“Kamu pikir Allah hanya membuat kehidupan yang begini saja,
ada beribu-ribu lapis dimensi kehidupan dengan teater dan skema
keaktoran yang bermacam-macam yang kamu tidak mengerti takarannya. Maka
bekal orang hidup adalah rendah hati bahwa sangat banyak yang tidak kamu
ketahui dibanding yang kamu tahu”–EAN-
Forum Bangbang Wetan dengan tema “Takeran” ini dibuka Mas
Amin sebagai moderator dengan memanggil teman-teman pengurus
BangbangWetan diantaranya Mas Agung Trilaksono, Mas Hari Widodo, Mas
Rachman, untuk memberi review pengajian PadhangMbulan yang berlangsung
malam sebelumnya. Dilanjutkan dengan memaparkan pengantar mengenai tema
yang diangkat BangbangWetan malam ini, yaitu "Takeran". Menurut Mas
Hari, “takeran” di sini berasal dari kata "menakar". Dia
mencontohkan akhir-akhir ini banyak kejadian seperti kerusuhan Lampung,
kejadian Syiah di Sampang, dan lain-lain itu dikarenakan kurang tepatnya
kita menakar persoalan.
Sesuai tema tadi,Mas Rachmad, sebagai moderator sesi diskusi
selanjutnya, melanjutkan forum ini dengan memanggil Mas Waldo, salah
satu sahabat Cak Nun dari Bali yang berpenampilan penuh tato dan tindik,
seluruh badannya dipenuhi gelang, anting, dan asesoris lain sehingga
terkesan seperti kepala suku Indian, dengan rambut gimbalnya. Mas
Rachmad mengajak semua jamaah untuk tidak hanya melihat Waldo dari sisi
fisik saja. Bagi pola pikir mainstream, tentu
ini adalah hal yang aneh.Bahkan mungkin tidak bisa disangkal bagi
banyak orang, bisa dikatakan“haram”dengan mas Waldo berpenampilans
seperti ini.Mas Rachmad mengajak kita, dengan bermaiyah, kita berusaha
meniati apa saja untuk menimba ilmu darimanapun dan kita buktikan mas
Weldo malam ini membalik anggapan bahwa takaran kita terhadap manusia
terhormat biasanya mereka yang memakai Jas, berpakaian rapi, takaran
manusia ahli surga adalah mereka yang selalu mengenakan surban, celana
cingkrang, atau mereka yang mempunyai stempel hitam di Dahinya.
Mas Waldo mengawali dengan, "Assalamualaikum..”yang
kemudian mengajak Jamaah Maiyah untuk berpikir, “Coba pikirkan jika
hidup tanpa nilai, biarkan ukuran nilai apa adanya.Kita pun sudah
berlaku musyrik dalam hal bergaul.Sebab kita bergaul dengan
kepentingan.Shalat kita pun juga karena kepentingan.Berhala bukan
musyrik.Musyrik itu perkara penilaian dan perbandingan.Manusia menjadi
menderita karena terombang-ambing dengan kepentingan.Sehingga, nilai
sesungguhnya telah hilang atau mati”, ujarnya.
Mas Waldo menguraikan bahwa kita semua kalau dilihat dari luar yang
kelihatan hanya tubuh saja, padahal menurut mas Waldo, tubuh ini adalah
sebuah kerajaan, yang tentu saja mempunyai Raja yang berkuasa. “Siapa
raja penguasa yang berkuasa pada kerajaan kita, nafsumu atau ruhmu?”,
Tanya mas Waldo.“Anda tidur saya bangun, sedangkan Anda bangunnya dalam
mimpi, sehingga Anda tidak bisa melihat saya bangun, tapi saya bisa
melihat Anda sedang tidur. Dan saya tidak bisa membangunkan Anda tidur,
apalagi kalau tidurnya itu sedang mimpi enak, kecuali kalau Anda sudah
mulai mimpi jelek, begitu Anda sedang mimpi jelek, baru Anda butuh
seorang pembangun, seorang penggugah”. Mas Waldo melanjutkan dengan
pendapatnya mengenai perbedaan antara guru dan Nabi. Tugas guru
menurutnya adalah membangunkan orang-orang yang sudah seringkali mimpi
buruk dalam hidupnya, bukan membangunkan orang yang sedang tidur nyenyak
atau mimpi enak. Sedangkan tugas Nabi adalah memasuki ke dalam mimpi
orang-orang dan berkata “wahai manusia, kita semua masih dalam mimpi
yang sementara, apapaun yang kamu dapatkan dalam mimpi akan sia-sia,
sebab kebenaran hanya akan bisa kamu dapatkan kalau kamu sudah bangun.
Dan bangun itulah akhirat, bangun itulah kenyataan yang sebenarnya”,
jelas mas Waldo. Nah dari sini monggo kita periksa diri kita masing-masing apakah kita sudah bangun atau masih di dalam mimpi.
Menanggapi seorang yang bertanya mengenai ciuman tanpa kepentingan,
mas Waldo merespon, kalau kita sedang berhadapan dengan telur, maka
jangan lantas bayangkan ayam. “Kalau kita ingin menikmati apa saja,
jauhkan dari nafsu, kepentingan itu wujud dari segala nafsu, orang yang
hidup dalam nafsu tidak akan pernah bersyukur, dan tidak akan pernah
bisa menikmati hidup apa adanya, kalau Anda belum paham ini mungkin
masih perlu belajar 10 atau 100 tahun lagi. Untuk belajar kadang
dibutuhkan cukup 2 menit saja, kadang 100 tahun pun belum tentu bisa,
itu tergantung kita picek atau mellek”, terang Mas Waldo.
Waktu Jeda, Mas Rachmad meminta mas Waldo untuk unjuk kebolehan vokalnya
dengan berkolaborasi dengan group musikBananaTree, kali ini Mas Waldo
melantunkan lagu Metallica yang berjudul Nothing Else Matter.
Pak Toto Rahardjo, salah satu narasumber Bangbangwetan malam ini
memulai uraiannya, bahwa kita hidup dalam berbagai peradaban diantaranya
peradaban hati, peradaban pikiran, peradaban perut, dan yang menguasai
pertimbangan kita itu apa? Menurut pak Toto, problem kita sejak kecil
sebenarnya, yang menjadi pertimbangan adalah materi, keserakahan
ketidakpuasan, itulah kenapa banyak koruptor yang menawarkan diri
menjadi pemimpin. Maiyah mecoba untuk melakukan pembelajaran yang lebih
mendalam, tidak sekedar merespon situasi yang ada sekarang, karena kita
tahu situasi yang terjadi sekarang adalah akibat dari penguasaan materi,
semua di materikan, bahkan naik haji yang seharusnya bisa transendental
pun malah jadi materi, bahkan gusti Allah dijadikan materi. Pak Toto
mengingatkan, dulu beliau pernah berkata bahwa orang maiyah wajib
melakukan tafsir. Selama ini begitu kita mendengar tafsir, selalu
kaitannya dengan Qur’an dan Hadist. Malam ini pak Toto mencabut
pernyataan tersebut, karena menurut beliau, tafsir itu memilki tradisi,
memiliki metode yang memang panjang. Jadi maiyah itu bukan tafsir,
kecuali tafsir sehari-hari, sedangkan kalau untuk al-Qur’an dan hadist
itu kita wajibnya adalah tadabbur, mengkaji dan merefleksikan.
“Tafsir itu akan terkait dengan bahasa, ada metode yang harus
dipertanggung jawabkan, dan mulai saat ini saya cabut pernyataan itu”,
jelas pak Toto yang sebelumnya juga mengakui telah melakukan diskusi
menganai hal ini dengan Ustad Nursamad Kamba dan Cak Fuad.
Pak Toto melanjutkan, “Bahwa Cak Nun pernah menjelaskan mengenaiilmu katon,
itu sebetulnya tingkatnya pada tataran materi, dan inilah yang
mempengaruhi peradaban pikir kita, bahkan peradaban batin pun
dipengaruhi oleh material. Maka ukuran-ukurannya pun materi, misal
berbuat baik bisa hanya karena pertimbangan materi. Dalam keseharian
kita sangat dipengaruhi oleh takeran materi. Untuk menjadi pemimpin
harus punya duit, filosofi tidak penting, visi tidak penting”.“Karena
kita meletakkan diri sebagai majelis ilmu maka apa yang dikatakan mas
Waldo malam ini, pasti kita akan ambil sebagai pendalaman ilmu malam
ini, misal tadi bilang siapa yang menguasai kerajaan tubuh kita, materi
atau ruh kita? Ini adalah bahasa tingkat tinggi yang perlu kita dalami
maknanya”, ungkap Pak Toto.
Cak Priyo Aljabar menceritakan pengalamannya bertemu dengan berbagai
komunitas atau simpul Maiyah di berbagai daerah. Cak Priyo menceritakan
bahwa komunitas Maiyah yang ditemuinya bermacam-macam, diantaranya
Komunitas yang mendalami kesenian sastra dan musik, ada juga simpul
Maiyah yang menekuni urusan“bedah langit” dengan wirid dan
istighosah di daerah Tunggal Karep Tuban, simpul Maiyah di lereng gunung
Penanggungan, dan sebagainya. Dengan bermacam-macam karakter yang ada,
Cak Priyo berpesan, “Ojok ngadili gae ukuranmu, sesama siswa
dilarang mengisi raport teman, Waldo punya karakter seperti itu dengan
berbagai caranya, ya itu Maiyah, melingkar tidak ada yang di atas, tidak
ada yang di bawah, tidak ada yang di depan belakang, rukun, semuanya
sama. Kebersamaan ini yang sebetulnya ingin kita wujudkan” tegas Cak
Priyo.
Selanjutnya Cak Priyo meminta group musik BananaTree untuk melantunkan
lagu Bon Jovi terbaru yang berjudul Sewu Kutho, dengan aransemen
bossanova disambut applaus Jamaah.
Tiba saatnya Cak Nun menyampaikan uraiannya dengan mengajak kita
semua untuk mulai menakar apa saja yang kita peroleh dari diskusi malam
ini. Cak Nun mulai menjelaskan mengenai kata Ngaji.Ngaji itu berasal
dari kata aji, kemudian melahirkan 2 kata benda. yang satu “me-ngaji”
yang kedua “men-kaji”. Kalau “meng-kaji” itu berarti dipersepsikan,
ditaker, dianalisis, dihitung, dilakukan hipotesis, kemudian diambil
kesimpulan. Sementara “me-Ngaji”
tidak mengutamakan proses kognitif, proses deskriptif, perumusan,
sistematika berpikir seperti halnya “meng-kaji”. “Meng-aji” itu fokus
pada apa saja yang bisa meninggikan aji kita. Aji itu berasal dari kata
Jawa, sedangkan kalau dalam bahasa Arab, bentuk dari kata Aji ini di
bagi dua, yaitu derajat dan martabat. Derajat adalah “ajine wong urip
nang ngarep e wong sing gae urip”, sedangkan Martabat adalah “Ajine wong
urip” di antara sesamanya.
Berbeda dengan pendapat Mas Waldo tadi, menurut Cak Nun orang hidup
itu harus punya kepentingan. Kepentingan itu berasal dari kata
penting, itu wajib. Jadi pertama, harus bisa dibedakan, dalam hidup ini
yang penting mana yang tidak penting mana. Yang kedua, penting untuk
siapa, lebih baik mana pentingmu sendiri atau pentingnya orang banyak.
Yang mana yang dinomorsatukan. Kita balik ke wacana Maiyah kita dulu,
bahwa bener itu ada 3 macam, benernya sendiri, benernya orang banyak,
benernya yang sejati. Benernya sendiri melahirkan egosentrsime,
melahirkan egoisme kalau sudah berada dalam struktur kekuasaan akan
melahirkan monopoli, melahirkan nepotisme, korupsi, melahirkan “tahlilan
di pesantren maupun di tempat kiyai”. Cak Nun menjelaskan Idiom
“Tahlilan”, “Pesantren” “Kiyai” sekarang dipakai oleh koruptor untuk
mengaburkan istilah yang sebenarnya. Para koruptor sudah menggunakan
ideom yang lebih Islami. Kata “Tahlilan” yang dimaksud adalah meeting
atau pertemuan, “pesantren” adalah dinas atau kementrian yang
mengeluarkan proyek untuk dikorup, sementara “Kiyai” adalah istilah
untuk menyebut anggota DPR atau pejabat tertentu. Dengan cara seperti
ini maka semakin mencairkan dan mengaburkan takeran komunikasi,
sehingga ketika kata “Tahlilan” ini disadap oleh KPK misalnya, maka itu
tidak akan menjadi fakta hukum.
Jowo Digowo, Arab Digarap, Barat Diruwat.
Cak Nun menguraikan bahwa ada takeran bahasa sastra, takeran bahasa
hukum, bahasa budaya, bahasa diplomasi, yang bermacam-macam takerannya.
Apa yang dikatakan mas Waldo tadi sebenarnya adalah takeran pencarian
diri yang sifatnya sufistik, maka jangan dipahami secara akademis. Ada
takeran yang sangat baik untuk kita pelajari yang didapatkan dari
Maiyahan Merapi beberapa waktu yang lalu, yakni Jowo Digowo, Arab
Digarap, Barat Diruwat. ini tinggal di elaborasi secara ilmu. Kita lihat
saja kebanyakan kita menjadi orang Indonesia yang tidak pernah membawa
Jawa-mu, disentron dijadikan ejekan, cenderung meninggalkan kearifan
yang baik dari Jawa.
Cak Nun melanjutkan uraiannya dengan bertanya pada Jamaah, “Kamu tahu
Abu Jahal?” Dia adalah paman sekaligus musuh Nabi. Kira-kira Dia itu
menamakan dirinya sendiri seperti itu, apa orang Islam yang menyebut
dirinya menyebut Abu jahal? Sekarang kalau aku menyebut diriku Abu Jahal
itu baik apa tidak? Kalau aku memilih untuk merasa diriku buruk, itu
apik ta elek? Kalau dalam bahasa jawa itu itu iso rumongso. Terus kalau
aku ngarani awakku dewe koyok nabi, aku iku alim,
sholeh, itu baik atau tidak? Jadi lebih baik mana, orang yang menyebut
dirinya baik, atau menyebut dirinya buruk?”, tanyak Cak Nun, yang
serentak Jamaah menjawab dengan pilihan kedua. Nabi-nabi atau Rasul
menyebut dirinya baik atau jelek? Semua Nabi menyebut dirinya dholim,
menyebut dirinya fakir. Nabi Muhammad hanya menyebut jabatan resmi dari
Allah yakni sebagai utusan Allah, dan yang menyebut Nabi Muhammad itu
Nabi atau Rasul itu tidak lain adalah Allah sendiri, tidak mungkin nabi
menyebut dirinya sebagai Nabi.
Mas Weldo pernah menyampaikan kepada Cak Nun di acara Maiyahan Bali,
bahwa dengan ia berpakaian dan berpenampilan seperti ini maka tidak ada
seorang pun yang berpikir bahwa ia punya kebaikan. “kalau Anda
berpenampilan necis, gamis, orang pasti akan berfikir bahwa ia orang
alim, orang baik, tidak mungkin menipu, tidak mungkin manipulasi. Dan
kalau ternyata orang yang berpakain sorban dan gamis yang indah itu
ternyata bukan seperi disangka bahwa dia itu orang baik, maka yang
terjadi adalah penipuan. Kalau aku menyebut diriku Habib, sehingga orang
menyangka sebagai keturunan Rasulullah itu kan merepotkan banyak orang,
sehingga nanti akan banyak orang yang sibuk mencari, browsing
di internet melacak silsilah saya, itu kan bikin repot. Makanya disini
gak usah merepotkan, tinggal panggil Cak Nun saja sudah cukup, itu saja ,
tidak usah repot-repot dan itu tidak akan mengandung penipuan, kalau
hanya panggilan Cak, itu kan sekedar keakraban biasa”, jelas Cak Nun
disambut tepuk tangan Jamaah.
“Makanya begitu sekarang ada yang menyebut saya lebih bahaya dari
syiah, saya sangat berterima kasih. Orang yang menjahati kita adalah
orang yang berjasa untuk mengambil kearifan diri kita untuk kita
terapkan kepada orang yang menjahati kita itu. Jadi gak apa-apa, di
Islam itu semua tidak ada masalah”, sambung Cak Nun.Bahkan Cak nun
berharap, sekalian saja dianggap lebih berbahaya dari Iblis, karena
sebenarnya Casting-nya Iblis sudah jelas dalam teater-nya
Allah, tugasnya sudah jelas, dan kita tidak masalah dengan Iblis karena
kita sudah punya takeran, Iblis juga punya takeran.
Cak Nun menjelaskan bahwa rumusnya Iblis itu jelas, semua akan dirasuki,
semua akan dimasuki ke dalam aliran darahnya kecuali orang yang ikhlas
seperti kanjeng Nabi.
Lebih dalam Cak Nun mengeksplorasi mas Waldo dengan menyebutnya
sebagai monumen keyakinan. Mas Waldo membuktikan bahwa ia berani
menanggung resiko yang sangat-sangat besar. Kita tidak tahu sholatnya
bagaimana, jangan merasa menjadi petugas-nya Allah dengan menilai
negatif terhadap penampilan mas Weldo. ”Sing nduwe iki sopo?, Allah.
Terus takeranmu dengan takeran Gusti Allah itu lebih tepat mana? Mau
saingan sama Allah? padahal Allah itu punya takeran yang al-Lathief,
sangat lembut. Kita kan materi yang kita lihat”
Tadi mas Waldo mengatakan, akherat itu kalau kita sudah bangun, Nabi
itu tujuannya masuk dalam mimpinya orang. Dengan pernyataan tersebut Cak
Nun berpesan bahwa itu jangan ditangkap sebagai nash,
informasi resmi agama.Kalau dia mengatakan Nabi bertugas memasuki mimpi
manusia, itu adalah bahasa rohani dan puisi dia, pahami bahasa puisi dan
bahasa sastra. “Jamaah Maiyah itu sering bertemu saya melalui mimpi,
hampir tiap hari mendaftar mimpi ketemu dengan disuruh begini, disuruh
begitu, kalau kita terapkan pernyataan mas Weldo tadi berarti saya ini
kan seorang Nabi?”, kata Cak Nun disambut tawa Jamaah.
“Orang kok berhenti dan dipaku pada meteri, kamu pikir kalau orang
sudah ruku’ sujud itu sudah dikatakan sembahyang? Kalau cuma pura-pura
bagaimana? bagaimana caranya kamu bisa tahu dia itu sembahyang atau
hanya pura-pura saja? Bisakah kamu menembus hatinya? Mengerti kamu
niatnya? Lah kamu kok percaya kalau dia sembahyang atau tidak. Jadi
letak takeran utama orang sholat itu bukan pada materi, meskipun
tanda-tanda pengabdian kepada Allah antara lain melalaui fasilitas
materi, tapi materi itu sendiri tidak bisa menjadi takeran”
Suatu ketika ada Kiai dari Jawa Tengah, berkunjung dan sowan kepada
Kiai Hamid Pasuruan, setelah sowan dan bermaksudpamit akan pulang, Kiai
Hamid menitipkan salam ke Kiai tadi untuk disampaikan kepada seorang
gelandangan yang biasanya menempati perempatan di Pasar Kendal. Setelah
pulang, Kiai tadi akhirnya bertemu dengan gelandangan yang dimaksud,
disampaikanlah salam dari Kiai Hamid tadi. Kontan saja si gelandangan
tadi langsung marah-marah dan berkata keras, “Hamid iku yo’opo,
aku sengaja menyamar puluhan tahun kok, malah diumum-umumkan, kalau
begitu caranya lebih baik aku mati saja”, saat itu juga orang biasa
disebut “gelandangan” ini langsung mati ditempat seketika itu
juga.Kesimpulannya, Apakah ia disebut gelandangan atau bukan?
Gelandangan itu kan perjanjian orang banyak mengenai suatu keadaan yang
disebut gelandangan. Padahal ada banyak Waliyullah yang diperintah Allah untuk menyamar menjadi gelandangan.“Kamu
pikir Allah membuat kehidupan yang begini saja, ada beribu-ribu lapis
dimensi kehidupan dengan teater dan skema keaktoran yang bermacam-macam
yang kamu tidak mengerti takarannya. Maka bekal orang hidup adalah
rendah hati bahwa sangat banyak yang tidak kamu ketahui dibanding yang
kamu tahu”, tegas Cak Nun.
Merespon pertanyaan dari salah seorang jamaah mengenai “ciuman tanpa
kepentingan” yang sempat disamapaikan diawal, Cak Nun menjelaskan,
“Hidup yang penting itu apa, fisiknya, ruhnya, muatannya atau apa? Maka
ketika Anda sudah tua, istri anda juga sudah menua, Anda sudah tidak
mendapatkan estetika dan kecantikan seperti 20 atau 30 tahun yang lalu,
terus kepentinganmu apa ketika engku tidur bersama istrimu? Maka kamu
jangan mengabdi kepada istrimu, kamu jangan mengabdi kepada
suamimu,kalian berdua mengabdi pada Allah-Mu, ketika engkau menyetubuhi
istrimu bilang Ya Allah aku menggauli istriku karena aku rindu kepadaMu,
karena aku rindu kepadaMU, ini untuk-Mu ya Allah. Karena kepentingan
kita adalah hanya untuk Allah.Semua bahagia dan deritaku di dunia hanya
untukMu ya Allah, tidak ada enak tidak ada tidak enak, semua kita
lakukan Lillahi ta’ala.. Allahu Akbar.. Allahu Akbar.., wes engko bengi praktekno”, Cak Nun langsung disambut gemuruh jamaah.
Melanjutkan pembahasan yang tadi bahwa apapun yang datangnya dari
Arab itu harus digarap, diramu dengan kebudayaan Jawa, bukan berarti
Islam yang dijawakan, tapi aplikasikan dengan ramuan budaya meskipun
ibadah mahdohnya sama, tapi ibadah muamalahnya beda. Misal
budaya menyambut tamu, memuliakan orang tua di Arab, di Jawa itu beda.
Ketika kita menghormati tamu demi mentaati Islam, yang kita bawa kesini
bukan arabnya, tapi inti dari menghormati tamu itu kita cari dengan
kebudayaan kita sendiri. Yang terjadi selama ini Arab tidak digarap,
langsung diterapkan begitu saja, ditelan tanpa diracik, yang pinter
ngaji ngenyek yang gak pinter ngaji, yang gak pinter ngaji cara alasan
lain untuk ngeyek yang pinter ngaji. Di daerah Jawa Tengah kebanyakan
orang melantunkan “alkamdulillagi rabbil ngaalamiin...” dinyek
sama orang yang dari Jawa Timur yang bisa melafalkan huruf “Ain” dengan
baik. Bilal, salah seorang sahabat yangsangat dicintai Rasulullah
karena begitu kuat imannya,Ketika ia adzan dan melantunkan “asyhadualla
ilaha illallah..”, ia tidak bisa mengucapkan huruf “Syin”, lidahnya
hanya bisa mengucapkan huruf “Sin”. Sahabat Nabi yang protes
dengankeadaan itu. Nabi menjawab secara diplomatis, bahwa “Sin”-nya
Bilal itu “Syin”. Singkat namun tegas. Sebagaimana dulu pernah kita
membahas mengenai bunyi atau suara kokok ayam. Bagi orang Jawa, kokok
ayam disebut “kukkuruyukk”, sementara “kukkuruyuk”nya orang Sunda adalah
“kokkorongkong”, dan “kongkorongkong”-nya orang Madura adalah
“Kukkurunnuk”.
Dengan cara diplomasi Rasulullah tadi, Cak Nun mengajak kita untuk
mencari kearifan Rasulullah, kesantunannya, tingkat keilmuannya, silakan
cari sebanyak-banyaknya, supaya kita mempunyai kearifan dan kesantunan,
tidak gampang menghujat orang lain. Dulu ulama hanya berjumlah 9 orang
yang kita kenal sebagai Walisongo, mengislamkan berjuta-juta
orang. Sekarang Ulama-ulama pekerjaannya kebanyakan adalah mengeluarkan
orang dari Islam. Kita lihat saat ini betapa seringnya ulama
bilang“kafir itu”, “bid’ah itu”, “sesat itu, “halal darahnya
itu”.Mengenai fatwa “Halal darahnya”, Cak Nun menanggapi secara retoris,
kalau memang ada fatwa seperti itu sebaiknya segera bunuh saja,
jikacuma sekedar berfatwa “halal darahnya” tapi tidak pernah dilaksakan
dengan membunuhnya, maka Allah akan Marah : ..” kenapakah kamu
mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di
sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”(QS.
Ash Shaff 61: 2-3). “Maka kita mengharapkan dan merekomendasikan para
Ulama yang memfatwkan kepada golongan orang-orang yang “halal darahnya”
segeralah bunuh mereka, tak tunjukkan siapa saja yang halal darahnya
itu, Kabeh kok dadi Gusti Allah”, sindir Cak Nun.
Disampaikan oleh Cak Nun, ada tingkatan-tingkatan“Takaran” yang harus diperhatikan :
- Tingkatan terendah yakni Walayathul Khawas, menyangkut dimensi pada wilayah fisik atau materi, atau bisa disebut ilmu katon.
- Diataskhowas, yakni Walayatul Hifdzi, menyangkut ilmu katon, namun tidak terlihat, seperti halnya RAM/memori. Kaitannya dengan masalah IT, komputer, teknologi digital, dsb.
- Walayatul Khoyal (hardware atau Khowas tadi dan Hifdz/software tadi disimulasikan, dianimasikan dengan khayalan imajinasi dan aspirasi otak dan rohani manusia. Industri atau kapitalisme mengabdi kepada Khowas/materi, termasuk juga wilayah Hifdzi, Wilayah Khoyal ternyata juga diabdian kepada khowas. Bahkan sekarang semua ke khowas, termasuk juga agama, alqur’an, Kiai, Habib, Gus, semua mengabdi kepada khowas. Di tiga wilayah ini (Khowas, Hifdzi, Khoyal) kita sudah terbiasa kalah. Orang tidak punya kecenderungan untuk menguasai di tiga wilayah ini.
- Walayatul Fikr, wilayah filosofi dan pemikiran.
- Walayatul Fa'al, sebagai tingkatan paling atas/tertinggi.
Orang Jawa tidak mau dan tidak punya kecenderungan untuk
berkecimpung di tiga wilayah ilmu katon ini, bagi orang Indonesia ilmu
katon ini cuma dibuat mainan. Misal untuk ilmu katon, “kamu kok pilih
presiden SBY?” Bagi orang Indonesia memilih SBY itu bukan peristiwa
politik. “Kamu kok mau disogok 50 ribu rupiah menjual kedaulatan untuk
milih bupati yang nyogok kamu?”Orang
Indonesia tidak bisa menjelaskan, tapi yang terjadi pada mereka adalah
mereka bukan menjual kedaulatan, mereka dapat uang 50 ribu rupiah
diterima, suruh mencoblos ya nyoblos, tidak ada urusannya sama
kedaulatan. Orang Indonesia itu kedaulatan opo iku gak mikir, pancasila
itu itu benar enggak yo babbah, negara Indonesia itu ada atau tidak ada
itu podo ae, pemerintahnya siapa saja gak ono bedane, Presiden ganti
sehari empat kali yo monggo.Jadi tidak ada perisiwa politik, orang
indonesia tidak punya keseriusan disitu.
“Orang Indonesia adalah penghuni di wilayah tertinggi, Walayatul Fa’al, mereka
menunujukkan kehebatan tidak di dalam pertandingan, tapi menunjukkan
kehebatan dalam kehidupan. Kita tidak hebat dalam pertandingan, karena
kehebatan kita itu otomatis kita langsungkan dalam kehidupan. Meraka
tidak pernah ikut pertandingan balap F1, tapi kalau mau beneran balapan,
silakan datang kesini untuk nyopir Bus di Pantura dengan Bus Sumber Kencono kalau berani?”, tantang Cak Nun
Kalau misalkan berlangsung perang secara resmi, kita tidak pernah
bisa serius, tentara kita tidak punya peluru yang cukup untuk sekedar
latihan. Tapi kalau tawur, siapa yang lebih berani dari kita? kita
adalah jagoannya. Dimana-mana tidak ada yang mempunyai budaya tawur
seperti di negara kita, paling mentok tawur antara buruh
melawan polisi. Kalau disini, sesamapengurus Masjid, sesama Islam,
sesama Pelajar, sesama Mahasiswa saja tawuran. “Tawur kan sahabat kita
sehari-hari”, kata Cak Nun,“Anak SMA kok dilarang tawur, terus dikonkon
lapo? Tawur
adalah Pertentangan yang tidak ditata. Apakah pertentangan antar Parpol
itu tertata tidak secara ilmu dan sosiologi? Apakah pertentangan antara
Anas dan SBY tertata tidak secara manajemen konstitusi kita? Sing gak
tawur iku sopo? Semuanya tawur. Dalam beragama kita tawur, takarannya
juga terkadangngawurdengan gampang menyesatkan orang lain”.
Ilmu yang diberlakukan di Indonesia itu adalah ilmunya dari
orang-orang Amerika yang tidak punya pengalaman hidup seperti orang
Indonesia, mereka tidak punya keberanian hidup sebagaimana keberanian
orang-orang Indonesia. Mereka adalah orang yang tidak pernah hancur,
sebagaimana kita hancur dan tidak hancur oleh kehancuran itu. Mereka
adalah orang yang tidak berani kawin tanpa pekerjaan, sebagaimana Anda
kawin tanpa pekerjaan. Mereka tidak punya “bismilllah” yang di Indonesia
itu modal utama.Jadi Indonesia itu adalah champion of life. Kita itu
penduduk dari wilayatul Fa’al, berasal dari Fa’alul lima yurid,
Allah itu maha bekerja, Maha hidup dan menghidupi, jadi orang indonesia
adalah juara di dalam hidupnya. Kita bukan juara di turnamen-turnamen.
Begitu juga ini acara Maiyahan seperti ini kan sebenarnya juara. Mana
ada di seluruh dunia ada acara sampai jam 3 pagi, orang duduk tenang,
ikhlas gembira. “Maka ini adalah intinya Indonesia, yang bahkan media
koran-koran sekitar sini tidak kenal Anda. Karena Anda adalah
Indonesianya Indonesia, yang paling Indonesai dari Indonesia, juara luar
biasa”, tegas Cak Nun, “Kita ini juara dalam kehidupan, syaratnya satu,
jangan mengungguli mereka, biarkan mereka merasa unggul, karena mereka
memang tidak unggul, sehingga kita harus besarkan hatinya dengan
berpura-pura menganggap mereka unggul. Anda melihat Indonesia yang harus
anda tolong, harus Anda sayangi, Harus Anda besarkan hatinya, Anda yang
akan memandu mereka, memimpin, menyelamatkan mereka semua”.
Takeran Ilmu Kesehatan
Hadir juga sebagai narasumber malam ini adalah dr. Ananto, sebagai
seorang dokter beliau menanggapi uraian tadi dengan mengatakan bahwa
“takeran” dalam ilmu kedokteran itu disebut dosis, maka untuk tahu
dosis, dibutuhkan kajian yang cukup mendalam. Seperti halnya dosis 3x1
itu sebetulnya berlaku untuk orang yang berat badannya 60 kg. Untuk
orang yang berat badannya di atas 60 kg, dosisnya tentu beda lagi.
“Karena tiap orang berbeda, maka saya harus berhati-hati dengan
dosis/takeran di masa mendatang.Ternyata untuk raga pun butuh takaran
yang pas. Dan setiap orang berbeda satu sama lain” jelas pak dokter.
Cak Nun menambahi apa yang disampaikan dr. Ananto tadi dan berharap
nantinya akan ada hal yang perlu disalahkan atau dibenarkan. Dalam
pemahaman post modern, sesudah memuncaknya ilmu pengetahuan
termasuk ilmu kedokteran, filosofi dasar ilmu kesehatan bahwa dokter
adalah setiap orang atas dirinya sendiri. Dokter secara resmi, adalah
asissten setiap orang yang diminta konsultasi mengenai beberapa hal.
Tapi yang menakar dirinya adalah setiap orang. Karena dokter itu dzonni,
menduga-duga pada setiap orang. Dia tidak qoth’i atau pasti.Menurut Cak
Nun, yang bisa qoth’i
adalah diri kita sendiri, minum obat perlu tidaknya hanya kita sendiri
yang tahu. Kedokteran secara ilmu itu cuma sekian persen, sementara
dzonni-nya
mungkin lebih besar. Maka dokter harus punya kerendahan hati dan
kejujuran pada pasiennya, dan itu sulit kalau kedokteran sudah menjadi
bagian dari walayatul khowas, menjadi bagian dari materialisme yang
melahirkan kapitalisme
dan industri. “Kalau kesehatan sudah menjadi industri, maka dokter akan
menjadi alat industri yang memperbanyak orang sakit sehingga
pendapatannya meningkat.Itu tidak terjadi kalau kedokteran itu adalah
urusan moral. Mengobati orang itu cinta kasih dan moralitas antar sesama
manusia. Bahwa yang diobati akan beterima kasih, itu soal moral yang
lain yang mengakibatkan penambahan ekonomi bagi si dokter”, jelas Cak
Nun.
Cak Nun menceritakan, menurut dokter yang pernah memeriksanya, secara
resmi sebenarnya Cak Nun telah terjangkit kolesterol tinggi. Cak Nun
bertanya pada dr. Ananto, gejala kolesterol tinggi itu seperti apa?
Dokter Ananto menjawab, orang dengan kolesterol tinggi itu biasanya
mempunyai badan yang cepet capek, tidak fit, ada beberapa sedikit rasa
nyeri.Cak Nun menanggapi, berarti kolesterolnya agak aneh, malah sehat
bener, gak penah ngantuk, gak pernah capek, menempuh perjalanan naik bus
13 jam tidak ada masalah, hampir tiap malem Maiyahan sampai menjelang
pagi tidak ada masalah. “Iki kolesterol cap opo ngene iki”, kata
Cak Nun dengan nada heran. “Saya cuma ingin mengatakan kepada Anda
semua, Yuk kita menjadi dokter bagi diri sendiri. Jangan main-main
dengan takerannya hidup, Allah memberi contoh air zam-zam. Air biasa
tapi diperkenankan dan diperintah Allah untuk menyembuhkan orang yang
meminumnya sesuai dengan yang diinginkannnya. Manusia khalifahnya, obat
adalah karyawannya, meskipun juga jangan sampai ngawur. Tetep dalam
takeran yang rasionalitas, dan Anda harus rasional pada diri Anda, tidak
boleh ada sedikit aus pada dirimu, jangan sampai dirimu mengalami
proses perapuhan, ini yang terjadi pada manusia modern. Jangan sampai
rapuh, yang pertama rapuh pikiranmu, kalau sudah pikiranmu rapuh, maka
rapuh juga hatimu, sel-selmu rapuh, adrenalinmu tidak muncul, semangat
dan gairahmu tidak muncul, maka kamu akan mengalami perapuhan jasad”,
jelas Cak Nun, “Pak dokter ini bener apa tidak?”, tanya cak Nun pada dr.
Ananto, beliau menjawab, “Insya Allah benar Cak, sami’na waatho’na”.
Pak Toto Rahardjo merangkum semua yang dibahas dengan menambahkan
catatan penting bahwa diluar takaran yang baik itu, selalu terjadi
dominasi. Sejak dari tahap yang paling bawah, materi, memori imajinasi,
tahap-tahap ini sangat di dominasi oleh peradaban materi.
Di Akhir pembahasan Cak Nun mengingatkan khusus untuk Jamaah Maiyah
untuk setidaknya mengingat-ingat urutan judul tulisan beliau yang
baru-baru ini muncul di media koran, yakni secara berurutan : “Allah
2014”, “Nasionalisasi Indonesia”, “Presiden”, “Para Kekasih Iblis”,dan
selanjutnya yang akan segera terbit adalah “Persemakmuran Nusantara”.
Silakan dipikir sendiri, direnungkan, tidak perlu dibaca isinya secara
keseluruhan, kenapa urut-urutannya bisa seperti itu, semoga bisa
dipahami maksudnya.
Sebelum melantunkan sholawat bersama-sama, Cak Nun
mengingatkanteman-teman yang beragama selain Islam, mohon percaya dan
yakin untuk merasa aman kepada kita sebagai orang Islam, kalau kita
melakukan ini, berarti ini adalah ekspresi dari ideologi rahmatal lil
alamin,
saling menyelamatkan satu sama lain, dan tidak saling menghakimi yang
Allah sendiri punya hak menghakimi kita. Cak Nun mengutip pernyataan
Gus Dur, bahwa “NU itu adalah Syiah tanpa Imamah”.“Jadi kalau ada yang
khawatir akan ada eksport revolusi syiah di Indonesia itu, saya yakin
itu tidak akan terjadi mergo wong Jowo tidak mungkin punya Imamah.Mesti
imamme diapusi sama makmumnya, wong Jowo sanggup memimpin dirinya
sendiri sehingga tidak perlu imamah seperti halnya di Iran, wong Jowo
sangat mandiri.
Informasi kedua, bulan depan kita harapkan sudah bisa melahirkan satu
tradisi baru tanpa menafikan tradisi yang sudah ada, yakni sholawat
maulid untuk puji-pujian ulang tahun Kanjeng Nabi SAW. “Kita akan bikin
sholawat Maulidin Nur, yang kita sholawati adalah Nur Muhammad.
Nur Muhammd adalah makhluk Allah yang pertama,yang kemudian ditugasi
Allah untuk menjadi A menjadi B, menjadi C, salah satu episodenya Nur
ini ditugasi, dikasih casting untuk menjadi Muhammad bin
Abdullah yang berlaku hanya 63 tahun. Padahal Allah menciptakan waktu
sangat panjang, dan saat ini Rasulullah sedang bertugas di tempat lain,
di planet lain, di galaksi lain, tidak sebagai Muhammad bin Abdullah,
tapi dengan tata cara dan budaya di sana. Rasulullah tidak pernah
berhenti bertugas, Rasulullah bukan meninggal pada tanggal 12 Rabiul
Awal sebagaimana yang kita tahu.Yang dimaksud Rasullulah meninggal
adalah berakhirnya penugasan Nur Muhammad sebagai Muhammad bin
Abdullah dimuka bumi, setelah itu dan sebelumya, Rasulullah sudah dan
akan bertugas di tempat lain karena Allah menciptakan alam semesta yang
sangat luas dengan makhluk-Nya yang bermacam-macam. Makhluk yang
diciptakan pertama kali adalah Nur Muhammad dan karena Allah bahagia
menciptakan Nur Muhammad
ini maka Allah kemudian menciptakan seluruh jagat raya alam semesta dan
makhluk-makhluk berikutnya. Nanti mungkin akan ada perkembangan dunia
sholawat yang luar biasa di Indonesia dan itu tidak dilakukan oleh
masyarakat Islam di dunia manapun. Mudah-mudahan ini merupakan tanda
bahwa umat Islam di Indonesia dititipi Allah kebangkitan Islam di masa
yang akan datang. Kebangkitan Islam bukan kebangkitan yang menindas umat
lain, tapi yang mengayomi umat lain ”Kita akan menciptkan tradisi
sholawat Maulidun Nur, bukan untuk menyaingi siapa-siapa, ini Mamayu
Hayuning Bawono, menambah keindahan Islam, manambah keindahan kehidupan.
Terakhir pesan Cak Nun, “Seluruh pembicaraan mengenai Takeran ini
terletak pada fatwa utama Cak Fuad tadi malam di PadhangMbulan, bahwa
Jamaah Miayah mulai hari ini mohon dengan sangat untuk lebih melakukan
kehati-hatian dan pemikiran, penghitungan kembali ketika menyebut atau
melakukan pemahaman terhadap sejumlah idiom atau istilah yang penting.
Kalau kamu dengar kata kiai, pikirkan lagi, kiai itu apa, begitu juga
kata ustadz silakan dipikir ulang ustadz itu harusnya bagaimana, siapa
dia, tugasya apa, dari mana asal usulnya, jangan gampang-gampang
meng-ustadkan orang, jangan gampang-gampang tidak meng-ustadkan orang,
begitu juga Gus, Kiai, Habib, Musrsyid, Sufi, Ulama, tolong itu dipikir
kembali. Kalau Cak tidak masalah. Tolong ambil jarak epistimologis dari
setiap idiom-idiom yang saat ini sudah kehilangan takeran di masyarakat.
Karana selama ini yang menciptakan takeran bukanlah orang yang berhak
menciptakan takeran, misalnya siapa yang mengakui seseorang menjadi Kiai
atau bukan, seharusnya yang mengakui adalah umatnya. Siapakah yang
mengijinkan seseoarang orang menjadi imam, tidak lain adalah makmummya.
Nah selama ini karana ada industrialisasi dan kapitalisme maka yang
menentukan siapan ulama atau bukan itu bukan umat, tetapi pemerintah dan
industri. Mudah-mudahan setelah pulang dari sini, Anda bisa lebih
cerdas, lebih santun lebih lapang, sebisa mungkin hindari perdebatan,
kalau perdebatan membawa manfaat silakan diteruska, tapi kalau tidak
hentikan saja”.
“Umur-umur rata-rata orang Indonesia adalah seumuran Anda, yakni 27,5
tahun, sehingga Anda sebagai mayoritas penduduk Indonesia, dan Anda
adalah orang yang akan harus kerja keras setelah 2015, kerja keras dalam
arti Anda yang memimpin kematangan di Indonesia, yang akan menjadi
tanah-tanah perdikan yang luar biasa makmurnya, membikin mercusuar untuk
seluaruh dunia, dan Islamnya adalah Islam yang diidamkan-idamkan oleh
semua manusia di dunia, adalah Islam yang diolah, digarab, dan diruwat
oleh Islamnya Indonesia”.
Maturnuwun mas Arfian. kalau boleh, saya nyuwun ijin share. Salam Maiyah
BalasHapus