Jumat, 14 Desember 2012

SEPENGGAL LUPA TENTANG FREEPORT

Mbah Sira memanggil salah satu santrinya. “Tolong baca ini, yang lantang biar mereka ngeh!” kata mbah Sira sambil menyerahkan selembar kertas.
Sang santri yang gemetaran, berdiri dihadapan kawan-kawannya yang duduk menunduk di ruang tamu, d

i teras dan di halaman rumah mbah Sira.
Dengan terbata-bata, ia mulai membaca catatan yang diberikan mbah Sira.
***
SEPENGGAL LUPA TENTANG FREEPORT
Kontrak dimulai tahun 1967 dan baru akan berakhir tahun 2041.
Beberapa sumber menghitung bahwa sejak 1967 sampai 2010 (43 tahun) sudah menghasilkan 7,3 juta ton tembaga dan 724,7 juta ton emas.
Kalau diuangkan dengan patokan harga emas tiap gram sekarang senilai Rp 500.000,- saja, maka jumlah uang yang dihasilkan kurang lebih adalah;
724 trilyun 700 ribu gram kali Rp 500.000,- = 362.350 trilyun.
Artinya tiap tahun Freeport menghasilkan kekayaan sebesar:
362.350 trilyun : 43 = 8.426,7442 trilyun
Katakanlah setelah dipotong macam-macam biaya hasil bersihnya adalah 8.000 trilyun (coba bandingkan dengan anggaran APBN tahun ini yang cuma 1.202 trilyun)
Dari jumlah ini, Indonesia hanya mendapat 1%. Artinya hanya sekitar 80 trilyun tiap tahun (kalau menurut berita-berita di media massa jumlahnya malah hanya 15 sampai 20 trilyun pertahun, alias seperempat dari cukai rokok yang tahun 2010 saja menyumbang devisa sebesar 66 trilyun). Sementara sisanya yang 99% masuk ke perusahaan di AS.
Sekarang mari kita bayangkan, kalau saja pemerintah berani menuntut perubahan kontrak karya dan meminta bagian 30% saja, maka tiap tahun kita bisa memperoleh minimal 2.400 trilyun (alias dua kali lipat APBN tahun ini).
Itu baru dihitung dari nilai emas, belum lagi dari hasil tambang lainnya.
Meski demikian, baru dari emas yang dihasilkan saja, kita sudah bisa menghitung bahwa pada dasarnya kita tak perlu lagi punya hutang, rakyat juga akan sejahtera, bisa memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan gratis. Bukan cuma Papua yang akan sejahtera dan bermartabat, tapi seluruh Indonesia.
Apalagi sekarang ditemukan uranium yang harganya 100 kali harga emas. Bahkan menurut para ahli, bila dipakai untuk PLTN, kandungan uranium disana mampu dipakai utuk menerangi seluruh dunia.
(diambil dari berbagai sumber, karena transparansi tak bisa ditunjukkan oleh pihak Freeport)
***
“Nah, kalau begini, menurut kalian siapa yang sebenarnya berkepentingan untuk selalu melempar api ke Papua?” mbah Sira menyapukan pandangannya ke seluruh santrinya.
“Kalian ini lucu dan memprihatinkan! Ini tanah kalian, ini kekayaan kalian, tapi kalian malah suka ribut tentang remah-remah yang sengaja disebar dan membiarkan rotinya dinikmati Freeport sendirian!”
“Belum lagi presidennya, ditengah bangsa yang tak henti ditumpuk masalah, kok masih sempat-sempatnya membuat dan meluncurkan album keempat…!”

Rabu, 12 Desember 2012

Estetika Pada Masa Kontemporer



Oleh: Arfian Bayu Bekti
BAB I
PENDAHULUAN

Ukuran indah dan tidak indah sama dengan ukuran baik dan tidak baik; membingungkan, bermacam-macam, subjektif, sering diperdebatkan. Meskipun demikian, estetika berusaha menemukan ukuran yang berlaku umum. Akan tetapi, sama dalam etika, usaha itu tidak berhasil. Memang ditemukan ukuran indah-tidak indah, tetapi ukuran yang ditemukan begitu banyak, pakarnya sendiri tidak mampu bersepakat.[1]
Dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak akan luput dari kata-kata “indah”. Jadi, semua manusia memiliki potensi dasar untuk merasakan keindahan. Keindahan itu bersifat universal atau tidak memandang siapa yang menilai keindahan itu. Akan tetapi siapa saja boleh merasakan keindahan, tua muda, anak-anak atau remaja, wanita atau laki-laki. Tidak dibatasi oleh umur, agama, suku atau bangsa tertentu.
Makalah ini akan mengulas mengenai pengertian estetika dan perkembangan estetika pada era kontemporer. Khususnya akan membahas pandangan estetis Benedetto Croce sebagai salah satu filosof yang berpengaruh dalam pemikirannya mengenai estetika.








BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Estetika
Estetika adalah cabang filsafat yang mempersoalkan seni (art) dan keindahan (beauty). Istilah estetika berasal dari kata Yunani aisthesis, yang berarti pencerapan inderawi, pemahaman intelektual (intelectual understanding), atau bisa juga berarti pengamatan spiritual. Istilah art (seni) berasal dari kata latin ars, yang berarti seni, keterampilan, ilmu, atau kecakapan.[2]
Estetika dapat dibagi kedalam dua bagian, yaitu estetika deskriptif dan estetika normatif. Estetika deskriptif menguraikan dan melukiskan fenomena-fenomena pengalaman keindahan. Estetika normatif mempersoalkan dan menyelidiki hakikat, dasar, dan ukuran pengalaman keindahan. Ada pula yang membagi estetika kedalam filsafat seni (philosophy of art) dan filsafat keindahan (philosophy of beauty). Filsafat seni mempersoalkan ststus ontologis dari karya-karya seni dan mempertanyakan pengetahuan apakah yang dihasilkan oleh seni serta apakah yang dapat diberikan oleh seni untuk menghubungkan manusia dengan realitas. Filsafat keindahan membahas apakah keindahan itu dan apakah nilai indah itu objektif atau subjektif.[3]
Beberapa pengertian estetika dalam lingkupnya dapat dicermati sebagai berikut ini:[4]
1)      Estetika adalah segala sesuatu dan kajian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan seni (Kattsoff, Element of Philosophy, 1953).
2)      Estetika merupakan suatu telaah yang berkaitan dengan penciptaan, apresiasi, dan kritik terhadap karya seni dalam konteks keterkaitan seni dengan kegiatan manusia dan peranan seni dalam perubahan dunia (Van Mater Ames, Colliers Encyclopedia, vol.I)
3)      Estetika merupakan kajian filsafat keindahan dan juga keburukan (Jerome Stolnitz, Encyclopedia of Philosophy, Vol.I)
4)      Estetika adalah suatu ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan keindahan, mempelajari semua aspek yang disebut keindahan (AA Djelantik,Estetika Suatu Pengantar, 1999)
Pandangan-pandangan mengenai estetika diatas, setiap waktu mengalami pergeseran, sejalan dengan pergesaran konsep estetik setiap zaman. Pandangan bahwa estetik hanya mengkaji segala sesuau yang indah (cantik dan gaya seni), telah lama dikoreksi, karena terdapat kekenderungan karya-karya seni modern tidak lagi mnawarkan kecantikan seperti zaman Romantik atau Klasik, tetapi lebih kepada makna dan aksi mental.[5]
B.     Sudut Pandang Nilai Estetika
Telaah mengenai nilai estetika yang beragam memunculkan beberapa sudut pandang. Sekarang kita akan melihat beberapa pendapat bahwa nilai indah itu ditentukan oleh objeknya atau tidak?[6]
Pertama, objektif rasionalis, yang berpendapat bahwa “nilai indah” itu memang karena objek itu sendiri indah. Mungkin karena lukisannya bermakna tinggi dan warnanya sesuai atau cocok. Kerapian juga mempengaruhi suatu keindahan. Sehingga semua orang tertarik dan menyukai lukisan itu, dan akhirnya lukisan itu jadi pemenangnya.
Kedua, subjektif psikologis, menyatakan bahwa “nilai indah” itu sebenarnya ungkapan perasaan. Apa yang dilihatnya hanyalah sebagai “penyulut” dari pengungkapan perasaan itu. Jadi, nilai indah itu bukan berasal dari objek, akan tetapi dari subjek yang perasaannya terungkap. Hanya orang-orang yang memiliki perasaan halus sajalah yang dapat merasakan kendahan. Sebagai contoh, sebuah lukisan klasik, yang dapat menilai apakan lukisan itu indah atau tidak hanyalah yang memiliki rsa nilai tinggi. Sementara orang yang tidak memiliki rasa nilai hanya akan memangdang lukisan itu hanyalah lukisan biasa.
Ketiga, subjektif-empiris, yang menyatakan bahwa nilai indah itu merupakan keindahan yang diobjektivikasikan. Dalam artian, harus dibarengi dengan pengalaman. Yang tidak melalui pengalaman, keindahan hanya dalam angan-angan saja. Contohnya, seseorang bisa mengatakan taman itu indah jika ia pernah duduk, berjalan atau bermain-main di taman itu. Jika ia hanya menyaksikan di televise atau gambar saja, maka tidak bisa dinilai “indah”.
Keempat, subjektif-experience, yang menyatakan bahwa “nilai indah” itu adalah nilai suatu keberhasilan dari suatu proses pengalaman yang panjang.  Maka nilai indah itu tidak bersifat tiba-tiba, tetapi ada proses pengalaman sampai akhirnya, keberhasilan itu dapat dicapai. Misalnya, dalam ujian,seseorang akan merasakan keindahan dari hasil belajarnya ketika ia lulus ujian dengan nilai yang membanggakan. Tentu keindahan itu akan dirasakan diakhir bukan sebelum atau ketika ujian berlangsung.
Kelima, estetika-objektif metafisika, yang menyatakan bahwa “nilai indah” itu terkait dengan pertimbangan-pertimbangan metafisik atau teologis-religius, yang mengajak pada pengakuan kebesaran Ilahi. Contoh, ketika memandang pegunungan yang hijau nan sejuk, seseorang akan mengatakan “alangkah indahnya gunung itu”, tapi sebenarnya yang dikaguminya adalah si Pencipta gunung tersebut yaitu Allah SWT. Dalam artian lebih menekankan kepada sang Kholik bukan semata objeknya saja.

C.    Estetika Benedetto Croce
Filsafat dengan seni memiliki hubungan yang erat, karena estetika (keindahan) dalam seni merupakan bagian dari filsafat. Namun dalam penggolongan objeknya estetika masuk dalam ruang lingkup bahasan filsafat manusia. Baru pada abad ke 20 estetika mengeser perannanya sebagai filsafat keindahan dan menuju kearah keilmuan, yang sebelumnya mengkhususkan diri hanya pada telaah atas karya-karya seni saja. Maka estetika abad 20 dikenal sebagai estetika modern atau estetika ilmiah karena bekerja dengan bantuan ilmu-ilmu lain seperti psikologi, sosiologi, antropologi, dan lain sebagainya, dari situlah filsafat seni menjadi bagian dari studi estetika ilmiah, dengan pendekatan yang lebih empiris-ilmiah.
Banyak pendapat dari berbagai filosof yang memperbincangkan mengenai estetika ini, tetapi kemudian seperti penulis kutip dari Agus Sachari dalam bukunya yang berjudul Estetika; makna,simbol dan daya, bahwa Pemikir Estetika Barat pada abad ke-20 yang cukup berpengaruh adalah Benedetto Croce.[7]
Croce (1866-1952) adalah filsuf terkenal dari Italia pada paroh pertama abad 20. Sejak masa muda ia menaruh perhatian besar pada sastra dan sejarah. Lewat studinya secara mendalam ia mempelajari idealisme dan sejarah. Dalam konteks minatnya pada sejarah, muncullah perhatian Croce pada estetika. Untuk memahami filsafat estetika Croce, kita harus ingat prioritas idea dalam idealismenya.[8]
Croce menyamakan seni dengan intuisi, dan menurut Croce intuisi adalah gambar yang berada di alam pikiran. Dengan demikian, seni itu berada di alam pikiran seniman. Karya seniman dalam bentuk fisik sesungguhnya bukan seni, melainkan semata-mata alat bantu untuk menolong penciptaan kembali seni yang sebenarnya berada di alam pikiran seniman. Croce juga menyamakan intuisi dengan ekspresi. Karena seni sama dengan intuisi dan intuisi sama dengan ekspresi, berarti seni sama dengan ekspresi. Apa yang di ekspresikan itu tidak lain dari perasaan si seniman. Croce mengatakan bahwa seni adalah ekspresi dari kesan-kesan (art is expression of impressions).[9]
Croce sendiri membedakan empat tahap dalam refleksinya mengenai estetika, sebagai berikut:[10]
1)      Seni adalah kegiatan yang sepenuhnya mandiri dan bebas dari segala macam pertimbangan etis.
2)      Kegiatan seni berbeda dengan kegiatan intelek. Seni lebih merupakan ekspresi diri atas pengalaman individu (intuitif) dan menghasilkan pengetahuan langsung dalam bentuk individualitas kongkrit, sedang intelek lebih merupakan kegiatan analitis dan menghasilkan pengetahuan reflektif.
3)      Kegiatan seni ditentukan oleh perkembangan kepribadian seniman.
4)      Apresiasi adalah penghidupan kembali pengalaman-pengalaman seniman didalam diri penanggap.
Dengan demikian, seni adalah kegiatan kreatif yang tidak mempunyai tujuan dan juga tidak mengejar tujuan tertentu kecuali keindahan itu sendiri, sehingga tidak berlaku kriteria kegunaan, etika dan logika. Kegiatan seni hanya merupakan penumpahan perasaan-perasaan seniman, visi atau intuisinya, dalam bentuk citra tertentu, baik dalam bentuk maupun kandungan isinya. Jika hasil karya seni ini kemudian diapresiasi oleh penanggap, hal itu disebabkan karya seni tersebut membangkitkan intuisi yang sama pada dirinya sebagaimana yang dimiliki oleh sang seniman.
D.    Estetika Dalam Pendidikan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Mohammad Nuh mengatakan, kurikulum pendidikan baru yang direncanakan diterapkan mulai 2013 juga menekankan estetika yang antara lain mencakup seni dan budaya. Seperti dalam pernyataannya sebagai berikut:
"Kalau kita perhatikan kurikulum yang baru, selalu ada pelajaran seni dan budaya karena kita ingin membangun masa depan anak didik yang berbudaya dan memiliki jiwa seni sehingga apa yang disampaikan kepada anak didik bukanlah hal-hal yang tidak memperhatikan nilai-nilai keindahan,"[11]
Dalam kurikulum baru yang sedang memasuki uji publik, ditekankan urusan logika etika dan estetika yang diterjemahkan dalam bentuk kompetensi fiskal, kompetensi keterampilan, dan kompetensi pengetahuan. Pihaknya tidak ingin mencerdaskan seseorang untuk pandai saja, tetapi juga peningkatan logika agar nyaman dalam berkomunikasi dan santun dalam berekspresi. Oleh karena itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) makin fokus menggarap tiga wilayah berpikir dan bertindak di kalangan pelajar, yakni logika, etika, dan estetika.[12]
 Estetika dalam konteks pendidikan diartikan sebagai ”rasa keindahan”. Rasa estetika merupakan satuan keseimbangan antara pikiran – perasaan yang secara alami telah dipunyai anak. Keseimbangan ini akan memberikan kontrol antara perkembangan rasa dan pikiran. Pelaksanaan pembelajaran pendidikan estetika berbentuk pendidikan a-vokasional, yaitu pendidikan yang tidak mengenal bakat anak dalam belajar seni. Pendidikan jenis ini bertujuan ”Mendidik melalui seni, dengan seni dan membuat seni”.[13]



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan:
Sejalan dengan pergesaran konsep estetik setiap zaman, pandangan bahwa estetik hanya mengkaji segala sesuau yang indah (cantik dan gaya seni), telah lama dikoreksi, karena terdapat kecenderungan karya-karya seni modern tidak lagi menawarkan kecantikan seperti zaman Romantik atau Klasik, tetapi lebih kepada makna dan aksi mental.
Estetika juga mempunyai peranan penting apabila dikaitkan dengan dunia pendidikan karena estetika akan menyeimbangkan dan memberikan kontrol antara perkembangan rasa dan pikiran.














Daftar Pustaka
Muslih, Mohammad, Filsafat Ilmu,  Yogyakarta: Belukar, 2008
Rapar, Jan Hendrik, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Sachari, Agus, Estetika; Makna, Simbol, dan Daya, Bandung: ITB, 2002.
Sutrisno, Mudji dan Christ Verhaak, Estetika Filsafat Keindahan, Yogyakarta: Kanisius 1993
Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum, Bandung: Remaja Rosdakarya,2003.
http://www20pendidikan&source=http%3A%2F%2Feprints.uny.ac.id%2F4080%2F1%2FEstetikaSeni




[1] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, (Bandung: Remaja Rosdakarya,2003), hlm. 41.
[2] Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm.67.
[3] Ibid., hlm.68.
[4] Agus Sachari, Estetika; Makna, Simbol, dan Daya, (Bandung: ITB, 2002), hlm.3
[5] Ibid.
[6] Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu,  (Yogyakarta: Belukar, 2008),  hlm.80-81
[7] Agus Sachari, Estetika, hlm.7
[8] Mudji Sutrisno dan Christ Verhaak, Estetika Filsafat Keindahan, (Yogyakarta: Kanisius 1993), hlm. 75
[9] Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, hlm.70.
[10] Mudji Sutrisno dan Christ Verhaak, Estetika , hlm. 75-76
[12] Ibid.
[13]http://www20pendidikan&source=http%3A%2F%2Feprints.uny.ac.id%2F4080%2F1%2FEstetikaSeni.