BAB
I
PENDAHULUAN
Ketika berhasil menduduki tahta
kepemimpinan, bani Umayyah memberikan interpretasi baru bahwa gelar khalifah. Yakni
khalifah menurut mereka adalah ‘’penguasa” yang di angkat oleh Allah. Kemudian
pada masa Abasiah Mansur al-Abbasi telah memproklamirkan dirinya sebagai khalifatullah
di muka bumi. Khalifah Abbasiah menganggap kekuasaannya berasal dari Allah, divine origin (Mansur menyatakan, Ana Khalifatullahi fi (‘ala al-Ard) Ardihi:
saya adalah khalifah Allah di muka bumiNya.[1]
Sebenarnya apa motif dibalik tindakannya itu mengingat gelar khalifah yang
biasanya di sandang diartikan sebagai pengganti khalifah-khalifah sebelumnya
sebagaimana yang dilakukan khalifah Abu Bakar. Sebagai pemimpin umat Islam
setelah Rasul, Abu Bakar disebut Khalifah
Rasulillah (pengganti Rasul) yang dalam perkembangannya disebut khalifah saja.[2]
Sedangkan Umar ibn Khatab menyebut dirinya khalifah
Khalifati Rasulillah (pengganti dari pengganti Rasulullah).[3]
Sementara itu di bumi Nusantara kerap
didengar juga para raja Melayu-Indonesia melengkapi gelar mereka yang panjang
dengan Kalipatullah, Seperti yang
dilakukan oleh Sultan Amangkurat IV (penguasa Mataram pertama) dan Diponegoro
(pejuang muslim ternama). Terlihat sekali bagaimana bahasa dan istilah politik
Islam beralgamasi dengan konsep dan bahasa politik lokal.[4]
Moedjianto dalam bukunya Konsep Kekuasaan
Jawa ; Penerapannya Oleh Raja-Raja Mataram, yang mengemukakan salah satu
konsep Raja Melayu-Indonesia yaitu doktrin keagung binataran. Doktrin keagung
binataran memandang kekuasaan itu sebagai suatu ketunggalan artinya kekuasaan
itu harus utuh dan menyeluruh, tidak boleh ada yang menyaingi, tidak
terkotak-kotak atau terbagi-bagi serta tidak hanya mengenai bidang-bidang tertentu.
Kekuasaan raja seperti kekuasaan dewa. yang agung dan binatara.[5]
Dengan demikian muncul pertanyaan apa
sebenarnya urgensi raja-raja di Nusantara yang sudah mempunyai gelar
agung-binatara bahkan otoritasnya disetarakan dengan dewa untuk menambahkan
gelar khalifatullah.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Konsep
Khalifatullah
Kata khalifah, menurut Luis Ma’luf
Yasu’i dalam Kamus al-Munjid biasa
diterjemahkan dengan pengganti.[6]
Sedangkan Khulafa al-Rasyidin adalah
pemimpin yang diangkat sesudah Nabi wafat untuk menggantikan beliau melanjutkan
tugas-tugas sebagai pemimpin agama dan kepala pemerintahan.[7]
Konsep khalifatullah (secara umum)
adalah gagasan paling fundamental dalam al-Qur’an setelah tema tauhid. Konsep
inilah yang menjelaskan kepada kita bahwa dalam persepsi al-Qur’an membangun
peradaban adalah salah satu aspek ibadah terbesar kepada Allah SWT. Dengan
peradaban yang maju kita akan mampu menampakkan keagungan dan keindahan ajaran
Islam sebagai agama yang rahmatan lil
‘alamin.
Dengan petunjuk agama pula manusia dapat
menyempurnakan budinya sehingga ia sanggup menjalankan tugasnya sebagai master of the world/khalifah fi al-ardl.
Manusialah yang di takdirkan Tuhan untuk mensejahterakan, memanfaatkan,
menguasai dan menjaga kelestarian bumi. Manusia dikaruniai kemampuan mengenal
dan memahami segala kenyataan yang ada di alam semesta ini karena manusia
adalah khalifah Allah dimuka bumi.[8]
Yang diserahi khalifah (menjadi khalifah)
yang sah dan benar bukanlah perseorangan, keluarga atau ras tertentu, tetapi
komunitas secara keseluruhan yang meyakini dan menerima prinsip-prinsip
kepemimpinan umum sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an surat al-Nur ayat 55:
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang beriman
diantara kalian dan yang mengerjakan amal-amal shaleh bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka
berkuasa di bumi sebagaimana dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka
berkuasa. Hendaknya mereka tetap mengabdi kepadaKu dengan tiada mempersekutukan
sesuatupun dengan Aku.”[9]
Dalam penggunaan khusus (sebagai
pemimpin umat), manusia bukanlah penguasa atau pemilik asli dari yang dikuasai,
tetapi ia hanyalah khalifatullah,
alias wakil dari pemilik yang sebenarnya. Bahkan ia selalu dipantau dan diawasi
dalam menduduki jabatannya itu.Lihat al-Qur’an surat Yunus ayat 14;
‘...kemudian kami
jadikan kalian khalifah-khalifah diatas bumi setelah mereka untuk Kami pantau
perbuatan kalian.”[10]
B.
Sejarah
Singkat Kekhalifahan Dinasti Umayyah dan Abbasiyah
1. Sekilas
Berdirinya Dinasti Umayyah
Memasuki masa kekuasaan Muawiyah yang
menjadi awal kekuasaan bani Umayyah, pemerintahan yang bersifat demokratis
berubah menjadi monarchiheridetis (
kerajaan turun temurun). Kekhalifahan Muawiyyah diperoleh melalui kekerasan,
diplomasi, dan tipu daya, tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak. Suksesi
kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika Muawiyah memwajibkan seluruh
rakyatnya untuk setia terhadap anaknya, Yazid. [11]
Bahkan Muawiyah sendiri pernah berkata “saya sultan pertama” (i am the first king among the Arab kings).
Pernyataan tersebut dikutib dari Yaqubi dalam kitab al-Buldan.[12]
Walaupun kekuasaan Bani Umayyah bersifat
monarki tetapi Muawiyah membagi atas dua kelompok dewan syura yaitu Syura khas
(pusat) dan Majlis Syura sementara (ad hoc). Pembangunan dan komunikasi yang
kurang baik di berbagai provinsi dan kota Muawiyah sering berkonsultasi dengan
anggota dewan Majlis Syura. Satu sisi
ia cukup membuka ruang demokrasi dengan berkonsultasi dengan dewan Majlis
Syura, namun di sisi lain ia juga mengampanyekan bentuk kekuasaan monarki
dengan mengangkat Yazid menjadi putera mahkota, bahkan ia menyampaikan barang
siapa yang tidak sejalan dengan model kepemimpinannya maka pedang yang akan
meluruskannya.[13]
2. Sekilas
Berdirinya Dinasti Abbasiyyah
Nama dinasti Abbasiyah diambil dari nama
salah seorang dari paman Nabi Muhammad SAW yang bernama al-Abbas bin Abd al-Muttalib
ibn Hasyim. Orang Abbasiah merasa lebih berhak dari pada Bani Umayah atas
kekhalifahan Islam, sebab mereka adalah dari cabang bani Hasyim yang secara nasab keturunan lebih dekat dengan Nabi.
Menurut mereka orang Umayah secara paksa menguasai khilaifah melalui tragedi
perang siffin. Oleh karena itu, untuk mendirikan Dinasti Abbasiah mereka
mengadakan gerakan yang luar biasa melakukan pemberontakan terhadap dinasti
Umayah.[14]
Masa pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri
dinasti ini sangat singkat, yaitu dari tahun 750 M sampai 754 M. Karena itu
pembinaan sebenarnya dari daulat Abbasiah adalah Abu Ja’far al-Manshur (754-775
M). Dia dengan keras menghadapi lawan-lawannya dari Bani Umayah, Khawarij, dan
juga Syi’ah yang merasa dikucilkan dari kekuasaan.[15]
Pada masa al-Mansur pengertian khalifah adalah sebagai kekuasaan Allah. Dia
berkata, “Innama ana Sulthan Allah fi
ardhihi (seseungguhnya saya adalah kekuasaan Tuhan di bumi-Nya)”. Dengan
demikian konsep khalifah dalam pandangannya dan berlanjut ke generasi
sesudahnya merupakan mandat dari Allah, bukan dari manusia, bukan pula sekedar
pelanjut Nabi sebagaimana pada masa Khulafa
al-Rasyidin.[16]
C.
Gelar
Khalifatullah dan Doktrin Keagungbinataran
Selain Saffah semua khalifah abbasiah
menganggap kekuasaannya berasal dari Allah (divine
origin) dan menjadi panutan yang sebenarnya bagi kaum muslim. Abu Ja’far
al-Mansur pengganti al-Saffah mengatakan:
Ana Khalifatullah fi ardihi ( Saya adalah
Khalifah Allah di muka bumi-Nya)
Ana Sultanullahi fi ardihi (Saya adalah
kekuasaan Allah di muka bumi-Nya)
Ana Zillullahi fi ardihi ( Saya adalah
bayangan Allah di muka bumi-Nya).[17]
Padahal sebagaimana diketahui setelah
Muhammad SAW menjadi khalifatullah. Abu Bakar adalah khalifatu Rasulillah, Umar adalah khalifatu khalifati Rasulillah, Usman adalah khalifatu Umar, Ali khalifatu
Usman begitu seterusnya. Setelah itu kemudian sejak dinasti Umayyah para
pemimpinnya mengaku sebagai khalifah Allah dan “memotong mata rantai”, tidak
mengakui diri sebagai pengganti khalifah
sebelumnya dan mendeklarasikan diri sebagai khalifatullah.
Seperti telah dijelaskan di atas bahwa sistem kekhalifahan mengalami
transformasi arti yang signifikan. Konsep kekhalifahan yang dikaitkan dengan
posisi khalifah sebagai bayangan Tuhan di bumi, sehingga kekhalifahan
mengandung dimensi kedaulatan Ilahi, sebenarnya adalah legitimasi terhadap
kekuasaan.
Dinasti Umayah, Dinasti Abbasiah dan
kerajaan-kerajaan Melayu-Nusantara memberlakukan sistem monarki, kepala
kerajaan bersifat turun-temurun. Dengan demikian berlangsunglah sistem
kekuasaan yang ketat. Dalam sistem kerajaan berlaku prinsip raja gung binatara, bahu denda nyakrawati,
berbudi bawa leksana ambeg adil para marta (raja besar laksana dewa,
pemegang hukum, meluap budi luhurnya, dan adil terhadap sesama). Itulah yang
disebut konsep keagung binataran. Menurut konsep itu raja harus memegang
kekuasaan yang besar. Raja nan besar mempunyai kekuasaan yang luas dengan rakyat
yang jumlahnya besar.[18]
Dalam upaya meningkatkan legitimasi dan
aura kekuasaannya, para penguasa muslim Melayu-Indonesia tidak hanya
menggunakan gelar sultan, tetapi juga
mengklaim sebagai ‘’wakil’’ Tuhan (khalifatullah). Kitab Undang-Undang Melaka menyebut
mereka sebagai “khalifat al-mu’minin,
dzill Allah fi al-ardl”. Sultan Mahmud naik tahta dengan gelar resmi “khalifat al-mu’minin”. Kemudian kitab
Undng-Undang Pahang yang disusun untuk Sultan Pahang Abd al-Ghafur Muhay al-Din
Syah (berkuasa 1592-1614) mencatat berbagai upaya pihak kesultanan menjadi raja
Melayu identik dengan khalifatullah.
Para raja Muslim di Jawa juga tak
ketinggalan mengikuti kecenderungan itu. Meskipun relatif lebih lambat
dibanding raja-raja Melayu-Indonesia lainnya. Sultan Amangkurat IV adalah
penguasa Mataram pertama yang menggunakan gelar kalipatullah. Lengkapnya adalah “Prabu Mangkurat Senapati Ingalaga Ngabdu Rahman Sayyidin Panatagama
Kalipatullah”. Gelar ini dipakai kesultanan Yogyakarta setelah pecahnya
Mataram. Gelar senada dua abad berikutnya juga digunakan pejuang muslim
Diponegoro dalam menghadapi ancaman Belanda, yakni “Ngabdulkamid Erucakra Sayyidin Panatagama Kalipatullah Rasulullah Sain”.
Baik dalam kasus Raja Mataram maupun Diponegoro memperlihatkan secara sempurna
bagaimana bahasa dan istilah politik Islam beralgamasi dengan konsep dan bahasa
politik lokal.[19]
Kenyataan bahwa para raja Melayu-Indonesia
menggunakan term politik smacam itu juga
dibenarkan oleh sumber-sumber dari barat kala itu. Sebuah catatan Portugis
tentang Pasai pada abad ke-16 bahwa raja mereka (Muslim-Melayu) adalah “orang
yang memerintah sebagai pengganti Tuhan”.[20]
Demikian juga yang terjadi dengan Sultan
Agung (1613-1645 M). Nama aslinya Mas Rangsang, bergelar Prabu Pandita, namun
lebih terkenal gelar keduanya yaitu Panembahan
Senopati Ing Alogo Ngabdurrahman Sayyidin Panatagama. Gelar khalifatullah pada Sultan Agung adalah
pemberian Syarif Mekah pada tahun 1641 M atas permintaannya. Setelah Mataram
terpecah menjadi dua, Surakarta dan Yogyakarta, gelar itu sama-sama dipakai
selengkap-lengkapnya oleh masing-masing rajanya. Raja Yogyakarta bahkan memakai
tambahan khalifatullah di penghujung gelarnya.[21]
Gelar Sultan yang disandang oleh Sultan
Agung menunjukkan bahwa ia mempunyai kelebihan dari raja sebelumnya yaitu
Panembahan Senopati dan Panembahan Sedo Ing Krapyak. Ketika dinobatkan sebagai
raja (1613 M) dalam usia 20 tahun masih menggunakan gelar Panembahan. Tahun
1624 M ia mengubah gelarnya menjadi “susuhunan”. Selanjutnya ia menerima
pengakuan dari Mekah sebagai seorang Sultan, kemudian mengambil gelar lengkapnya
Sultan Agung Anyakrakusuma Senopati Ing
Alogo Ngabdurrahman Kalipatullah (secara harfiah berarti raja yang agung,
pangeran yang sakti, sang panglima perang dan sang pemangku amanah Tuhan Yang
Maha Kasih).[22]
Sebenarnya tradisi Jawa sudah
menyediakan gelar yang lebih ‘’tinggi’’ dari sulthan atau khalifatullah,
yaitu bathara (dewa) ingkang Agung. Akan tetapi Sultan agung tetap menginginkan
gelar khalifatullah. Hal ini besar
kemungkinan dikarenakan Sultan Agung ingin mengungguli para Wali atau pemimpin
agama karena para Wali adalah pemimpin agama dan negara (daerahnya) sekaligus.
Dan mempunyai banyak pengikut.
Seperti yang dikemukakan G. Moedjianto
dalam bukunya Konsep Kekuasaan Jawa;
Penerapannya oleh Raja-Raja Mataram, yang menyebutkan bahwa Sultan Agung
pernah mengirim ekspedisi penyerangan ke Giri pada 1635 dan kemudian Mangkurat
II menghancurkannya pada tahun 1680. Hal itu besar kemungkinan karena para Wali
adalah pemimpin agama dan negara (daerahnya) sekaligus, misalnya Sunan Giri.[23]
Hal itu tidak sejalan dengan konsep keagung binataran bahwa seharusnya Raja
adalah sebagai penguasa tunggal.
Kesuai dengan konsep keagung binataran,
Sultan Agung bercita-cita memerintah sluruh pulau Jawa. Tak heran jika ia
sering terlibat perang yang panjang
dengan penguasa daerah maupun dengan VOC yang juga mengincar pulau Jawa sjak
1618 M. Tahun 1627 M, seluruh pulau Jawa (kecuali Kesultanan Banten dan wilayah
kekuasaan Kompeni di Batavia) telah berhasil dipersatuka di bawah Mataram.[24]
Sultan Agung adalah tokoh fenomenal yang
berhasil melakukan berbagai pembaharuan, diantaranya mengubah kalender saka
menjadi sistem Tarikh dengan tahun Hijriyah sebagai dasar perhitungan (kalender
Jawa).[25]
Kalender ini diberlakukan Sultan Agung pada tahun 1633 M/ 155 saka/ 1043 H
dengan menggunakan Serat Kekancingan (surat
yang memuat peraturan-peraturan Raja). Ini merupakan revolusi besar yang murni
dipengaruhi Islam.[26]
D.
Jarak
Rakyat dan Penguasa
Bahasa politik Islam baik di Nusantara
maupun di Timur Tengah sejauh ini menempatkan penguasa dalam kedudukan yang
amat tinggi. Warga disebut rakyat yang secara harfiah berarti “obyek yang di
gembala” atau “dituntun” (oleh penguasa). Warga terhadap penguasanya menyebut
diri sebagai “patik”, “hamba”, atau “abdi” yang berarti “budak”. “Saya”
asalnya “sahaya”, artinya “budak”. “Kula”
asalnya “kawula” artinya “budak”
juga. Dengan demikian penguasa adalah “penggembala” yang harus di patuhi atau
“tuan” bagi warganya.[27]
Sebagai penyeimbang, sebenarnya ada juga
term bahasa politik Islam yang ditujukan khusus kepada penguasa dalam hubungan
mereka dengan rakyat. Misalnya bahwa raja harus bersifat adil, amanah dan amar ma’ruf nahi munkar. Sifat adil sangat ditekankan dalam sejarah
kerajaan Melayu-Indonesia. Adil adalah syarat dan sifat utama yang harus
dimiliki oleh seorang Raja. Raja adalah “lambang” keadilan itu sendiri. Raja
yang tidak adil yakni “lalim” (asalnya “dzalim”, dari bahasa arab), akan dikutuk Tuhan. Bahkan dikatakan
lebih lanjut bahwa di mata Allah keadilan seorang Raja selama satu hari saja
sma dengan ibadah haji 60 kali.Untuk mewujudkan keadilan seorang raja harus
mengangkat menteri-menteri dan punggawa kerajaan yang setia kepada cita-cita
keadilan itu.[28]
Doktrin keagung binataran atau kekuasaan
Raja yang agung dan binatara harus menyeimbangkan antara kewenangannya yang
besar dengan kewajiban yang besar pul. Kewenangan Raja yang besar menjadkan
seorang Raja diakui sebagai pemilik segala sesuatu, baik harta benda maupun
manusia. Begitu besarnya kewenangan Raja, rakyat tidak berani membantah dan
menolak keinginan Raja hanya dapat menjawab ndherek
karsa dalem. Kekuasaan yang begitu besar diungkap dalam kalimat wenang wisesa ing sanagari. Wewenang
Raja yang agung dan binatara ini (dalam konsep kekuasaan Jawa) hanya sebagian
dari konsep kekuasaan tersebut, karena tanpa diimbangi oleh kewajiban sebagai
seorang Raja akan menjadi semena-mena.[29]
Raja yang secara konsekuen menjalankan
doktrin keagung binataran selalu memperhatikan kesejahteraan rakyatnya dan
memiliki kemurahan hati tanpa mengenal batas serta menjalankan kewajibannya
dalam bidang pollitik untuk menjaga jangan sampai terjadi gangguan-gangguan dan
memulihkan ketertiban. Dalam ungkapan Jawa kewajiban Raja yang seperti ini
dinyatakan dengan kalimat njaga tata
tentreming pradja.[30]
BAB III
PNUTUP
Kesimpulan:
Berdasarkan uraian dalam makalah ini,
dapat disimpulkan bahwa term khalifatullah dalam tataran politis telah
mengalami pergeseran makna dari konsep normatifnya. Pengertian khalifatullah
yang pada mulanya membawa konsekuensi bahwa pemimpin hanyalah wakil dari
pemilik yang sebenarnya yakni Allah SWT. Jadi pemimpin sifatnya hanya dititipi
kekuasaan, memikul amanat pengelolaan negara yang harus dipertanggung jawabkan
kepada pemilik aslinya (Allah SWT). Kini bergeser makna menjadi khalifatullah
dalam artian sebagai wakil Allah swt sang penguasa yang sejati. Jadi
implikasinya adalah penguasa mempunyai kekuasaan yang amat besar karena
merupakan wakil Allah di muka bumi. Wewenang dan otoritas pemimpin pun pada
akhirnya menjadi tak tertandingi. Hal ini tak jauh beda dengan implikasi dari
dianutnya doktrin keagung binataran.
Dengan demikian menunjukkan bahwa gelar khalifatullah
semata-mata hanya digunakan untuk legitimasi kekuasaan para penguasa. Sementara
doktrin keagung binataran menunjukkan pribadi Raja yang serba “maha”, dan ini
banyak dianut dalam pemerintahan Raja-Raja di Melayu-Indonesia. Doktrin ini
dapat dilihat dari berbagai gelar kebesaran yang digunakan oleh para Raja.
Dua konsepsi diatas manakala dimuati
tujuan demi kebaikan dan kesejahteraan rakyat dapat dipahami sebagai strategi
yang baik dari pihak pimpinan untuk menggalang kepatuhan, ketundukan dan
kesetiaan rakyat demi kemudahan dalam mengarahkan mereka menuju cita-cita luhur
bangsa. Hanya saja pada kenyataanya tidak semua pemimpin memahami dan berusaha
mewujudkan cita-cita itu.
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi, Ensiklopedi Islam, vol. I (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005).
----------------------, Renaisans Islam Asia Tenggara, (Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, cet.1, 1999),
Karim, M. Abdul, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Bagaskara,
2011).
--------------------------= , Islam Nusantara, (Yogyakarta: Pustaka Book
Publisher, 2007).
Maududi, Abdul A’la, Khalifah dan Kerajaan (Bandung: Mizan
Medi Utama, 2007).
Moedjianto, G, Konsep Kekuasaan Jawa, Penerapannya Oleh Raja-Raja Mataram,
(Yogyakarta: Kanisius, cet. 1, 1987)
Moertono, Soemarsaid, Negara
dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa Lampau; Studi Tentang Masa Mataram II, Abad
XVI Sampai XIX, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, cet. I, 1985).
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003).
[1] M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam,
(Yogyakarta: Bagaskara, 2011), hlm. 146.
[2]
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 35
[3] Ibid, hlm. 37
[4]
Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, (Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, cet.1, 1999), hlm. 81
[5]
G Moedjianto, Konsep Kekuasaan Jawa, Penerapannya Oleh
Raja-Raja Mataram, (Yogyakarta: Kanisius, cet. 1, 1987), hlm. 77
[6] M. Abdul Karim, Sejarah, hlm. 77.
[7]
Badri Yatim, Sejarah, hlm.36.
[9]
Abdul A’la Maududi, Khalifah dan Kerajaan (Bandung: Mizan
Medi Utama, 2007), hlm. 61.
[11]
Badri Yatim, Sejarah , hlm.42.
[12]
M. Abdul Karim, Sejarah, hlm. 114.
[13]
M. Abdul Karim, Sejarah , hlm. 116
[14]
Ibid, hlm. 143.
[15]
Badri Yatim, Sejarah, hlm.50.
[17]
M. Abdul Karim, Sejarah . 146-147
[18]
Moedjianto, Konsep, hlm.28.
[19]
Azyumardi Azra, Ensiklopedi , (Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, 2005), hlm. 80-81.
[20]
Ibid.
[22]
Azyumardi Azra, Ensiklopedi , hlm. 91-92.
[23]
G Moedjianto, Konsep , hlm. 97.
[24]
Azyumardi Azra, Ensiklopedi , hlm. 92
[25]
Ibid.
[27]
Azyumardi Azra, Renaisans, hlm.83.
[29]
G Moedjianto, Konsep, hlm. 78
[30]
Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa
Lampau; Studi Tentang Masa Mataram II, Abad XVI Sampai XIX, (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, cet. I, 1985), hlm. 34.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar