Minggu, 14 Oktober 2012

Sejarah Kekhalifahan dan Doktrin Keagung Binataran

Oleh : Arfian Bayu Bekti

BAB I
PENDAHULUAN

Ketika berhasil menduduki tahta kepemimpinan, bani Umayyah memberikan interpretasi baru bahwa gelar khalifah. Yakni khalifah menurut mereka adalah ‘’penguasa” yang di angkat oleh Allah. Kemudian pada masa Abasiah Mansur al-Abbasi telah memproklamirkan dirinya sebagai khalifatullah di muka bumi. Khalifah Abbasiah menganggap kekuasaannya berasal dari Allah, divine origin (Mansur menyatakan, Ana Khalifatullahi fi (‘ala al-Ard) Ardihi: saya adalah khalifah Allah di muka bumiNya.[1] Sebenarnya apa motif dibalik tindakannya itu mengingat gelar khalifah yang biasanya di sandang diartikan sebagai pengganti khalifah-khalifah sebelumnya sebagaimana yang dilakukan khalifah Abu Bakar. Sebagai pemimpin umat Islam setelah Rasul, Abu Bakar disebut Khalifah Rasulillah (pengganti Rasul) yang dalam perkembangannya disebut khalifah saja.[2] Sedangkan Umar ibn Khatab menyebut dirinya khalifah Khalifati Rasulillah (pengganti dari pengganti Rasulullah).[3]
Sementara itu di bumi Nusantara kerap didengar juga para raja Melayu-Indonesia melengkapi gelar mereka yang panjang dengan Kalipatullah, Seperti yang dilakukan oleh Sultan Amangkurat IV (penguasa Mataram pertama) dan Diponegoro (pejuang muslim ternama). Terlihat sekali bagaimana bahasa dan istilah politik Islam beralgamasi dengan konsep dan bahasa politik lokal.[4] Moedjianto dalam bukunya Konsep Kekuasaan Jawa ; Penerapannya Oleh Raja-Raja Mataram, yang mengemukakan salah satu konsep Raja Melayu-Indonesia yaitu doktrin keagung binataran. Doktrin keagung binataran memandang kekuasaan itu sebagai suatu ketunggalan artinya kekuasaan itu harus utuh dan menyeluruh, tidak boleh ada yang menyaingi, tidak terkotak-kotak atau terbagi-bagi serta tidak hanya mengenai bidang-bidang tertentu. Kekuasaan raja seperti kekuasaan dewa. yang agung dan binatara.[5]

Dengan demikian muncul pertanyaan apa sebenarnya urgensi raja-raja di Nusantara yang sudah mempunyai gelar agung-binatara bahkan otoritasnya disetarakan dengan dewa untuk menambahkan gelar khalifatullah.




















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Konsep Khalifatullah
Kata khalifah, menurut Luis Ma’luf Yasu’i dalam Kamus al-Munjid biasa diterjemahkan dengan pengganti.[6] Sedangkan Khulafa al-Rasyidin adalah pemimpin yang diangkat sesudah Nabi wafat untuk menggantikan beliau melanjutkan tugas-tugas sebagai pemimpin agama dan kepala pemerintahan.[7]
Konsep khalifatullah (secara umum) adalah gagasan paling fundamental dalam al-Qur’an setelah tema tauhid. Konsep inilah yang menjelaskan kepada kita bahwa dalam persepsi al-Qur’an membangun peradaban adalah salah satu aspek ibadah terbesar kepada Allah SWT. Dengan peradaban yang maju kita akan mampu menampakkan keagungan dan keindahan ajaran Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin.
Dengan petunjuk agama pula manusia dapat menyempurnakan budinya sehingga ia sanggup menjalankan tugasnya sebagai master of the world/khalifah fi al-ardl. Manusialah yang di takdirkan Tuhan untuk mensejahterakan, memanfaatkan, menguasai dan menjaga kelestarian bumi. Manusia dikaruniai kemampuan mengenal dan memahami segala kenyataan yang ada di alam semesta ini karena manusia adalah khalifah Allah dimuka bumi.[8]
Yang diserahi khalifah (menjadi khalifah) yang sah dan benar bukanlah perseorangan, keluarga atau ras tertentu, tetapi komunitas secara keseluruhan yang meyakini dan menerima prinsip-prinsip kepemimpinan umum sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an surat al-Nur ayat 55:
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang beriman diantara kalian dan yang mengerjakan amal-amal shaleh  bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa. Hendaknya mereka tetap mengabdi kepadaKu dengan tiada mempersekutukan sesuatupun dengan Aku.”[9]
Dalam penggunaan khusus (sebagai pemimpin umat), manusia bukanlah penguasa atau pemilik asli dari yang dikuasai, tetapi ia hanyalah khalifatullah, alias wakil dari pemilik yang sebenarnya. Bahkan ia selalu dipantau dan diawasi dalam menduduki jabatannya itu.Lihat al-Qur’an surat Yunus ayat 14;
‘...kemudian kami jadikan kalian khalifah-khalifah diatas bumi setelah mereka untuk Kami pantau perbuatan kalian.”[10]

B.     Sejarah Singkat Kekhalifahan Dinasti Umayyah dan Abbasiyah
1.      Sekilas Berdirinya Dinasti Umayyah
Memasuki masa kekuasaan Muawiyah yang menjadi awal kekuasaan bani Umayyah, pemerintahan yang bersifat demokratis berubah menjadi monarchiheridetis ( kerajaan turun temurun). Kekhalifahan Muawiyyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi, dan tipu daya, tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak. Suksesi kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika Muawiyah memwajibkan seluruh rakyatnya untuk setia terhadap anaknya, Yazid. [11] Bahkan Muawiyah sendiri pernah berkata “saya sultan pertama” (i am the first king among the Arab kings). Pernyataan tersebut dikutib dari Yaqubi dalam kitab al-Buldan.[12]
Walaupun kekuasaan Bani Umayyah bersifat monarki tetapi Muawiyah membagi atas dua kelompok dewan syura yaitu Syura khas (pusat) dan Majlis Syura sementara (ad hoc). Pembangunan dan komunikasi yang kurang baik di berbagai provinsi dan kota Muawiyah sering berkonsultasi dengan anggota dewan Majlis Syura. Satu sisi ia cukup membuka ruang demokrasi dengan berkonsultasi dengan dewan Majlis Syura, namun di sisi lain ia juga mengampanyekan bentuk kekuasaan monarki dengan mengangkat Yazid menjadi putera mahkota, bahkan ia menyampaikan barang siapa yang tidak sejalan dengan model kepemimpinannya maka pedang yang akan meluruskannya.[13]
2.      Sekilas Berdirinya Dinasti Abbasiyyah
Nama dinasti Abbasiyah diambil dari nama salah seorang dari paman Nabi Muhammad SAW yang bernama al-Abbas bin Abd al-Muttalib ibn Hasyim. Orang Abbasiah merasa lebih berhak dari pada Bani Umayah atas kekhalifahan Islam, sebab mereka adalah dari cabang bani Hasyim yang secara nasab keturunan lebih dekat dengan Nabi. Menurut mereka orang Umayah secara paksa menguasai khilaifah melalui tragedi perang siffin. Oleh karena itu, untuk mendirikan Dinasti Abbasiah mereka mengadakan gerakan yang luar biasa melakukan pemberontakan terhadap dinasti Umayah.[14]
Masa pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri dinasti ini sangat singkat, yaitu dari tahun 750 M sampai 754 M. Karena itu pembinaan sebenarnya dari daulat Abbasiah adalah Abu Ja’far al-Manshur (754-775 M). Dia dengan keras menghadapi lawan-lawannya dari Bani Umayah, Khawarij, dan juga Syi’ah yang merasa dikucilkan dari kekuasaan.[15] Pada masa al-Mansur pengertian khalifah adalah sebagai kekuasaan Allah. Dia berkata, “Innama ana Sulthan Allah fi ardhihi (seseungguhnya saya adalah kekuasaan Tuhan di bumi-Nya)”. Dengan demikian konsep khalifah dalam pandangannya dan berlanjut ke generasi sesudahnya merupakan mandat dari Allah, bukan dari manusia, bukan pula sekedar pelanjut Nabi sebagaimana pada masa Khulafa al-Rasyidin.[16]
C.    Gelar Khalifatullah dan Doktrin Keagungbinataran
Selain Saffah semua khalifah abbasiah menganggap kekuasaannya berasal dari Allah (divine origin) dan menjadi panutan yang sebenarnya bagi kaum muslim. Abu Ja’far al-Mansur pengganti al-Saffah mengatakan:
Ana Khalifatullah fi ardihi ( Saya adalah Khalifah Allah di muka bumi-Nya)
Ana Sultanullahi fi ardihi (Saya adalah kekuasaan Allah di muka bumi-Nya)
Ana Zillullahi fi ardihi ( Saya adalah bayangan Allah di muka bumi-Nya).[17]
Padahal sebagaimana diketahui setelah Muhammad SAW menjadi khalifatullah. Abu Bakar adalah khalifatu Rasulillah, Umar adalah khalifatu khalifati Rasulillah, Usman adalah khalifatu Umar, Ali khalifatu Usman begitu seterusnya. Setelah itu kemudian sejak dinasti Umayyah para pemimpinnya mengaku sebagai khalifah Allah dan “memotong mata rantai”, tidak mengakui diri sebagai pengganti khalifah sebelumnya dan mendeklarasikan diri sebagai khalifatullah.
Seperti telah dijelaskan di atas  bahwa sistem kekhalifahan mengalami transformasi arti yang signifikan. Konsep kekhalifahan yang dikaitkan dengan posisi khalifah sebagai bayangan Tuhan di bumi, sehingga kekhalifahan mengandung dimensi kedaulatan Ilahi, sebenarnya adalah legitimasi terhadap kekuasaan.
Dinasti Umayah, Dinasti Abbasiah dan kerajaan-kerajaan Melayu-Nusantara memberlakukan sistem monarki, kepala kerajaan bersifat turun-temurun. Dengan demikian berlangsunglah sistem kekuasaan yang ketat. Dalam sistem kerajaan berlaku prinsip raja gung binatara, bahu denda nyakrawati, berbudi bawa leksana ambeg adil para marta (raja besar laksana dewa, pemegang hukum, meluap budi luhurnya, dan adil terhadap sesama). Itulah yang disebut konsep keagung binataran. Menurut konsep itu raja harus memegang kekuasaan yang besar. Raja nan besar mempunyai kekuasaan yang luas dengan rakyat yang jumlahnya besar.[18]
Dalam upaya meningkatkan legitimasi dan aura kekuasaannya, para penguasa muslim Melayu-Indonesia tidak hanya menggunakan gelar sultan, tetapi juga mengklaim sebagai ‘’wakil’’ Tuhan (khalifatullah). Kitab Undang-Undang Melaka menyebut mereka sebagai “khalifat al-mu’minin, dzill Allah fi al-ardl”. Sultan Mahmud naik tahta dengan gelar resmi “khalifat al-mu’minin”. Kemudian kitab Undng-Undang Pahang yang disusun untuk Sultan Pahang Abd al-Ghafur Muhay al-Din Syah (berkuasa 1592-1614) mencatat berbagai upaya pihak kesultanan menjadi raja Melayu identik dengan khalifatullah.
Para raja Muslim di Jawa juga tak ketinggalan mengikuti kecenderungan itu. Meskipun relatif lebih lambat dibanding raja-raja Melayu-Indonesia lainnya. Sultan Amangkurat IV adalah penguasa Mataram pertama yang menggunakan gelar kalipatullah. Lengkapnya adalah “Prabu Mangkurat Senapati Ingalaga Ngabdu Rahman Sayyidin Panatagama Kalipatullah”. Gelar ini dipakai kesultanan Yogyakarta setelah pecahnya Mataram. Gelar senada dua abad berikutnya juga digunakan pejuang muslim Diponegoro dalam menghadapi ancaman Belanda, yakni “Ngabdulkamid Erucakra Sayyidin Panatagama Kalipatullah Rasulullah Sain”. Baik dalam kasus Raja Mataram maupun Diponegoro memperlihatkan secara sempurna bagaimana bahasa dan istilah politik Islam beralgamasi dengan konsep dan bahasa politik lokal.[19]
Kenyataan bahwa para raja Melayu-Indonesia  menggunakan term politik smacam itu juga dibenarkan oleh sumber-sumber dari barat kala itu. Sebuah catatan Portugis tentang Pasai pada abad ke-16 bahwa raja mereka (Muslim-Melayu) adalah “orang yang memerintah sebagai pengganti Tuhan”.[20]
Demikian juga yang terjadi dengan Sultan Agung (1613-1645 M). Nama aslinya Mas Rangsang, bergelar Prabu Pandita, namun lebih terkenal gelar keduanya yaitu Panembahan Senopati Ing Alogo Ngabdurrahman Sayyidin Panatagama. Gelar khalifatullah pada Sultan Agung adalah pemberian Syarif Mekah pada tahun 1641 M atas permintaannya. Setelah Mataram terpecah menjadi dua, Surakarta dan Yogyakarta, gelar itu sama-sama dipakai selengkap-lengkapnya oleh masing-masing rajanya. Raja Yogyakarta bahkan memakai tambahan khalifatullah di penghujung gelarnya.[21]
Gelar Sultan yang disandang oleh Sultan Agung menunjukkan bahwa ia mempunyai kelebihan dari raja sebelumnya yaitu Panembahan Senopati dan Panembahan Sedo Ing Krapyak. Ketika dinobatkan sebagai raja (1613 M) dalam usia 20 tahun masih menggunakan gelar Panembahan. Tahun 1624 M ia mengubah gelarnya menjadi “susuhunan”. Selanjutnya ia menerima pengakuan dari Mekah sebagai seorang Sultan, kemudian mengambil gelar lengkapnya Sultan Agung Anyakrakusuma Senopati Ing Alogo Ngabdurrahman Kalipatullah (secara harfiah berarti raja yang agung, pangeran yang sakti, sang panglima perang dan sang pemangku amanah Tuhan Yang Maha Kasih).[22]
Sebenarnya tradisi Jawa sudah menyediakan gelar yang lebih ‘’tinggi’’ dari sulthan atau khalifatullah, yaitu bathara (dewa) ingkang Agung. Akan tetapi Sultan agung tetap menginginkan gelar khalifatullah. Hal ini besar kemungkinan dikarenakan Sultan Agung ingin mengungguli para Wali atau pemimpin agama karena para Wali adalah pemimpin agama dan negara (daerahnya) sekaligus. Dan mempunyai banyak pengikut.
Seperti yang dikemukakan G. Moedjianto dalam bukunya Konsep Kekuasaan Jawa; Penerapannya oleh Raja-Raja Mataram, yang menyebutkan bahwa Sultan Agung pernah mengirim ekspedisi penyerangan ke Giri pada 1635 dan kemudian Mangkurat II menghancurkannya pada tahun 1680. Hal itu besar kemungkinan karena para Wali adalah pemimpin agama dan negara (daerahnya) sekaligus, misalnya Sunan Giri.[23] Hal itu tidak sejalan dengan konsep keagung binataran bahwa seharusnya Raja adalah sebagai penguasa tunggal.
Kesuai dengan konsep keagung binataran, Sultan Agung bercita-cita memerintah sluruh pulau Jawa. Tak heran jika ia sering terlibat perang yang  panjang dengan penguasa daerah maupun dengan VOC yang juga mengincar pulau Jawa sjak 1618 M. Tahun 1627 M, seluruh pulau Jawa (kecuali Kesultanan Banten dan wilayah kekuasaan Kompeni di Batavia) telah berhasil dipersatuka di bawah Mataram.[24]
Sultan Agung adalah tokoh fenomenal yang berhasil melakukan berbagai pembaharuan, diantaranya mengubah kalender saka menjadi sistem Tarikh dengan tahun Hijriyah sebagai dasar perhitungan (kalender Jawa).[25] Kalender ini diberlakukan Sultan Agung pada tahun 1633 M/ 155 saka/ 1043 H dengan menggunakan Serat Kekancingan (surat yang memuat peraturan-peraturan Raja). Ini merupakan revolusi besar yang murni dipengaruhi Islam.[26]
D.    Jarak Rakyat dan Penguasa
Bahasa politik Islam baik di Nusantara maupun di Timur Tengah sejauh ini menempatkan penguasa dalam kedudukan yang amat tinggi. Warga disebut rakyat yang secara harfiah berarti “obyek yang di gembala” atau “dituntun” (oleh penguasa). Warga terhadap penguasanya menyebut diri sebagai “patik”, “hamba”, atau “abdi” yang berarti “budak”. “Saya” asalnya “sahaya”, artinya “budak”. “Kula” asalnya “kawula” artinya “budak” juga. Dengan demikian penguasa adalah “penggembala” yang harus di patuhi atau “tuan” bagi warganya.[27]
Sebagai penyeimbang, sebenarnya ada juga term bahasa politik Islam yang ditujukan khusus kepada penguasa dalam hubungan mereka dengan rakyat. Misalnya bahwa raja harus bersifat adil, amanah dan amar ma’ruf nahi munkar. Sifat adil sangat ditekankan dalam sejarah kerajaan Melayu-Indonesia. Adil adalah syarat dan sifat utama yang harus dimiliki oleh seorang Raja. Raja adalah “lambang” keadilan itu sendiri. Raja yang tidak adil yaknilalim (asalnya “dzalim”, dari bahasa arab), akan dikutuk Tuhan. Bahkan dikatakan lebih lanjut bahwa di mata Allah keadilan seorang Raja selama satu hari saja sma dengan ibadah haji 60 kali.Untuk mewujudkan keadilan seorang raja harus mengangkat menteri-menteri dan punggawa kerajaan yang setia kepada cita-cita keadilan itu.[28]
Doktrin keagung binataran atau kekuasaan Raja yang agung dan binatara harus menyeimbangkan antara kewenangannya yang besar dengan kewajiban yang besar pul. Kewenangan Raja yang besar menjadkan seorang Raja diakui sebagai pemilik segala sesuatu, baik harta benda maupun manusia. Begitu besarnya kewenangan Raja, rakyat tidak berani membantah dan menolak keinginan Raja hanya dapat menjawab ndherek karsa dalem. Kekuasaan yang begitu besar diungkap dalam kalimat wenang wisesa ing sanagari. Wewenang Raja yang agung dan binatara ini (dalam konsep kekuasaan Jawa) hanya sebagian dari konsep kekuasaan tersebut, karena tanpa diimbangi oleh kewajiban sebagai seorang Raja akan menjadi semena-mena.[29]
Raja yang secara konsekuen menjalankan doktrin keagung binataran selalu memperhatikan kesejahteraan rakyatnya dan memiliki kemurahan hati tanpa mengenal batas serta menjalankan kewajibannya dalam bidang pollitik untuk menjaga jangan sampai terjadi gangguan-gangguan dan memulihkan ketertiban. Dalam ungkapan Jawa kewajiban Raja yang seperti ini dinyatakan dengan kalimat njaga tata tentreming pradja.[30]

BAB III
PNUTUP
Kesimpulan:
Berdasarkan uraian dalam makalah ini, dapat disimpulkan bahwa term khalifatullah dalam tataran politis telah mengalami pergeseran makna dari konsep normatifnya. Pengertian khalifatullah yang pada mulanya membawa konsekuensi bahwa pemimpin hanyalah wakil dari pemilik yang sebenarnya yakni Allah SWT. Jadi pemimpin sifatnya hanya dititipi kekuasaan, memikul amanat pengelolaan negara yang harus dipertanggung jawabkan kepada pemilik aslinya (Allah SWT). Kini bergeser makna menjadi khalifatullah dalam artian sebagai wakil Allah swt sang penguasa yang sejati. Jadi implikasinya adalah penguasa mempunyai kekuasaan yang amat besar karena merupakan wakil Allah di muka bumi. Wewenang dan otoritas pemimpin pun pada akhirnya menjadi tak tertandingi. Hal ini tak jauh beda dengan implikasi dari dianutnya doktrin keagung binataran.
Dengan demikian menunjukkan bahwa gelar khalifatullah semata-mata hanya digunakan untuk legitimasi kekuasaan para penguasa. Sementara doktrin keagung binataran menunjukkan pribadi Raja yang serba “maha”, dan ini banyak dianut dalam pemerintahan Raja-Raja di Melayu-Indonesia. Doktrin ini dapat dilihat dari berbagai gelar kebesaran yang digunakan oleh para Raja.
Dua konsepsi diatas manakala dimuati tujuan demi kebaikan dan kesejahteraan rakyat dapat dipahami sebagai strategi yang baik dari pihak pimpinan untuk menggalang kepatuhan, ketundukan dan kesetiaan rakyat demi kemudahan dalam mengarahkan mereka menuju cita-cita luhur bangsa. Hanya saja pada kenyataanya tidak semua pemimpin memahami dan berusaha mewujudkan cita-cita itu.





DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi, Ensiklopedi Islam, vol. I (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005).
----------------------, Renaisans Islam Asia Tenggara, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, cet.1, 1999),
Karim, M. Abdul, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Bagaskara, 2011).
--------------------------= , Islam Nusantara, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007).
Maududi, Abdul A’la, Khalifah dan Kerajaan (Bandung: Mizan Medi Utama, 2007).
Moedjianto, G, Konsep Kekuasaan Jawa, Penerapannya Oleh Raja-Raja Mataram, (Yogyakarta: Kanisius, cet. 1, 1987)

Moertono, Soemarsaid,  Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa Lampau; Studi Tentang Masa Mataram II, Abad XVI Sampai XIX, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, cet. I, 1985).
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003).




[1] M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Bagaskara, 2011), hlm. 146.
[2] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 35
[3] Ibid, hlm. 37
[4] Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, cet.1, 1999), hlm. 81
[5] G Moedjianto, Konsep Kekuasaan Jawa, Penerapannya Oleh Raja-Raja Mataram, (Yogyakarta: Kanisius, cet. 1, 1987), hlm. 77
[6] M. Abdul Karim, Sejarah, hlm. 77.
[7] Badri Yatim, Sejarah, hlm.36.
[8] M. Abdul Karim, Islam Nusantara,(Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), hlm. 132
[9] Abdul A’la Maududi, Khalifah dan Kerajaan (Bandung: Mizan Medi Utama, 2007), hlm. 61.
[10] Ibid, hlm. 58-59.
[11] Badri Yatim, Sejarah , hlm.42.
[12] M. Abdul Karim, Sejarah, hlm. 114.
[13] M. Abdul Karim, Sejarah , hlm. 116
[14] Ibid, hlm. 143.
[15] Badri Yatim, Sejarah, hlm.50.
[16] Ibid, hlm 52.
[17] M. Abdul Karim, Sejarah . 146-147
[18] Moedjianto, Konsep, hlm.28.
[19] Azyumardi Azra, Ensiklopedi , (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), hlm. 80-81.
[20] Ibid.
[21] M. Abdul Karim, Islam, hlm.175.
[22] Azyumardi Azra, Ensiklopedi , hlm. 91-92.
[23] G Moedjianto, Konsep , hlm. 97.
[24] Azyumardi Azra, Ensiklopedi , hlm. 92
[25] Ibid.
[26] M. Abdul Karim, Islam, hlm.175.
[27] Azyumardi Azra, Renaisans, hlm.83.
[28] Ibid, hlm 84.
[29] G Moedjianto, Konsep, hlm. 78
[30] Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa Lampau; Studi Tentang Masa Mataram II, Abad XVI Sampai XIX, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, cet. I, 1985), hlm. 34.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar