Oleh: Anis Sholeh Ba’asyin
Selama ini kita selalu menyangka bahwa perkembangan manusia dan kemanusiaan berjalan setahap demi setahap, ber-evolusi ribuan tahun dari tingkatan rendah menuju kesempurnaan. Sangat mungkin anggapan ini hanya benar sebagian.
Yang jelas, banyak bukti justru menegaskan bahwa yang sesungguhnya
terjadi malah sebaliknya, yakni: de-gradasi, penurunan secara konstan.
Atau -lebih tepat lagi- siklus turun-naik berulang. Bahkan, kalau
dipandang dari sisi ini, ternyata kita sekaligus bisa membaca sisi
menarik dari perjalanan sejarah manusia secara keseluruhan, yakni:
diam-diam kita sangat konsisten mengulang cerita turun atau jatuhnya
Adam AS dari surga ke dunia, dari ahsani taqwim ke asfala safilin.
Mari kita sedikit melacak ulang ceritanya. Adam adalah makhluk yang secara langsung telah diajar Allah: Dan kuajarkan nama-nama keseluruhannya. Artinya Adam telah menguasai konsep-konsep, ilmu-ilmu dan hakikat-hakikat. Tapi pada saatnya, setelah sekian lama rentang waktu terlewatkan, ia kalah oleh kesetiaan Iblis yang istiqomah menggerus kesejatian ilmunya dengan bayang-bayang kesemuan.
Maka begitulah, Adam pun akhirnya terpancing untuk mendekati pohon itu; sesuatu yang jauh sebelumnya sudah dilarang oleh Allah untuk mendekatinya. Maka jatuhlah dia ke dunia, ke kefanaan yang dengan kuat telah dicitrakan oleh Iblis sebagai keabadian, sebagai khuldi, sebagai al-mulku la yabla, kerajaan yang tak pernah sirna.
Proses apakah yang sebenarnya telah di alami oleh bapak moyang kita itu? Ada banyak tafsir bisa diberikan, salah satunya: rentang waktu cenderung mengikis pengetahuan Adam, dan atau dia mulai membacanya secara berbeda dari saat pertama kali menerima.
Ilustrasi sederhananya: karena terbiasa hidup di suplai oleh hidrogen dan oksigen, tak aneh bila akhirnya orang lupa tentang pentingnya udara dan mulai mengotorinya. Orang baru kembali menyadari pentingnya udara hanya ketika dia hidup di lingkungan yang terpolusi atau terkena sakit pernafasan yang akut.
Tampaknya itu pulalah yang terjadi pada Adam: kemuliaan ilmu yang telah diterimanya terdegradasi oleh waktu. Di sini hebatnya Iblis. Dengan sabar dia menunggu, dan di saat lemah semacam inilah Iblis masuk dan mulai membangun pencitraan-pencitraan baru tentang keabadian untuk Adam. Dan Adam, yang mulai lupa pada kemuliaan yang diterimanya, pun gampang termakan rayuan. Untuk menebus kekonyolan ini, konon beliau bersujud ribuan tahun memohon ampunan.
Bukankah hal-hal semacam ini adalah sesuatu yang selalu berulang dalam sejarah manusia? Konsep-konsep, tanda-tanda, norma-norma bahkan pengalaman-pengalaman yang semula bersifat ilahi, setelah sekian lama tergerus sejarah, bisa tiba-tiba kehilangan sifat ke-ilahiannya dan turun menjadi sesuatu yang profan saja. Sesuatu yang semula kita percaya sebagai mulia, setelah sekian waktu akan mulai kita pertanyakan kemuliaannya dan pada akhirnya kita tinggalkan begitu saja dan kita ganti dengan sesuatu yang kita bayangkan lebih mulia menurut ukuran-ukuran kita sendiri?
Kalau pada awalnya anak-anak Adam disuruh menyerahkan persembahan berupa hasil pertanian dan peternakannya ke bukit, demi membuktikan keikhlasan mereka pada Allah; bukankah generasi berikutnya dan berikutnya dan berikutnya lagi lantas mulai membaca tindakan tersebut secara berbeda, sehingga Allah-nya kemudian malah ketlingsut dan yang tersisa tinggal ritus persembahan primitif pada gunung atau kekuatan-kekuatan lainnya?
Atau, kalau kita ambil contoh yang lebih dekat: bukankah kita sekarang juga cenderung membaca konsep kurban dengan asosiasi korban kecelakaan, korban pembunuhan dan seterusnya; dan mulai lupa kandungan aslinya: pendekatan pada Tuhan? Bukankah ini juga bentuk pengulangan –entah sebagian atau keseluruhan- siklus penurunan atau kejatuhan bapak moyang kita?
Di titik ini kita harus berguru pada Ibrahim AS, sang Bapak Para Nabi, karena beliau berhasil mengelak dari siklus ‘kejatuhan’ semacam itu. Beliau tetap tegak berjalan meski mengemban perintah yang luar biasa ‘gila’ bagi siapapun: menyembelih satu-satunya anak yang sudah puluhan tahun dinantikan kelahirannya.
Adakah standar ilmu dan pengetahuan kemanusiaan yang bisa dipakai untuk membenarkan perintah Allah kepada Ibrahim AS tersebut? Bahkan seorang pembunuh berdarah dingin pun masih punya kewarasan untuk tidak membunuh anaknya sendiri; masak Allah yang dikatakan pengasih-penyayang, malah menyuruh seorang bapak untuk menghabisi nyawa anaknya sendiri sebagai bukti kebaktian?
Untuk memperoleh sedikit gambaran, marilah sejenak kita membayangkannya dari posisi Ibrahim sendiri: posisi ketika ia menerima perintah tersebut, dan bukan dari posisi kita yang telah mengetahui keseluruhan ceritanya. Dari sisi kita, pergulatan ‘pikiran dan perasaan’ Ibrahim ketika perintah datang, sering tak muncul ke permukaan, karena kita membacanya dalam satu sapuan dengan akhir cerita yang telah jelas dipaparkan.
Lain halnya pada saat perintah tersebut turun, Ibrahim cuma tahu satu hal: dia harus menyembelih anaknya. Dia tak punya bayangan -apalagi harapan- bahwa akan ada keajaiban. Dia juga tak tahu bahwa anaknya -Ismail AS- akan diganti dengan domba. Yang dia tahu, dia akan kehilangan anak untuk selamanya, bukan karena penyakit atau lainnya, tapi karena tangannya sendiri yang akan membunuhnya.
Sekarang, mari kita coba posisikan diri kita pada tempat Ibrahim tersebut. Apa yang kira-kira akan kita lakukan? Akankah kita masih mau percaya pada Allah pemberi perintah tersebut? Atau kita akan mulai mengumpulkan argumen untuk menghindar atau menolaknya? Saya yakin, kita semua akan terbirit-birit lari ‘mendengar’ perintah Allah yang ‘absurd’ semacam ini.
Apalagi kita yang awam, bahkan Musa AS yang masuk golongan ulil azhmi (penghulu para rasul) pun nyaris kehilangan kesabaran berhadapan dengan realitas semacam ini. Ketika Khidr AS menyabet leher bocah yang tak berdosa, ketika Khidr membocori perahu nelayan yang miskin, ketika Khidr memperbaiki bangunan tanpa upah; Musa langsung menyuarakan protes kerasnya.
Musa protes karena ia tak tahu tujuan di balik ‘kegilaan’ tindakan yang ditunjukkan Khidr. Musa justru membacanya dari konstruksi pengetahuannya sendiri, dari konstruksi ‘kalam’ yang telah diterimanya; apalagi Musa terlanjur berpretensi bahwa ‘kalam’ yang dimilikinya telah mencakup segalanya.
Mungkin pangkal semua masalah ini memang terletak pada konstruksi pengetahuan itu sendiri. Konstruksi pengetahuan selalu dibangun dari masa lampau, dari kumpulan pengalaman-pengalaman yang sudah terjadi. Padahal kenyataan selalu berjalan ke depan, ke wilayah-wilayah baru yang sangat sedikit atau bahkan tidak kita kenali.
Akibatnya kita cenderung tergeragap begitu membaca kenyataan yang kita tak punya frame untuk membacanya. Ungkapan Khidr kepada Musa sebagai “tidak mempunyai pengetahuan yang cukup tentangnya”, mungkin juga dimaksud untuk menunjuk pada kenyataan ini.
Untuk mampu membaca Khidr, mestinya kita harus kembali berguru pada Ibrahim. Ibrahim tidak membaca perintah atau tindakan
Ibrahim memilih keyakinan cinta, ia menerima Allah sebagai tak terwadahi oleh pengetahuan yang manapun; sehingga ia memilih menjalankan perintahnya tanpa bertanya. Dan Allah memberi jawab: dalil bahwa apa yang disembelih akan mati -yang dimanfaatkan Iblis untuk menumbuhkan keraguan- ternyata tidak berlaku dalam realitas semacam ini. Ismail yang disembelih, tapi yang mati justru domba. Realitas yang tak mungkin tercakup dalam bahasa pengetahuan manapun.
Inilah ilmu tertinggi, kenyataan tertinggi, yakni: cinta. Kenyataan ini pulalah yang membuat Ibn ‘Arabi menyebut maqom Ibrahim sebagai maqom cinta; karena Ibrahim tak pernah kehilangan kepercayaan untuk selalu mendekat (qurb) pada Sang Kekasih, apapun tebusannya. Keyakinan penuhnya pada Allah sang kekasih, membuat Ibrahim mampu melempar Iblis yang terus mencoba mengikisnya dengan bayang-bayang tentang kemanusiaan.
Dan memang, hanya dengan berguru pada keyakinan cinta Ibrahim sajalah, kita mampu mengelak dari siklus kejatuhan yang secara terus-menerus dihembuskan iblis dalam sejarah. Mungkin, inilah salah satu makna terpenting kurban.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar