagus dan fasilitas
yang sangat memadai. Sementara anak-anak dari masyarakat bawah tidak atau
jarang memiliki kesempatan untuk mendapatkan pendidikan seperti ini. Mayoritas
mereka hanya memperoleh pendidikan yang pas-pasan dengan fasilitas yang tidak
memadai. Dengan mendapatkan kualitas pendidikan seperti itu tentulah mereka
ketika dewasa akan mendapatkan kesempatan yang besar untuk kembali ke kelas
sosialnya semula.[14]
Keadaan seperti itulah yang sat ini dijumpai di Indonesia.
Dengan demikian, yang harus dipertajam dari teori reproduksi kemudian
adalah bagaimana agar sekolah dapat berfungsi sebagai agen untuk memproduksi
sistem sosial yang baru dan adil. Bagaimana sekolah bisa berperan dalam
memperpendek jurang kelas sosial di masyarakat. Tiada plihan lain untuk
merealisasuikan pilihan ini kecuali menjadikan sekolah sebagai productive force, bukan reproductive force.
Jika kita lihat realitas pendidikan di Indonesia, nampak jelas bahwa
pendidikan masih jauh dari nilai-nilai demokrasi. Pendidikan masih bersifat
reproduktif, belum menjadi kekuatan produktif. Ini terlihat dari perbedaan
tajam antara sekolah yang bagus dan mahal (mayoritas dihuni oleh anak dari
golongan menegah atas) dengan sekolah yang kualitasnya pas-pasan dan murah (mayoritas
dihuni oleh golongan bawah). Saat ini hampir sulit ditemukan sekolah negeri
yang bagus, apalagi swasta, dari tingkat dasar sampai tingkat tinggi yang tidak
mahal.[15]
B.
Otonomi
Pendidikan
1. Otonomi
Pendidikan di Indonesia
Perubahan
sistem pengelolaan pendidikan dari sentralisasi menuju desentralisasi, suka
tidak suka, menuntut perubahan di berbagai aspek. Tantangan paling pokok tentu
saja adalah terselenggaranya suatu tatanan yang dinamis dalam pergeseran peran
dan fungsi operasional yang selama ini berada di tangan pusat untuk kemudian
diserahkan kepada daerah.[16]
Secara
politis, sebenarnya menguatnya aspirasi bagi otonomisasi dan disentralisasi
pendidikan tidak terlepas dari kenyataan adanya lemahnya konsep dan praktik
penyelenggaraan pendidikan nasional, khususnya selama Orde Baru. Diantara
masalah dan kelemahan dalam konteks ini meliputi:
a) Kebijakan
pendidikan nasional sangat sentralistik dan serba seragam yang akhirnya
mengabaikan keragaman sesuai dengan realitas kondisi ekonomi dan budaya
masyarakat Indonesia di berbagai daerah. Kebijakan pendidikan nasional hampir
tidak memberikan ruang gerak yang memadai bagi masyarakat di wilayah atau
daerah tertentu untuk mengembangka pendidikan yang sesuai dan relevan dengan
daerah dan kebutuhan masyarakat sendiri.
b) Kebijakan
dan penyelenggaraan pendidikan nasional lebih berorientasi pada pencapaian
target-target tertentu, seperti target kurikulum, yang pada gilirannya
mengabaikan proses pembelajaran yang efektif dan mampu menjangkau seluruh ranah
dan potensi anak didik. Proses pembelajaran sangat berorientasi pada ranah
kognitif dengan pendekatan verbalisme dan pada saat yang sama cenderung
mengabaikan pembelajaran ranah afeksi dan pskomotorik.[17]
Dalam
konteks Indonesia, pendidikan juga harus berperan meng-Indonesiakan anak
bangsa, karena dalam kegagalan tugas ini akan berakibat pada rapuhnya landasan
mental bangsa ini sebagai sebuah bangsa. Dengan mengambil hikmah pengalaman
sejauh ini, kita harus sadar bahwa pendidikan yang terbukti tidak pernah dapat
ditumbuhkan dari bawah tanpa pengertian dan tindakan yang benar.
Sebagai
langkah awal dalam melakukan agenda desentralisasi pendidikan di era otonomi
ini, daerah perlu melakukan analisis-analisis secara mendalam sistem pendidikan
yang sedang berlangsung di daerah masing-masing. Kebijakan yang akan diambil
pemerintah daerah tentu akan berjalan dengan lancar apabila mereka memahami
kelemahan dan kekuatan sistem yang ada. Persoalan yang terkait dengan itu,
biasanya adalah manajemen, kapasitas untuk berubah, anggaran pendidikan,
relevansi kurikulum, perkembangan kebudayaan akan masyarakat, kualitas
pembelajaran serta peserta didik. Analisis secara kritis dan mendalam ini akan
memperlancar guna merumuskan orientasi dan perencanaan pada tahap selanjutnya
hingga pada implementasinya.[18]
2. Otonomi
Perguruan Tinggi
Pertanyaan awal
dari sub pembahasan mengenai otonomi perguruan tinggi adalah betulkah ada
otonomi perguruan tinggi? Atau jangan-jangan yang disebut otonomi perguruan
tinggi itu hanya eufemisme dari “privatisasi”. Hanya saja agar rumusan itu
tidak menimbulkan gejolak di masyarakat, maka dibungkus dengan kata yang halus
dan menyenangkan. Kecurigaan ini patut kita kemukakan bahwa wacana tersebut
baru bergulir setelah masa reformasi, terutama bersamaan dengan perubahan status
PTN menjadi Badan Hukum Milik Negara (PT-BHMN).[19]
Lazimnya dalam
menyikapi setiap kebijakan baru, selalu ada yang setuju dan tidak setuju.
Demikia pula dalam menyikapi kebijakan perubahan PTN menjadi PT-BHMN. Barisan
yang tidak setuju privatisasi ini adalah para mahasiswa yang menyadari
sepenuhnya bahwa kebijakan itu akan berdampak langsung pada kenaikan biaya
pendidikan.[20] Bahasa
‘‘Otonomi Perguruan Tinggi” memang telah melunakkan sikap kritis segenap
civitas akademika. Sehingga, tidak pernah mucul pertanyaan kritis dari mereka
mengenai apa dampak otonomi pendidikan tersebut? Yang sebenarnya malah mengarah
kepada privatisasi.
Pemahaman bahwa
seolah-olah ada otonomi perguruan tinggi itu terjsdi tidak hanya di kalangan
PTN, tetapi juga di Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Ada yang secara lugu
mengatakan bahwa sekarang pemerintah telah memberikan otonomi kepada PTS untuk
mengembangkan diri. Tetapi ada pula yang mengatakan, sekarang PTS justru
semakin tidak otonom, karena kontrol dari birokrasi yang lebih rendah (Kopertis,
misalnya) semakin ketat. Bahkan buklan itu saja, sekarang ada kekuatan-kekuatan
yang tidak teridentifikasi yang bisa turut melumpuhkan otonomi perguruan
tinggi. Diizinkannya pembukaan program studi atau fakultas baru di sebuah PTS,
misalnya, bukan semata-mata ditentukan oleh kesiapan lembaga calon
penyelenggara, tetapi oleh kekuatan-kekuatan yang tidak teridentifikasi tadi.[21]
Bila
diminta untuk mengambil sikap maka penulis setuju oleh Prof. Darmaningtyas
dalam bukunya yang berjudul Pendidikan Rusak-Rusakan
termasuk kelompok yang meyakini bahwa Indonesia sekarang ini, tidak ada otonomi
perguruan tinggi, baik PTN maupun PTS. Yang ada hanyalah ilusi tentang otonomi
perguruan tinggi. Manifestasinya, untuk PTN yang ada hanyalah “privatisasi”,
sedangkan untuk PTS komodifikasi. Baik untuk PTN maupun PTS, yang disebut
“otonomi” hanya sebatas soal pembiayaan, sedangkan soal kewenangan tidak
diberikan sepenuhnya. Secara bodon,
biayane goleko dewe, ning peraturane aku (pemerintah) sing gawe. PTN/PTS tidak bisa memutuskan secara independent apa
yang ingin mereka kembangkan di perguruannya.[22]
Apabila membicarakan mengenai otonomi
pendidikan di perguruan tinggi. Maka kita harus menelaah mengenai issu yang
terkait dengan otonomi pendidikan ini yakni Undang-Undang Nomor 12/2012 tentang
pendidikan tinggi sebagai pengganti dari UU BHP yang disinyalir sebagai wadah
komersialisasi pendidikan.
Sebelum
UU BHP ditolak oleh Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang ini menjadi perdebatan
panjang dikarenakan adanya indikasi komersialisasi pendidikan yang menjadi
muatan didalamnya.
Ada
beberapa pertimbangan pada waktu itu mengapa pemerintah berupaya menggolkan
kebijakan BHP. Pertama, BHP akan mendorong pendidikan Nasional, utamanya
perguruan tinggi, menuju world class
univercity sebab akan diberikan otonomi kampus yang seluas-luasnya dalam
hal akademik, keuangan, administrasi, personalia, dan yang lainnya. Kedua,
negara mengalami kesulitan dalam memenuhi anggaran belanja negara di bidang
pendidikan. Kondisi seperti ini tenu saja akan mempengaruhi pendidikan di
Indonesia. Oleh karena itu, dengan BHP diharapkan tanggung jawab pendidikan
tidak sepenuhnya menjadi tanggungan pemerintah tetapi menjadi tanggung jawab
masyarakat. Ketiga, globalisasi menuntut adanya kompetisi, transparansi dan
aturan sesuai dengan sistem pasar. Untuk menghadapinya perlu restrukturisasi
pendidikan agar akuntabilitas, efisiensi, transparansi, dan mutu lebih
terjamin.[23]
Dari
argumen yang dibangun pemerintah soal BHP tampak jelas bahwa pemerintah akan
mengurangi tanggungjawabnya dalam bidang pendidikan dengan alasan tidak bisa
memenuhi anggaran belanja negara dibidang pendidikan. Otonomi bisa jadi
merupakan kedok untuk mengurangi tanggung jawab pemerintah dibidang pendidikan.
Peran
Bank Dunia terhadap pengembangan pendidikan pada umumnya maupun pendidikn
tinggi pada khususnya di tanah air kiranya memang signifikan, sebab menurut
pengakuannya Indonesia merupakan “the Bank’s largest and most diversified
education program ever undertaken” alias negara penerima pinjaman terbesar
untuk pengembangan program pendidikan paling beraneka ragam yang pernah
dilayani oleh Bank Dunia.[24]
Dengan masuknya Bank dunia dalam urusan pendidikan di Indonesia maka perlu ada
kritisisme terhadap fenomena apa yang sebenarnya terjadi. Karena dimanapun bank
akan selalu mencari provit. Maka kemudian tidak salah kalu pendidikan di
perguruan tinggi akan menjadi mahal dan tidak terjangkau oleh kalangan kelas
bawah.Ini kemudian menunjukkan bahwa memang praktek liberalisai pendidikan
memang benar adanya.
Paradigma
baru pendidikan tinggi pada dasarnya bertumpu pada pilar utama yakni
kemandirian dalam pengelolaan atau otonomi, akuntabilitas (accountabilty), dan jaminan mutu (quality assurance). Pilar-pilar tersebut merupakan sebagian dari
prinsip-prinsip new managerialism
yang ditelurkan oleh pahan neoliberalisme dan yang dipromosikan oleh khususnya
trio lembaga Bretton Woods, yaitu
Bank Dunia, IMF dan WTO.[25]
Jejak-jejak
kebijakan trio Bretton Woods tentang
pengembangan pendidikan tinggi di negara berkembang dalam UU Nomor 12/2012
beserta sejumlah problem yang muncul antara lain sebagai berikut:[26]
1. Jejak
penekanan pada daya saing bisa ditemukan dalam Pasal 4.b, Ps.5.b, dan Ps.46.c.
Namun daya saing ini lazimnya dikaitkan dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi (Ps.10.1, dan Ps.45) dalam percaturan ekonomi dan pergaulan
masyarakat berbasis pengetahuan (Ps.46.e).
Tentu saja dalam konteks percaturan global semua ini merupakan realitas yang
tidak terelakkan, namun sebagaimana diingatkan oleh sejumlah pengamat pemenuhan
tuntutan globalisasi tersebut tidak boleh mengorbankan tuntutan untuk dalam
waktu yang bersamaan memperkuat formasi sosial atau pengembangan masyarakat
dalam diri bangsa yang bersangkutan.
2. Jejak
penekanan pada diferensiasi institusi dan stratifikasi bisa kita temukan dalam
Ps.15 s.d. Ps.25 serta Ps.59. Namun perlu diingatkan bahwa keleluasaan untuk
melakukan diferensiasi dan stratifikasi ini dikaitkan dengan pemanfaatan
kekuatan yang dimiliki oleh suatu lembaga pendidikan tinggi. Bila tidak
dikendalikan secara arif, Liberalisasi ini bisa memunculkan sejenis Darwinisme sosial
manakala institusi-institusi yang kuat (PTN maupun PTS) bisa mengambil semua
peluang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dengan akibat mematikan
istitusi-institusi yang lemah-kecil (PTS) di satu pihak., serta mendorong
institusi-institusi hanya berkonsentrasi pada pengembangan bidang-bidang
disiplin yang langsung terkait dengan dunia bisnis-industri serta mengabaikan
bidang-bidang disiplin lain yang mungkin kurang laku namun mutlak diperlukan
bagi formasi sosial masyarakat kita.
3. Jejak
penekanan pada standarisasi dan akreditasi dalam kaitannya dalam sistem
penjaminan mutu dan kerja sama internasional atau internasionalisasi bisa kita
temukan dalam Ps.29, Ps.40, Ps.50, Ps.51, Ps.55, Ps.75, dan Ps.90. Peningkatan
dan penetapan standar mutu yang tinggi dala pendidikan tinggi memang penting.
Namun sebagaimana telah diingatkan oleh sejumlah pengamat, standarisasi mutu
dalam konteks internasionalisai dan globalisasi cenderung hanya akan
menguntungkan institusi-institusi kuat di negara-negara industri maju.
Pasalnya, standar kualitas yang dimaksud pasti akan datang dari negara-negara
maju. Melalui internasionalisasi perguruan tinggi dalam kerangka GATS (General Agreement on Trade in Services) dan WTO, institusi-institusi di
negara-negara sedang berkembang akan kehilangan kebebasan akademinya dan akan
menjadi penonton atau bahkan korban dari kegiatan impor-ekspor serta
homogenitas pendidikan tinggi yang dilakukan oleh institusi dari negara-negara
industri maju. Situasi serupa diduga akan terjadi dalam relasi antara
institusi-institusi kuat (PTN dan PTS) dan institusi-institusi lemah (PTS) di
tanah air.
4. Jejak
penekanan pada otonomi khususnya terkait dengan akuntabilitas, efisiensi dan
pendanaan bisa kita temukan dalam Ps. 62 s.d. Ps.65. Ps. 76(3), Ps.78, Ps.79,
Ps.83 s.d.87 dan Ps.89(1). Lewat otonomi dan privatisasi Bank Dunia menakankan
antara lain pentingnya institusi pendidikan tinggi (khususnya PTN) melepaslkan
diri dari ketergantungan pendanaan dari pemerintah untuk selanjutnya menggalang
dan mengelola sendiri sumber-sumber dana lain termasuk dari mahasiswa dengan
menerapkan sejumlah prinsip seperti akuntabilitas sebagaimana juga tercantum
dalam Ps.63. Dalam hal ini, langkah pemerintah untuk menyimpang dari arah Bank
Dunia dengan berkomitmen untuk menyediakan dana pendidikan tinggi lewat APBN
seperti tercantumdalam Ps. 83 kiranyab perlu diapresiasi namun tetap perlu
dikawal realisasinya, sebab pada bagian lain tetap tercantum kemungkinan
perguruan tinggi berperan serta dalam pendanaan termasuk dari sumber mhasiswa
(Ps.85) seperti disarankan oleh Bank Dunia.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan:
Dengan
melihat UU Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan
Nasional Pada BAB IV, Pasal 5, ayat 1 yang menyebutkan bahwa ”Setiap warga
Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”. Maka
cita-cita yang ada pada UU SISDIKNAS tersebut masih belum terrealisasi dalam
kenyataan pendidikan di Indonesia. Dengan melihat realitas pendidikan di
Indonesia, nampak jelas bahwa pendidikan masih jauh dari nilai-nilai demokrasi.
Pendidikan masih bersifat reproduktif, belum menjadi kekuatan produktif. Ini
terlihat dari perbedaan tajam antara sekolah yang bagus dan mahal (mayoritas
dihuni oleh anak dari golongan menegah atas) dengan sekolah yang kualitasnya
pas-pasan dan murah (mayoritas dihuni oleh golongan bawah). Saat ini hampir sulit
ditemukan sekolah negeri yang bagus, apalagi swasta, dari tingkat dasar sampai
tingkat tinggi yang tidak mahal.
Mengenai
otonomi pendidikan di perguruan tinggi Indonesia sekarang ini,
sebenarnya tidak ada otonomi perguruan tinggi, baik PTN maupun PTS. Yang ada
hanyalah ilusi tentang otonomi perguruan tinggi. Karena apa yang disebut
otonomi itu sebenarnya lebih condong ke arah privatisasi. Kemudian dalam
perjalanannya UU No 12/2012 sebagai jawaban atas ditolaknya UU BHP juga masih
mengindikasikan adanya campur tangan pihak asing dalam hal ini adalah trio Bratton Wood yang pada ujung-ujungnya
dalah adanya liberalisasi pendidikan tinggi.
DAFTAR
PUSTAKA
A. Supratiknya, Undang-Undang Nomor 12/2012 Tentang Pendidikan Tinggi: beberapa Catatan
Kritis
Assegaf , Abd.Rachman
dan Djohar, Pendidikan Transformatif,
Yogyakarta: Teras, 2010
Darmaningtyas, Pendidikan Rusak-Rusakan, Yogyakarta:
LkiS, 2005
Karim, Rusli, “Pendidikan Islam
Sebagai Upaya Pembebasan Manusia” dalam Muslih Usa (ed), Pendidikan
Islam di Indonesia ; Antara Cita dan Fakta, Yogyakarta ; Tiara Wacana, 1999
Langgulung, Hasan, Beberapa Pemikiran
Tentang Pendidikan Islam, Bandung ; al-Maarif,
1980
Machfudin, “Antara Konsientasi,
Masifikasi dan Gnosiologi Dalam Pendidikan”, Jurnal Insania No 2 Th I, Purwokerto:
IAIN Walisongo Fak. Tarbiyah Purwokerto, 1996
Nuryano, M. Agus, Mazhab
Pendidikan Kritis Menyikap Relasi Pengetahuan Politik dan Kekuasaan, Yogyakarta
: Resist Book,2008
Rosyada, Dede, Paradigna Pendidikan Demokratis, Jakarta:
Kencana, 2007
Saksono, Gatut, Pendidikan Yang Memerdekakan, Yogyakarta: Diandra Primamitra Media,
2008
Sindhunata,Menggagas paradigma Baru pendidikan,Yogyakarta: kanisius,2000
UU SISDIKNAS No 20 Tahun 2003
Zamroni, Pendidikan dan demokrasi dalam transisi, Jakarta: PSAP , 2007
[3] Gatut Saksono,
Pendidikan Yang Memerdekakan, (Yogyakarta: Diandra Primamitra Media, 2008),
hlm.50.
[7]
Dalam Islam, secara normative disandarkan pada sebuah hadits Nabi “Tuntutlah
ilmu dari buaian sampai ke liang lahat”.
[8]
Hasan Langgulung,Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, (Bandung
; al-Maarif, 1980), hlm. 92.
[9]
Rusli Karim, “Pendidikan Islam Sebagai Upaya Pembebasan Manusia” dalam
Muslih Usa (ed), Pendidikan Islam di Indonesia ; Antara Cita dan
Fakta, (Yogyakarta ; Tiara Wacana, 1999), hlm. 28
[10]
Machfudin, “Antara Konsientasi, Masifikasi dan Gnosiologi Dalam Pendidikan”,
dalam Jurnal Insania No 2 Th I(Purwokerto: IAIN Walisongo Fak. Tarbiyah
Purwokerto, 1996), hlm. 8.
[14] M. Agus Nuryano, Mazhab Pendidikan Kritis
Menyikap Relasi Pengetahuan Politik dan Kekuasaan, (Yogyakarta : Resist
Book,2008) hlm. 62.
[24] A. Supratiknya, Undang-Undang
Nomor 12/2012 Tentang Pendidikan Tinggi: beberapa Catatan Kritis, hlm.2, pada
makalah yang disampaikan dalam seminar Nasional “Menyongsong Undang-Undang
Pendidikan Tinggi: Peluang, Harapan, dan Tatangan Untuk Indonesia”, tanggal 10
November 2012.
bgus
BalasHapus