Oleh: Arfian Bayu Bekti
BAB I
PENDAHULUAN
Ukuran indah dan tidak indah sama dengan ukuran baik
dan tidak baik; membingungkan, bermacam-macam, subjektif, sering diperdebatkan.
Meskipun demikian, estetika berusaha menemukan ukuran yang berlaku umum. Akan
tetapi, sama dalam etika, usaha itu tidak berhasil. Memang ditemukan ukuran
indah-tidak indah, tetapi ukuran yang ditemukan begitu banyak, pakarnya sendiri
tidak mampu bersepakat.[1]
Dalam kehidupan sehari-hari,
kita tidak akan luput dari kata-kata “indah”. Jadi, semua manusia memiliki
potensi dasar untuk merasakan keindahan. Keindahan itu bersifat universal atau
tidak memandang siapa yang menilai keindahan itu. Akan tetapi siapa saja boleh
merasakan keindahan, tua muda, anak-anak atau remaja, wanita atau laki-laki.
Tidak dibatasi oleh umur, agama, suku atau bangsa tertentu.
Makalah ini akan mengulas mengenai pengertian estetika
dan perkembangan estetika pada era kontemporer. Khususnya akan membahas
pandangan estetis Benedetto Croce sebagai salah satu filosof yang berpengaruh
dalam pemikirannya mengenai estetika.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Estetika
Estetika adalah cabang filsafat yang mempersoalkan
seni (art) dan keindahan (beauty). Istilah estetika berasal dari
kata Yunani aisthesis, yang berarti pencerapan inderawi, pemahaman intelektual (intelectual understanding), atau bisa
juga berarti pengamatan spiritual. Istilah art
(seni) berasal dari kata latin ars,
yang berarti seni, keterampilan, ilmu, atau kecakapan.[2]
Estetika dapat dibagi kedalam dua bagian, yaitu
estetika deskriptif dan estetika normatif. Estetika deskriptif menguraikan dan
melukiskan fenomena-fenomena pengalaman keindahan. Estetika normatif
mempersoalkan dan menyelidiki hakikat, dasar, dan ukuran pengalaman keindahan.
Ada pula yang membagi estetika kedalam filsafat seni (philosophy of art) dan filsafat keindahan (philosophy of beauty). Filsafat seni mempersoalkan ststus
ontologis dari karya-karya seni dan mempertanyakan pengetahuan apakah yang
dihasilkan oleh seni serta apakah yang dapat diberikan oleh seni untuk
menghubungkan manusia dengan realitas. Filsafat keindahan membahas apakah
keindahan itu dan apakah nilai indah itu objektif atau subjektif.[3]
Beberapa pengertian estetika dalam lingkupnya dapat
dicermati sebagai berikut ini:[4]
1)
Estetika adalah segala sesuatu dan kajian terhadap
hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan seni (Kattsoff,
Element of Philosophy, 1953).
2)
Estetika merupakan suatu telaah yang berkaitan dengan
penciptaan, apresiasi, dan kritik terhadap karya seni dalam konteks keterkaitan
seni dengan kegiatan manusia dan peranan seni dalam perubahan dunia (Van Mater
Ames, Colliers Encyclopedia, vol.I)
3)
Estetika merupakan kajian filsafat keindahan dan juga
keburukan (Jerome Stolnitz, Encyclopedia
of Philosophy, Vol.I)
4)
Estetika adalah suatu ilmu yang mempelajari segala
sesuatu yang berkaitan dengan keindahan, mempelajari semua aspek yang disebut
keindahan (AA Djelantik,Estetika Suatu
Pengantar, 1999)
Pandangan-pandangan mengenai estetika diatas, setiap
waktu mengalami pergeseran, sejalan dengan pergesaran konsep estetik setiap
zaman. Pandangan bahwa estetik hanya mengkaji segala sesuau yang indah (cantik
dan gaya seni), telah lama dikoreksi, karena terdapat kekenderungan karya-karya
seni modern tidak lagi mnawarkan kecantikan seperti zaman Romantik atau Klasik,
tetapi lebih kepada makna dan aksi mental.[5]
B. Sudut Pandang Nilai Estetika
Telaah mengenai nilai estetika yang beragam
memunculkan beberapa sudut pandang. Sekarang
kita akan melihat beberapa pendapat bahwa nilai indah itu ditentukan oleh
objeknya atau tidak?[6]
Pertama, objektif
rasionalis, yang berpendapat bahwa
“nilai indah” itu memang karena objek itu sendiri indah. Mungkin karena
lukisannya bermakna tinggi dan warnanya sesuai atau cocok. Kerapian juga
mempengaruhi suatu keindahan. Sehingga semua orang tertarik dan menyukai
lukisan itu, dan akhirnya lukisan itu jadi pemenangnya.
Kedua, subjektif psikologis, menyatakan bahwa “nilai indah” itu sebenarnya ungkapan perasaan. Apa yang
dilihatnya hanyalah sebagai “penyulut” dari pengungkapan perasaan itu. Jadi,
nilai indah itu bukan berasal dari objek, akan tetapi dari subjek yang
perasaannya terungkap. Hanya orang-orang yang memiliki perasaan halus sajalah
yang dapat merasakan kendahan. Sebagai contoh, sebuah lukisan klasik, yang
dapat menilai apakan lukisan itu indah atau tidak hanyalah yang memiliki rsa
nilai tinggi. Sementara orang yang tidak memiliki rasa nilai hanya akan
memangdang lukisan itu hanyalah lukisan biasa.
Ketiga, subjektif-empiris, yang menyatakan bahwa nilai indah itu merupakan keindahan yang
diobjektivikasikan. Dalam artian, harus dibarengi dengan pengalaman. Yang tidak
melalui pengalaman, keindahan hanya dalam angan-angan saja. Contohnya,
seseorang bisa mengatakan taman itu indah jika ia pernah duduk, berjalan atau
bermain-main di taman itu. Jika ia hanya menyaksikan di televise atau gambar
saja, maka tidak bisa dinilai “indah”.
Keempat, subjektif-experience,
yang menyatakan bahwa “nilai indah” itu adalah nilai suatu keberhasilan dari
suatu proses pengalaman yang panjang. Maka nilai indah itu tidak bersifat
tiba-tiba, tetapi ada proses pengalaman sampai akhirnya, keberhasilan itu dapat
dicapai. Misalnya, dalam ujian,seseorang akan merasakan keindahan dari hasil
belajarnya ketika ia lulus ujian dengan nilai yang membanggakan. Tentu
keindahan itu akan dirasakan diakhir bukan sebelum atau ketika ujian
berlangsung.
Kelima, estetika-objektif metafisika, yang menyatakan bahwa “nilai indah” itu terkait dengan pertimbangan-pertimbangan
metafisik atau teologis-religius, yang mengajak pada pengakuan kebesaran Ilahi.
Contoh, ketika memandang pegunungan yang hijau nan sejuk, seseorang akan
mengatakan “alangkah indahnya gunung itu”, tapi sebenarnya yang dikaguminya
adalah si Pencipta gunung tersebut yaitu Allah SWT. Dalam artian lebih
menekankan kepada sang Kholik bukan semata objeknya saja.
C. Estetika Benedetto Croce
Filsafat dengan seni memiliki hubungan
yang erat, karena estetika (keindahan) dalam seni merupakan bagian dari filsafat.
Namun dalam penggolongan objeknya estetika masuk dalam ruang lingkup bahasan
filsafat manusia. Baru pada abad ke 20 estetika mengeser perannanya sebagai
filsafat keindahan dan menuju kearah keilmuan, yang sebelumnya mengkhususkan
diri hanya pada telaah atas karya-karya seni saja. Maka estetika abad 20
dikenal sebagai estetika modern atau estetika ilmiah karena bekerja dengan
bantuan ilmu-ilmu lain seperti psikologi, sosiologi, antropologi, dan lain
sebagainya, dari situlah filsafat seni menjadi bagian dari studi estetika
ilmiah, dengan pendekatan yang lebih empiris-ilmiah.
Banyak pendapat dari berbagai filosof yang
memperbincangkan mengenai estetika ini, tetapi kemudian seperti penulis kutip
dari Agus Sachari dalam bukunya yang berjudul Estetika; makna,simbol dan daya, bahwa Pemikir Estetika Barat pada
abad ke-20 yang cukup berpengaruh adalah Benedetto Croce.[7]
Croce (1866-1952) adalah filsuf terkenal dari Italia
pada paroh pertama abad 20. Sejak masa muda ia menaruh perhatian besar pada sastra
dan sejarah. Lewat studinya secara mendalam ia mempelajari idealisme dan
sejarah. Dalam konteks minatnya pada sejarah, muncullah perhatian Croce pada
estetika. Untuk memahami filsafat estetika Croce, kita harus ingat prioritas idea dalam idealismenya.[8]
Croce menyamakan seni dengan intuisi, dan menurut
Croce intuisi adalah gambar yang berada di alam pikiran. Dengan demikian, seni
itu berada di alam pikiran seniman. Karya seniman dalam bentuk fisik
sesungguhnya bukan seni, melainkan semata-mata alat bantu untuk menolong
penciptaan kembali seni yang sebenarnya berada di alam pikiran seniman. Croce
juga menyamakan intuisi dengan ekspresi. Karena seni sama dengan intuisi dan
intuisi sama dengan ekspresi, berarti seni sama dengan ekspresi. Apa yang di
ekspresikan itu tidak lain dari perasaan si seniman. Croce mengatakan bahwa
seni adalah ekspresi dari kesan-kesan (art
is expression of impressions).[9]
Croce sendiri membedakan empat tahap dalam refleksinya
mengenai estetika, sebagai berikut:[10]
1)
Seni adalah
kegiatan yang sepenuhnya mandiri dan bebas dari segala macam pertimbangan etis.
2)
Kegiatan
seni berbeda dengan kegiatan intelek. Seni lebih merupakan ekspresi diri atas
pengalaman individu (intuitif) dan menghasilkan pengetahuan langsung dalam
bentuk individualitas kongkrit, sedang intelek lebih merupakan kegiatan
analitis dan menghasilkan pengetahuan reflektif.
3)
Kegiatan
seni ditentukan oleh perkembangan kepribadian seniman.
4)
Apresiasi
adalah penghidupan kembali pengalaman-pengalaman seniman didalam diri
penanggap.
Dengan demikian, seni adalah kegiatan
kreatif yang tidak mempunyai tujuan dan juga tidak mengejar tujuan tertentu
kecuali keindahan itu sendiri, sehingga tidak berlaku kriteria kegunaan, etika
dan logika. Kegiatan seni hanya merupakan penumpahan perasaan-perasaan seniman,
visi atau intuisinya, dalam bentuk citra tertentu, baik dalam bentuk maupun
kandungan isinya. Jika hasil karya seni ini kemudian diapresiasi oleh
penanggap, hal itu disebabkan karya seni tersebut membangkitkan intuisi yang
sama pada dirinya sebagaimana yang dimiliki oleh sang seniman.
D. Estetika Dalam Pendidikan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
(Mendikbud) Mohammad Nuh mengatakan, kurikulum pendidikan baru yang
direncanakan diterapkan mulai 2013 juga menekankan estetika yang antara lain
mencakup seni dan budaya. Seperti dalam pernyataannya sebagai berikut:
"Kalau
kita perhatikan kurikulum yang baru, selalu ada pelajaran seni dan budaya
karena kita ingin membangun masa depan anak didik yang berbudaya dan memiliki
jiwa seni sehingga apa yang disampaikan kepada anak didik bukanlah hal-hal yang
tidak memperhatikan nilai-nilai keindahan,"[11]
Dalam kurikulum baru yang sedang
memasuki uji publik, ditekankan urusan logika etika dan estetika yang
diterjemahkan dalam bentuk kompetensi fiskal, kompetensi keterampilan, dan
kompetensi pengetahuan. Pihaknya tidak ingin mencerdaskan seseorang untuk
pandai saja, tetapi juga peningkatan logika agar nyaman dalam berkomunikasi dan
santun dalam berekspresi. Oleh karena itu, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemdikbud) makin fokus menggarap tiga wilayah berpikir dan
bertindak di kalangan pelajar, yakni logika, etika, dan estetika.[12]
Estetika dalam konteks pendidikan diartikan sebagai ”rasa
keindahan”. Rasa estetika merupakan satuan keseimbangan antara pikiran –
perasaan yang secara alami telah
dipunyai anak. Keseimbangan ini akan memberikan kontrol antara perkembangan
rasa dan pikiran. Pelaksanaan pembelajaran pendidikan estetika berbentuk
pendidikan a-vokasional, yaitu pendidikan yang tidak mengenal
bakat anak dalam belajar seni. Pendidikan jenis ini bertujuan ”Mendidik melalui
seni, dengan seni dan membuat seni”.[13]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan:
Sejalan dengan pergesaran konsep estetik setiap zaman,
pandangan bahwa estetik hanya mengkaji segala sesuau yang indah (cantik dan
gaya seni), telah lama dikoreksi, karena terdapat kecenderungan karya-karya
seni modern tidak lagi menawarkan kecantikan seperti zaman Romantik atau
Klasik, tetapi lebih kepada makna dan aksi mental.
Estetika juga mempunyai peranan penting apabila
dikaitkan dengan dunia pendidikan karena estetika akan menyeimbangkan dan memberikan kontrol antara perkembangan rasa dan pikiran.
Daftar Pustaka
Muslih, Mohammad, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Belukar, 2008
Rapar,
Jan Hendrik, Pengantar Filsafat, Yogyakarta:
Kanisius, 1996.
Sachari,
Agus, Estetika; Makna, Simbol, dan Daya,
Bandung: ITB, 2002.
Sutrisno,
Mudji dan Christ Verhaak, Estetika
Filsafat Keindahan, Yogyakarta: Kanisius 1993
Tafsir,
Ahmad, Filsafat Umum, Bandung: Remaja
Rosdakarya,2003.
http://edukasi.kompas.com/read/2012/12/07/21452171/Kurikulum.Pendidikan.2013.Juga.Tekankan.Estetika,
di akses pada hari senin, tanggal 10-12-2012, jam 8.30 WIB.
http://www20pendidikan&source=http%3A%2F%2Feprints.uny.ac.id%2F4080%2F1%2FEstetikaSeni
[1]
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, (Bandung: Remaja
Rosdakarya,2003), hlm. 41.
[2]
Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta:
Kanisius, 1996), hlm.67.
[4]
Agus Sachari, Estetika; Makna, Simbol, dan Daya,
(Bandung: ITB, 2002), hlm.3
[5]
Ibid.
[7]
Agus Sachari, Estetika, hlm.7
[8]
Mudji Sutrisno dan Christ
Verhaak, Estetika Filsafat Keindahan,
(Yogyakarta: Kanisius 1993), hlm. 75
[9]
Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, hlm.70.
[10]
Mudji Sutrisno dan Christ
Verhaak, Estetika , hlm. 75-76
[11]http://edukasi.kompas.com/read/2012/12/07/21452171/Kurikulum.Pendidikan.2013.Juga.Tekankan.Estetika, di akses pada hari senin,
tanggal 10-12-2012, jam 8.30 WIB.
[12]
Ibid.
[13]http://www20pendidikan&source=http%3A%2F%2Feprints.uny.ac.id%2F4080%2F1%2FEstetikaSeni.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar