Selasa, 20 November 2012

DEMOKRASI DAN OTONOMI PENDIDIKAN “Demokrasi Pendidikan di Indonesia dan Otonomi Perguruan Tinggi”

Oleh : ARFIYAN BAYU BEKTI



BAB I
PENDAHULUAN

Kapitalisme sebagai ideologi dominan saat ini punya pengaruh yang sangat besar dalam setiap denyut nadi kehidupan manusia. Dominasi kapitalisme tidak hanya dalam wilayah ekonomi, tapi telah merambah ke wilayah yang lain, termasuk didalamnya dunia pendidikan. Dalam wilayah pendidikan, dampak yang paling nyata dari dominasi kapitalisme adalah pada salah satu produk yang dihasilkannya, yaitu “cultur of positivism”. Pengaruh kapitalisme dan budaya positivisme terhadap pendidikan sangat jelas.
Model budaya positivisme yang memandang guru sebagai subjek yang mengetahui segalanya dan murid di anggap tidak mengerti apa-apa. Hal ini disebabkan apa yang ditekankan dalam proses pembelajaran adalah bagaimana memiliki dan mengakumulasi pengetahuan, bukan bagaimana memahami, mengkritik, memproduksi dan menggunakan pengetahuan sebagai alat untuk mengubah realitas. Dengan demikian diperlukan adanya demokrasi pendidikan, yakni pendidikan dilandaskan pada visi untuk membangun masyarakat yang demokratis. Demokrasi pendidikan merupakan suatu pandangan yang mengutamakan hak, kewajiban dan perlakuan oleh tenaga kependidikan  terhadap peserta didik dalam proses pendidikan.
Pelaksanaan demokrasi pendidikan di indonesia ini sebenarnya telah diatur sejak diproklamasikan kemerdekaan hingga masa pembangunan saat ini. hal ini tercantum dalam UUD 45 Pasal 31:
a.       Tiap-tiap warga Negara berhak mendapatkan pengajaran.
b.      Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang diatur undang-undang.
UU Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional Pada BAB IV, Pasal 5, ayat 1 menyebutkan: Setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.[1]
Dengan melihat Undang-Undang SISDIKNAS tersebut apakah realita yang ada memang sudah sejalan dengan cita-cita demokrasi pendidikan di Indonesia?
Kemudian ketika membicarakan issu mengenai RUU (Rancangan Undang-Undang) BHP (Badan Hukum Pendidikan) yang katanya akan mendorong Universitas menjadi world class univercity sebab akan memberikan otonomi kampus seluas-luasnya yang kemudian dampaknya dicurigai mengarah pada komersialisasi pendidikan. Walaupun pada akhirnya RUU BHP resmi dicabut oleh Mahkamah Konstitusi. Kemudian muncul Issu paling baru adalah mengenai Undang-Undang Nomor 12/2012 tentang pendidikan tinggi. UU PT diharapkan mampu menjadi payung hukum pengaturan pendidikan tinggi di Indonesia. Kemudian muncul pertanyaan bagaimana penerapan otonomi perguruan tinggi itu? Dan bagaimana keterkaitannya dengan BHP dan UU No.12/2012?

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Demokrasi Pendidikan
1.      Pengertian Demokrasi Pendidikan
Istilah demokrasi sebagaimana dalam literatur politik diambil dari bahasa Yunani kuno, yang terdiri dari dua kata yaitu demos yang bermakna rakyat dan kratos yang berarti kekuasaan, dan apabila digabungkan menjadi bermakna kekuasaan di tangan rakyat.[2] Sedangkan pendidikan meburut Ki Hajar Dewantara merupakan proses kebudayaan yang utuh. Ia tidak saja berurusan dengan pengajaran semata. Tetapi juga berurusan dengan bakat, psikologi, karakter, dan moral. Pendidikan juga tidak terbatas pada ruang formal dan non formal belaka, seperti sekolah dan tempat kursus. Pendidikan meliputi seluruh kehidupan di alam semesta yang dimulai dari keluarga.[3]
Berdasarkan definisi diatas dapat dipahami bahwa demokrasi pendidikan merupakan suatu pandangan yang mengutamakan hak, kewajiban dan perlakuan oleh tenaga kependidikan  terhadap peserta didik dalam proses pendidikan.
Hubungan antara demokrasi dan pendidikan sangat erat dan bersifat saling memberi dan saling membutuhkan. Menurut Dewey, pendidikan tanpa demokrasi akan menjadi kering, menjemukan dan merana. Demokrasi adalah system bentuk kehidupan social yang ditandai dengan kontak interaksi yang terbuka diantara warga masyarakat. Kontak-kontak interaksi ini memungkinkan setiap individu mendapatkan pengalaman yang tidak terbatas. Pengalaman yang diperoleh masing- masing individu ada hakikatnya merupakan pendidikan, sehingga masing-masing individu akan mampu mengembangkan pengalaman yang diperoleh dan dapat memperhitungkan pengalaman baru yang akan diperoleh sebagai hasil mendapatkan pengalaman sebelumnya. Tanpa kontak interaksi tidak akan ada pengalaman, dan tanpa pengalaman tidak ada learning. Dan berikutnya, tanpa ada learning kontak-kontak interaksi sosial sangat terbatas dan pada gilirannya akan membatasi terwujudnya demokrasi.[4]
Demokratisasi pendidikan adalah implikasi dari dan sejalan dengan kebijakan mendorong pengelolaan sektor pendidikan pada daerah, yang implementasinya di tingkat sekolah. Gagasan demokratis ini didasari oleh pertimbangan yang simpel, yakni memperbesar partisipasi masyarakat dalam pendidikan, tidak sekedar dalam konteks retribusi uang sumbangan pendidikan. Kemudian, gagasan demokratisasi juga dikembangkan dengan sebuah paradigma baru tentang pelibatan siswa dalam proses pembelajaran, yang juga memberi kesempatan dalam menentukan aktivitas belajar yang akan mereka lakukan.
Pendidikan demokrasi merupakan proses sepanjang hayat. Bermula dari pendidikan keluarga,di dalam masyarakat, di sekolah dasar hingga sekolah menengah, diteguhkan di perguruan tinggi untuk dilanjutkan sebagai pola hidup dalam berkarya. Pedidikan demokatis hanya dapat berlangsung dengan lancar apabila kondisi lingkungan juga demokratis.[5]
Demokrasi yang ideal adalah pengakuan dan penghargaan terhadap keanekaragaman dan keberbedaan dalam kehidupan pribadi maupun masyarakat. Demokrasi justru ada karena pengakuan terhadap pluralisme, terhadap pendapat yang berbeda, dan kesanggupan menyelesaikan konflik untuk tujuan bersama. Demokrasi adalah suatu pola hidup bersama dan akumulasi pengalaman-pengalaman yang terkomunikasi bersama.[6]
2.      Paradigma pendidikan kritis dalam demokrasi pendidikan
 Pendidikan pada dasarnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Dari mulai lahir (sejak dari buaian), manusia senantiasa belajar dengan yang terjadi disekitarnya, hingga manusia lanjut usia bahkan meninggal dunia, ia tetap melakukan prakondisi-prakondisi dalam melihat persoalan yang dihadapi, dan inilah proses pembelajaran.[7]
Pandangan klasik tentang pendidikan pada umumnya dikatakan sebagai pranata yang dapat dijalankan pada tiga fungsi sekaligus ; Pertama, menyiapkan generasi muda untuk memegang peranan-peranan tertentu dalam masyarakat dimasa depan. Kedua, mentransfer atau memindahkan pengetahuan, sesuai dengan peranan yang diharapkan, dan Ketiga, mentransfer nilai-nilai dalam rangka memelihara keutuhan dan kesatuan masyarakat sebagai prasyarat bagi kelangsungan hidup (survive) masyarakat dan peradaban.[8]
Dalam perkembangan berikutnya, ekstensifikasi pengertian pendidikan tersebut, sejalan dengan tuntutan masyarakat atau “pasar”. Dari sini lalu pendidikan memainkan fungsi sebagai suplementer, melestarikan tata social dan tata nilai yang ada dimasyarakat dan sekaligus sebagai agen pembaharuan.[9]
Pendidikan merupakan pimpinan dan bimbingan bagi peserta didik. Pendidikan menjadikan prosesnya harus berjalan dengan kebijakan “Learning Process Skill” daripada “Learning Concept”. Pada pendekatan proses akan ditandai dengan kurikukulum yang student centered, bukan teacher centered. Peran guru lebih sebagai fasilitator, mediator, dinamisator, organisator, dan katalisator yang bekerja keras untuk memberlakukan “dialog” sebagai ruh yang mendasari hidupnya proses pendidikan, serta tidak mencoba menerapkan sikap “anti dialog” di dalamnya.[10]
Proses pendidikan ideal di atas memungkinkan munculnya sikap kritis (prise conscience) pada peserta didik, di mana persepsi terhadap siswa tidak lagi ia pandang sebagai “cawan” (yang pasif dan dituangi air ke dalamnya), tetapi sebagai subjek yang belajar dan bersama-sama dengan subjek yang mendidik untuk selalu berada dalam derap pencarian makna sesuatu kebenaran. Paradigma pendidikan semacam ini sering disebut sebagai pendidikan “produksi kesadaran kritis”. Lebih lanjut, hasil dari proses pendidikan adalah kesadaran kelas, kesadaran gender, maupun kesadaran kritis lainnya. Oleh karena itu, pendidikan lebih merupakan pembebasan manusia. Pendidikan merupakan sarana memproduksi kesadaran untuk mengembalikan kemanusiaan manusia.
3.      Demokrasi Pendidikan di Indonesia
Gloabalisasi adalah suatu keniscayaan yang takkan terhindarkan. Dari aspek ekonomi,perekonomian di Indonesia bergerak ke arah perdagangan bebas, hal ini memperbesar peran tangan-tangan asing untuk menentukan nasib negara-negara miskin. Aspek social politik Indonesia bergerak dari sentralisasi kearah desentralisasi, kehidupan politik dan masyarakat semakin demokratis, kebebasan berpendapat dan berserikat semakin berkembang, dan pers semakin kokoh. Aspek cultural ditunjukan dengan adanya perubahan perilaku masyarakat termasuk dalam berkonsumsi. Semakin deras aliran informasi antar bangsa dan semakin intensnya komunikasi yang terjadi baik dalam sekala nasional maupun internasional.[11]
Globalisasi berdampak luas menyusup dalam segala aspek kehidupan masyarakat. Dampak tersebut mengakibatkan semakin terpuruknya negara-negara berkembang dan semakin mengokohkan negara-negara maju. Hal ini dikarenakan negara-negara maju memegang monopoli lima bidang yakni, teknologi, pasar uang dunia, kekuasaan untuk memanfaatkan sumberdaya alam, media komunikasi, senjata penghancur masal.
Globalisasi dan budaya positivisme membentuk pola pikir materialistik terhadap masyarakat, yang menimbulkan konsekwensi pendidikan bahwa segala aspek pendidikan akan diarahkan dan difokuskan untuk mengembangkan pertumbuhan ekonomi sehingga hal-hal yang bersifat nonekonomik akan dikesampingkan. Hal ini akan membentuk fokus  lembaga pendidikan pada client dan customer yang memiliki arti “donator”. Sehingga lembaga pendidikan akan senantiasa didikte oleh kekuatan penyandang dana dan tidak lagi mempersoalkan masalah etika dan pengkajian yang kritis.[12] Selain itu lembaga-lembaga pendidikan akan dipegang oleh orang-orang yang mempunyai modal, dan orang-orang yang kurang mampu akan mendapatkan pendidikan yang ala kadarnya. Dan terciptalah suatu pandangan bahwa pendidikan milik orang yang berduit. Dapat dilihat dari Indikasinya, yakni bisnis pendidikan mulai dirasakan. Maraknya pembukaan program ekstensi atau non-reguler di PTN (Perguruan Tinggi Negeri) ada kecenderungan untuk memperoleh dana ketimbang untuk demokratisasi pendidikan. Sehingga pendidikan semakin elitis. Membesarnya pemungutan biaya yang relatif tinggi tampaknya belum diikuti dengan peningkatan mutu pendidikan. Karena nuansa bisnisnya semakin menguat, maka orang juga mulai mempertanyakan eksistensi lembaga pendidikan sebagai lembaga pelayanan publik. Fenomena lain berbagai gedung pendidikan beralih fungsi menjadi pusat bisnis.
Pelaksanaan demokrasi pendidikan di indonesia ini sebenarnya telah diatur sejak diproklamasikan kemerdekaan hingga masa pembangunan saat ini. hal ini tercantum dalam UUD 45 Pasal 31:
a.       Tiap-tiap warga Negara berhak mendapatkan pengajaran.
b.      Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang diatur undang-undang.
UU Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional Pada BAB IV, Pasal 5, ayat 1 menyebutkan: Setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.[13]
Akan tetapi pada kenyataannya pada realita yang ada pendidikan di Indonesia masih jauh dari demokrasi. Hal ini masih banyak dijumpai dalam realitas yang ada di lapangan. Karena masih banyak ketidak adilan yang terjadi dalam sistem pendidikan di Indonesia.
Bowles dan Grintis menunjukkan adanya relasi antara sekolah dan ketidakadilan sosial atau antara sekolah dan reproduksi sosial. Argumennya adalah hampir semua kasus menunjukkan bahwa mayoritas anak-anak dari golongan kelas menengah atas akan masuk ke dalam golongan kelas sosial yang sama ketika mereka nanti beranjak dewasa. Hal ini terjadi karena anak-anak menengah atas punya kapital dan modal untuk mendapatkan pendidikan yang bagus dan fasilitas yang sangat memadai. Sementara anak-anak dari masyarakat bawah tidak atau jarang memiliki kesempatan untuk mendapatkan pendidikan seperti ini. Mayoritas mereka hanya memperoleh pendidikan yang pas-pasan dengan fasilitas yang tidak memadai. Dengan mendapatkan kualitas pendidikan seperti itu tentulah mereka ketika dewasa akan mendapatkan kesempatan yang besar untuk kembali ke kelas sosialnya semula.[14] Keadaan seperti itulah yang sat ini dijumpai di Indonesia.
Dengan demikian, yang harus dipertajam dari teori reproduksi kemudian adalah bagaimana agar sekolah dapat berfungsi sebagai agen untuk memproduksi sistem sosial yang baru dan adil. Bagaimana sekolah bisa berperan dalam memperpendek jurang kelas sosial di masyarakat. Tiada plihan lain untuk merealisasuikan pilihan ini kecuali menjadikan sekolah sebagai productive force, bukan reproductive force.
Jika kita lihat realitas pendidikan di Indonesia, nampak jelas bahwa pendidikan masih jauh dari nilai-nilai demokrasi. Pendidikan masih bersifat reproduktif, belum menjadi kekuatan produktif. Ini terlihat dari perbedaan tajam antara sekolah yang bagus dan mahal (mayoritas dihuni oleh anak dari golongan menegah atas) dengan sekolah yang kualitasnya pas-pasan dan murah (mayoritas dihuni oleh golongan bawah). Saat ini hampir sulit ditemukan sekolah negeri yang bagus, apalagi swasta, dari tingkat dasar sampai tingkat tinggi yang tidak mahal.[15]

B.     Otonomi Pendidikan
1.      Otonomi Pendidikan di Indonesia
Perubahan sistem pengelolaan pendidikan dari sentralisasi menuju desentralisasi, suka tidak suka, menuntut perubahan di berbagai aspek. Tantangan paling pokok tentu saja adalah terselenggaranya suatu tatanan yang dinamis dalam pergeseran peran dan fungsi operasional yang selama ini berada di tangan pusat untuk kemudian diserahkan kepada daerah.[16]
Secara politis, sebenarnya menguatnya aspirasi bagi otonomisasi dan disentralisasi pendidikan tidak terlepas dari kenyataan adanya lemahnya konsep dan praktik penyelenggaraan pendidikan nasional, khususnya selama Orde Baru. Diantara masalah dan kelemahan dalam konteks ini meliputi:
a)      Kebijakan pendidikan nasional sangat sentralistik dan serba seragam yang akhirnya mengabaikan keragaman sesuai dengan realitas kondisi ekonomi dan budaya masyarakat Indonesia di berbagai daerah. Kebijakan pendidikan nasional hampir tidak memberikan ruang gerak yang memadai bagi masyarakat di wilayah atau daerah tertentu untuk mengembangka pendidikan yang sesuai dan relevan dengan daerah dan kebutuhan masyarakat sendiri.
b)      Kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional lebih berorientasi pada pencapaian target-target tertentu, seperti target kurikulum, yang pada gilirannya mengabaikan proses pembelajaran yang efektif dan mampu menjangkau seluruh ranah dan potensi anak didik. Proses pembelajaran sangat berorientasi pada ranah kognitif dengan pendekatan verbalisme dan pada saat yang sama cenderung mengabaikan pembelajaran ranah afeksi dan pskomotorik.[17]  
Dalam konteks Indonesia, pendidikan juga harus berperan meng-Indonesiakan anak bangsa, karena dalam kegagalan tugas ini akan berakibat pada rapuhnya landasan mental bangsa ini sebagai sebuah bangsa. Dengan mengambil hikmah pengalaman sejauh ini, kita harus sadar bahwa pendidikan yang terbukti tidak pernah dapat ditumbuhkan dari bawah tanpa pengertian dan tindakan yang benar.
Sebagai langkah awal dalam melakukan agenda desentralisasi pendidikan di era otonomi ini, daerah perlu melakukan analisis-analisis secara mendalam sistem pendidikan yang sedang berlangsung di daerah masing-masing. Kebijakan yang akan diambil pemerintah daerah tentu akan berjalan dengan lancar apabila mereka memahami kelemahan dan kekuatan sistem yang ada. Persoalan yang terkait dengan itu, biasanya adalah manajemen, kapasitas untuk berubah, anggaran pendidikan, relevansi kurikulum, perkembangan kebudayaan akan masyarakat, kualitas pembelajaran serta peserta didik. Analisis secara kritis dan mendalam ini akan memperlancar guna merumuskan orientasi dan perencanaan pada tahap selanjutnya hingga pada implementasinya.[18]
2.      Otonomi Perguruan Tinggi
Pertanyaan awal dari sub pembahasan mengenai otonomi perguruan tinggi adalah betulkah ada otonomi perguruan tinggi? Atau jangan-jangan yang disebut otonomi perguruan tinggi itu hanya eufemisme dari “privatisasi”. Hanya saja agar rumusan itu tidak menimbulkan gejolak di masyarakat, maka dibungkus dengan kata yang halus dan menyenangkan. Kecurigaan ini patut kita kemukakan bahwa wacana tersebut baru bergulir setelah masa reformasi, terutama bersamaan dengan perubahan status PTN menjadi Badan Hukum Milik Negara (PT-BHMN).[19]
Lazimnya dalam menyikapi setiap kebijakan baru, selalu ada yang setuju dan tidak setuju. Demikia pula dalam menyikapi kebijakan perubahan PTN menjadi PT-BHMN. Barisan yang tidak setuju privatisasi ini adalah para mahasiswa yang menyadari sepenuhnya bahwa kebijakan itu akan berdampak langsung pada kenaikan biaya pendidikan.[20] Bahasa ‘‘Otonomi Perguruan Tinggi” memang telah melunakkan sikap kritis segenap civitas akademika. Sehingga, tidak pernah mucul pertanyaan kritis dari mereka mengenai apa dampak otonomi pendidikan tersebut? Yang sebenarnya malah mengarah kepada privatisasi.
Pemahaman bahwa seolah-olah ada otonomi perguruan tinggi itu terjsdi tidak hanya di kalangan PTN, tetapi juga di Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Ada yang secara lugu mengatakan bahwa sekarang pemerintah telah memberikan otonomi kepada PTS untuk mengembangkan diri. Tetapi ada pula yang mengatakan, sekarang PTS justru semakin tidak otonom, karena kontrol dari birokrasi yang lebih rendah (Kopertis, misalnya) semakin ketat. Bahkan buklan itu saja, sekarang ada kekuatan-kekuatan yang tidak teridentifikasi yang bisa turut melumpuhkan otonomi perguruan tinggi. Diizinkannya pembukaan program studi atau fakultas baru di sebuah PTS, misalnya, bukan semata-mata ditentukan oleh kesiapan lembaga calon penyelenggara, tetapi oleh kekuatan-kekuatan yang tidak teridentifikasi tadi.[21]
Bila diminta untuk mengambil sikap maka penulis setuju oleh Prof. Darmaningtyas dalam bukunya yang berjudul Pendidikan Rusak-Rusakan termasuk kelompok yang meyakini bahwa Indonesia sekarang ini, tidak ada otonomi perguruan tinggi, baik PTN maupun PTS. Yang ada hanyalah ilusi tentang otonomi perguruan tinggi. Manifestasinya, untuk PTN yang ada hanyalah “privatisasi”, sedangkan untuk PTS komodifikasi. Baik untuk PTN maupun PTS, yang disebut “otonomi” hanya sebatas soal pembiayaan, sedangkan soal kewenangan tidak diberikan sepenuhnya. Secara bodon, biayane goleko dewe, ning peraturane aku (pemerintah) sing gawe. PTN/PTS tidak bisa memutuskan secara independent apa yang ingin mereka kembangkan di perguruannya.[22]
 Apabila membicarakan mengenai otonomi pendidikan di perguruan tinggi. Maka kita harus menelaah mengenai issu yang terkait dengan otonomi pendidikan ini yakni Undang-Undang Nomor 12/2012 tentang pendidikan tinggi sebagai pengganti dari UU BHP yang disinyalir sebagai wadah komersialisasi pendidikan.
Sebelum UU BHP ditolak oleh Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang ini menjadi perdebatan panjang dikarenakan adanya indikasi komersialisasi pendidikan yang menjadi muatan didalamnya.
Ada beberapa pertimbangan pada waktu itu mengapa pemerintah berupaya menggolkan kebijakan BHP. Pertama, BHP akan mendorong pendidikan Nasional, utamanya perguruan tinggi, menuju world class univercity sebab akan diberikan otonomi kampus yang seluas-luasnya dalam hal akademik, keuangan, administrasi, personalia, dan yang lainnya. Kedua, negara mengalami kesulitan dalam memenuhi anggaran belanja negara di bidang pendidikan. Kondisi seperti ini tenu saja akan mempengaruhi pendidikan di Indonesia. Oleh karena itu, dengan BHP diharapkan tanggung jawab pendidikan tidak sepenuhnya menjadi tanggungan pemerintah tetapi menjadi tanggung jawab masyarakat. Ketiga, globalisasi menuntut adanya kompetisi, transparansi dan aturan sesuai dengan sistem pasar. Untuk menghadapinya perlu restrukturisasi pendidikan agar akuntabilitas, efisiensi, transparansi, dan mutu lebih terjamin.[23]
Dari argumen yang dibangun pemerintah soal BHP tampak jelas bahwa pemerintah akan mengurangi tanggungjawabnya dalam bidang pendidikan dengan alasan tidak bisa memenuhi anggaran belanja negara dibidang pendidikan. Otonomi bisa jadi merupakan kedok untuk mengurangi tanggung jawab pemerintah dibidang pendidikan.
Peran Bank Dunia terhadap pengembangan pendidikan pada umumnya maupun pendidikn tinggi pada khususnya di tanah air kiranya memang signifikan, sebab menurut pengakuannya Indonesia merupakan “the Bank’s largest and most diversified education program ever undertaken” alias negara penerima pinjaman terbesar untuk pengembangan program pendidikan paling beraneka ragam yang pernah dilayani oleh Bank Dunia.[24] Dengan masuknya Bank dunia dalam urusan pendidikan di Indonesia maka perlu ada kritisisme terhadap fenomena apa yang sebenarnya terjadi. Karena dimanapun bank akan selalu mencari provit. Maka kemudian tidak salah kalu pendidikan di perguruan tinggi akan menjadi mahal dan tidak terjangkau oleh kalangan kelas bawah.Ini kemudian menunjukkan bahwa memang praktek liberalisai pendidikan memang benar adanya.
Paradigma baru pendidikan tinggi pada dasarnya bertumpu pada pilar utama yakni kemandirian dalam pengelolaan atau otonomi, akuntabilitas (accountabilty), dan jaminan mutu (quality assurance). Pilar-pilar tersebut merupakan sebagian dari prinsip-prinsip new managerialism yang ditelurkan oleh pahan neoliberalisme dan yang dipromosikan oleh khususnya trio lembaga Bretton Woods, yaitu Bank Dunia, IMF dan WTO.[25]
Jejak-jejak kebijakan trio Bretton Woods tentang pengembangan pendidikan tinggi di negara berkembang dalam UU Nomor 12/2012 beserta sejumlah problem yang muncul antara lain sebagai berikut:[26]
1.      Jejak penekanan pada daya saing bisa ditemukan dalam Pasal 4.b, Ps.5.b, dan Ps.46.c. Namun daya saing ini lazimnya dikaitkan dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (Ps.10.1, dan Ps.45) dalam percaturan ekonomi dan pergaulan masyarakat berbasis pengetahuan  (Ps.46.e). Tentu saja dalam konteks percaturan global semua ini merupakan realitas yang tidak terelakkan, namun sebagaimana diingatkan oleh sejumlah pengamat pemenuhan tuntutan globalisasi tersebut tidak boleh mengorbankan tuntutan untuk dalam waktu yang bersamaan memperkuat formasi sosial atau pengembangan masyarakat dalam diri bangsa yang bersangkutan.
2.      Jejak penekanan pada diferensiasi institusi dan stratifikasi bisa kita temukan dalam Ps.15 s.d. Ps.25 serta Ps.59. Namun perlu diingatkan bahwa keleluasaan untuk melakukan diferensiasi dan stratifikasi ini dikaitkan dengan pemanfaatan kekuatan yang dimiliki oleh suatu lembaga pendidikan tinggi. Bila tidak dikendalikan secara arif, Liberalisasi ini bisa memunculkan sejenis Darwinisme sosial manakala institusi-institusi yang kuat (PTN maupun PTS) bisa mengambil semua peluang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dengan akibat mematikan istitusi-institusi yang lemah-kecil (PTS) di satu pihak., serta mendorong institusi-institusi hanya berkonsentrasi pada pengembangan bidang-bidang disiplin yang langsung terkait dengan dunia bisnis-industri serta mengabaikan bidang-bidang disiplin lain yang mungkin kurang laku namun mutlak diperlukan bagi formasi sosial masyarakat kita.
3.      Jejak penekanan pada standarisasi dan akreditasi dalam kaitannya dalam sistem penjaminan mutu dan kerja sama internasional atau internasionalisasi bisa kita temukan dalam Ps.29, Ps.40, Ps.50, Ps.51, Ps.55, Ps.75, dan Ps.90. Peningkatan dan penetapan standar mutu yang tinggi dala pendidikan tinggi memang penting. Namun sebagaimana telah diingatkan oleh sejumlah pengamat, standarisasi mutu dalam konteks internasionalisai dan globalisasi cenderung hanya akan menguntungkan institusi-institusi kuat di negara-negara industri maju. Pasalnya, standar kualitas yang dimaksud pasti akan datang dari negara-negara maju. Melalui internasionalisasi perguruan tinggi dalam kerangka GATS (General Agreement on Trade in Services)  dan WTO, institusi-institusi di negara-negara sedang berkembang akan kehilangan kebebasan akademinya dan akan menjadi penonton atau bahkan korban dari kegiatan impor-ekspor serta homogenitas pendidikan tinggi yang dilakukan oleh institusi dari negara-negara industri maju. Situasi serupa diduga akan terjadi dalam relasi antara institusi-institusi kuat (PTN dan PTS) dan institusi-institusi lemah (PTS) di tanah air.
4.      Jejak penekanan pada otonomi khususnya terkait dengan akuntabilitas, efisiensi dan pendanaan bisa kita temukan dalam Ps. 62 s.d. Ps.65. Ps. 76(3), Ps.78, Ps.79, Ps.83 s.d.87 dan Ps.89(1). Lewat otonomi dan privatisasi Bank Dunia menakankan antara lain pentingnya institusi pendidikan tinggi (khususnya PTN) melepaslkan diri dari ketergantungan pendanaan dari pemerintah untuk selanjutnya menggalang dan mengelola sendiri sumber-sumber dana lain termasuk dari mahasiswa dengan menerapkan sejumlah prinsip seperti akuntabilitas sebagaimana juga tercantum dalam Ps.63. Dalam hal ini, langkah pemerintah untuk menyimpang dari arah Bank Dunia dengan berkomitmen untuk menyediakan dana pendidikan tinggi lewat APBN seperti tercantumdalam Ps. 83 kiranyab perlu diapresiasi namun tetap perlu dikawal realisasinya, sebab pada bagian lain tetap tercantum kemungkinan perguruan tinggi berperan serta dalam pendanaan termasuk dari sumber mhasiswa (Ps.85) seperti disarankan oleh Bank Dunia.


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan:
Dengan melihat UU Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional Pada BAB IV, Pasal 5, ayat 1 yang menyebutkan bahwa ”Setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”. Maka cita-cita yang ada pada UU SISDIKNAS tersebut masih belum terrealisasi dalam kenyataan pendidikan di Indonesia. Dengan melihat realitas pendidikan di Indonesia, nampak jelas bahwa pendidikan masih jauh dari nilai-nilai demokrasi. Pendidikan masih bersifat reproduktif, belum menjadi kekuatan produktif. Ini terlihat dari perbedaan tajam antara sekolah yang bagus dan mahal (mayoritas dihuni oleh anak dari golongan menegah atas) dengan sekolah yang kualitasnya pas-pasan dan murah (mayoritas dihuni oleh golongan bawah). Saat ini hampir sulit ditemukan sekolah negeri yang bagus, apalagi swasta, dari tingkat dasar sampai tingkat tinggi yang tidak mahal.
Mengenai otonomi pendidikan di perguruan tinggi Indonesia sekarang ini, sebenarnya tidak ada otonomi perguruan tinggi, baik PTN maupun PTS. Yang ada hanyalah ilusi tentang otonomi perguruan tinggi. Karena apa yang disebut otonomi itu sebenarnya lebih condong ke arah privatisasi. Kemudian dalam perjalanannya UU No 12/2012 sebagai jawaban atas ditolaknya UU BHP juga masih mengindikasikan adanya campur tangan pihak asing dalam hal ini adalah trio Bratton Wood yang pada ujung-ujungnya dalah adanya liberalisasi pendidikan tinggi.







DAFTAR PUSTAKA

A. Supratiknya, Undang-Undang Nomor 12/2012 Tentang Pendidikan Tinggi: beberapa Catatan Kritis
Assegaf , Abd.Rachman dan Djohar, Pendidikan Transformatif, Yogyakarta: Teras, 2010

Darmaningtyas, Pendidikan Rusak-Rusakan, Yogyakarta: LkiS, 2005

Karim, Rusli,Pendidikan Islam Sebagai Upaya Pembebasan Manusia” dalam Muslih Usa (ed), Pendidikan Islam di Indonesia ; Antara Cita dan Fakta, Yogyakarta ; Tiara Wacana, 1999

Langgulung, Hasan, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, Bandung ; al-Maarif, 1980

Machfudin, “Antara Konsientasi, Masifikasi dan Gnosiologi Dalam Pendidikan”, Jurnal Insania No 2 Th I, Purwokerto: IAIN Walisongo Fak. Tarbiyah Purwokerto, 1996
Nuryano, M. Agus, Mazhab Pendidikan Kritis Menyikap Relasi Pengetahuan Politik dan Kekuasaan, Yogyakarta : Resist Book,2008

Rosyada, Dede, Paradigna Pendidikan Demokratis, Jakarta: Kencana, 2007

Saksono, Gatut, Pendidikan Yang Memerdekakan, Yogyakarta: Diandra Primamitra Media, 2008

Sindhunata,Menggagas paradigma Baru pendidikan,Yogyakarta: kanisius,2000
UU SISDIKNAS No 20 Tahun 2003
Zamroni,  Pendidikan dan demokrasi dalam transisi, Jakarta: PSAP , 2007



[1] UU SISDIKNAS No 20 Tahun 2003, hlm.13
[2] Dede Rosyada, Paradigna Pendidikan Demokratis, (Jakarta:Kencana, 2007), hlm.15
[3] Gatut Saksono, Pendidikan Yang Memerdekakan, (Yogyakarta: Diandra Primamitra Media, 2008), hlm.50.
[4] Zamroni,  Pendidikan dan demokrasi dalam transisi, (Jakarta: PSAP , 2007),  hlm.46
[5] Sindhunata,Menggagas paradigma Baru pendidikan,(Yogyakarta: kanisius,2000) hlm 50.
[6] Ibid., hlm.51.
[7] Dalam Islam, secara normative disandarkan pada sebuah hadits Nabi “Tuntutlah ilmu dari buaian sampai ke liang lahat”.
[8] Hasan Langgulung,Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, (Bandung ; al-Maarif, 1980), hlm. 92.
[9] Rusli Karim, “Pendidikan Islam Sebagai Upaya Pembebasan Manusia” dalam Muslih Usa (ed), Pendidikan Islam di Indonesia ; Antara Cita dan Fakta, (Yogyakarta ; Tiara Wacana, 1999), hlm. 28
[10] Machfudin, “Antara Konsientasi, Masifikasi dan Gnosiologi Dalam Pendidikan”, dalam Jurnal Insania No 2 Th I(Purwokerto: IAIN Walisongo Fak. Tarbiyah Purwokerto, 1996), hlm. 8.
[11]Sindhunata,Menggagas paradigma Baru pendidikan ,  hlml.3
[12] Zamroni, Pendidikan, hlm. 7
[13] UU SIKDIKNAS No 20 Tahun 2003, hlm.13
[14] M. Agus Nuryano, Mazhab Pendidikan Kritis Menyikap Relasi Pengetahuan Politik dan Kekuasaan, (Yogyakarta : Resist Book,2008) hlm. 62.
[15] Ibid., hlm.64.
[16] Djohar dan Abd.Rachman Assegaf, Pendidikan Transformatif, (Yogyakarta: Teras, 2010), hlm.180.
[17] Ibid., hlm. 181
[18] Djohar dan Abd.Rachman Assegaf, Pendidikan,hlm. 188
[19] Darmaningtyas, Pendidikan Rusak-Rusakan ( Yogyakarta: LkiS, 2005), hlm. 279.
[20] Ibid., hlm. 281.
[21] Ibid.
[22] Ibid., hlm.282
[23] M. Agus Nuryano, Mazhab Pendidikan Kritis  hlm.74
[24] A. Supratiknya, Undang-Undang Nomor 12/2012 Tentang Pendidikan Tinggi: beberapa Catatan Kritis, hlm.2, pada makalah yang disampaikan dalam seminar Nasional “Menyongsong Undang-Undang Pendidikan Tinggi: Peluang, Harapan, dan Tatangan Untuk Indonesia”, tanggal 10 November 2012.
[25] Ibid.
[26] Ibid., hlm. 3-4