Pendahuluan
Manusia dari waktu ke waktu selalu
mengalami perubahan. Perubahan yang terjadi dapat dilakukan di waktu kapan dan
dimana saja. Karena manusia memiliki potensi untuk melakukan perubahan. Lalu
yang menjadi pertanyaan apakah hanya cukup punya potensi lalu bisa langsung
direalisasikan? tentunya tidak semudah seperti membalikkan telapak tangan.
Potensi yang dimilikinya tentunya sangat membutuhkan pengarahan yang baik.
Pendidikan merupakan sarana utama dalam mengarahkan potensi yang nantinya akan
membimbing bagi perjalanan hidup manusia. Manusia dapat berfikir apa yang
seharusnya dilakukan bukan apa yang akan dilakukan.
Menurut zamroni pendidikan adalah
suau proses menanamkan dan mengembangkan pada diri peserta didik pengetahuan
tentang hidup, sikap dalam hidup agar kelak ia dapat membedakan yang benar dan
yang salah, yang baik dan yang buruk, sehingga kehadirannya ditengah-tengah
masyarakat akan bermakna dan berfungsi secara optimal.[1]
Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa pendidikan merupakan usaha atau
proses yang ditujukan untuk membina kualitas sumber daya manusia seutuhnya agar
ia dapat melakukan peranannya dalam kehidupan secara fungsional dan optimal.
Pada intinya pendidikan menolong dan dapat dirasakan manfaatnya ditengah-tengah
kehidupan bermasyarakat.
Dizaman globalisasi, pendidikan
mengalami kehilangan identitasnya sebagai pendidikan yang menjadikan manusia
seutuhnya. Manusia tidak diberlakukan selayaknya dalam artian tidak diberi
kesempatan ruang gerak dalam berfikir terhadap hal yang dinilai menindas.
Mereka dipaksa mengikuti pendidikan global yang dibangun atas kerangka ekonomi
dan liberal. Nampak jelas pendidikan menjadi tidak manusiawi (dehumanisasi).
Untuk menanggapi hal tersebut pemikiran-pemikiran kritis sangat diperlukan agar
proses pendidikan yang humanis dapat terlaksana dengan baik. Dalam makalah ini
kami membahas “Humanisasi Pendidikan Dengan Ideologi Pendidika Kritis”.
Humanisasi Pendidikan Dengan Ideologi Pendidikan
Kritis
- Paradigma Pendidikan Kritis
Pendidikan pada dasarnya merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Dari mulai lahir (sejak dari
buaian), manusia senantiasa belajar dengan yang terjadi disekitarnya, hingga
manusia lanjut usia bahkan meninggal dunia, ia tetap melakukan prakondisi-prakondisi
dalam melihat persoalan yang dihadapi, dan inilah proses pembelajaran.[2]
Pandangan klasik tentang pendidikan pada
umumnya dikatakan sebagai pranata yang dapat dijalankan pada tiga fungsi
sekaligus ; Pertama, menyiapkan generasi muda untuk memegang
peranan-peranan tertentu dalam masyarakat dimasa depan. Kedua, mentransfer
atau memindahkan pengetahuan, sesuai dengan peranan yang diharapkan, dan Ketiga,
mentransfer nilai-nilai dalam rangka memelihara keutuhan dan kesatuan
masyarakat sebagai prasyarat bagi kelangsungan hidup (survive)
masyarakat dan peradaban.[3]
Dalam perkembangan berikutnya, ekstensifikasi
pengertian pendidikan tersebut, sejalan dengan tuntutan masyarakat atau
“pasar”. Dari sini lalu pendidikan memainkan fungsi sebagai suplementer,
melestarikan tata social dan tata nilai yang ada dimasyarakat dan sekaligus
sebagai agen pembaharuan.[4]
Pendidikan merupakan pimpinan dan
bimbingan bagi peserta didik. Pendidikan menjadikan prosesnya harus berjalan
dengan kebijakan “Learning Process Skill” daripada “Learning Concept”.
Pada pendekatan proses akan ditandai dengan kurikukulum yang student centered,
bukan teacher centered. Peran guru lebih sebagai fasilitator,
mediator, dinamisator, organisator, dan katalisator yang bekerja keras untuk
memberlakukan “dialog” sebagai ruh yang mendasari hidupnya proses
pendidikan, serta tidak mencoba menerapkan sikap “anti dialog” di
dalamnya.[5]
Proses pendidikan ideal di atas
memungkinkan munculnya sikap kritis (prise conscience) pada peserta
didik, di mana persepsi terhadap siswa tidak lagi ia pandang sebagai “cawan”
(yang pasif dan dituangi air ke dalamnya), tetapi sebagai subjek yang belajar dan
bersama-sama dengan subjek yang mendidik untuk selalu berada dalam derap
pencarian makna sesuatu kebenaran. Paradigma pendidikan semacam ini sering
disebut sebagai pendidikan “produksi kesadaran kritis”. Lebih lanjut, hasil
dari proses pendidikan adalah kesadaran kelas, kesadaran gender, maupun
kesadaran kritis lainnya. Oleh karena itu, pendidikan lebih merupakan
pembebasan manusia. Pendidikan merupakan sarana memproduksi kesadaran untuk
mengembalikan kemanusiaan manusia.[6]
Pendidikan kritis merupakan media untuk
resistensi dan aksi sosial yang tidak dapat dipisahkan. Pendidikan merupakan
bagian dari proses transformasi sosial, maka pendidikan kritis merupakan proses
perjuangan politik.
Dalam perspektif kritis, proses pendidikan merupakan proses refleksi dalam aksi
(praksis) terhadap seluruh tatanan dan relasi sosial dari sistem dan struktur
sosial, dan bagaimana perannya dan cara kerjanya dalam mengembangkan
ketidakadilan dan ketidaksetaraan sosial. Oleh karena tugas utama pendidikan
adalah menciptakan ruang agar sikap kritis terhadap sistem dan struktur yang
diskriminatif terhadap kaum tertindas, kemudian bagaimana melakukan proses
dekonstruksi dan aksi praktis maupun strategis menuju sistem sosial yang sensitif
dan non-diskriminatif. Melihat dasar filosofis dari pendidikan kritis di atas,
maka selanjutnya ada 3 (tiga) ciri pokok pendidikan kritis.
1.
Belajar dari realitas atau pengalaman; yang dipelajari bukan ajaran (teori,
pendapat, kesimpulan, wejangan, nasihat, dan seterusnya) dari seseorang,
tetapi keadaan nyata masyarakat atau pengalaman seseorang atau sekelompok orang
yang terlibat di atas keadaan yata tersebut. Akibatnya, tidak ada otoritas
pengetahuan seorang yang lebih tinggi dari lainnya. Keabsahan pengetahuan
seorang ditentukan oleh pembuktiannya dalam realitas tindakan/pengalaman
langsung, bukan pada retorika atau kepintaran omong-nya.
2.
Tidak menggurui; karena itu tidak ada guru dan tidak ada murid yang digurui,
semua orang yang terlibat dalam proses pendidikan ini adalah guru sekaligus
murid pada saat yang bersamaan.
3.
Dialogis; proses berlangsungnya belajar mengajar bersifat komunikasi dalam
berbagai bentuk kegiatan (diskusi, kelompok bermain, dan sebagainya), dan media
(peraga, grafik, audio-visual, dan sebagainya) yang lebih memungkinkan
terjadinya dialog kritis antara semua orang yang terlibat dalam proses
pelatihan tersebut[7]
- Menuju Pendidikan Humanis
Acap kali pendidikan ditempatkan sebagai
sesuatu yang hanya bertali-temali dengan transfer of nowledge dan arena
indoktrinasi. Pada hal sesungguhnya pendidikan lebih dari itu, di samping sebagai
aktivitas transfer of knowledge, pendidikan juga merupakan media dan
aktivitas membangun kesadaran, kedewasaan, dan kehadiran peserta didik.
Kesadaran, kedewasaan,dan kemandirian itulah yang menjadi tujuan pendidikan.
Ketidakteraktualisasikannya potensi
manusia itu berkaitan dengan kondisi pendidikan, sosial budaya, atau bahkan
nilai-nilai dasar (keyakinan) yang dihayati suatu masyarakat atau individu.
Franscise Bacon mengidentifikasikan minimal ada lima belenggu yang dapat
menghalangi teraktualisasinya kemampuan berpikir kritis pada diri manusia.
Belenggu-belenggu itu adalah Idols of market, Idols of temple, Idols of
trible, Idols of threathre, dan Idols of cave. Di sisi lain, Ali Shari’ati
seorang sosiolog muslim mengedepankan empat belenggu manusia yakni, historisme,
sosiologisme, biologisme, dan Ego.[8]
Perbedaan pengidentifikasian perihal
belenggu manusia dari Bacon dan Shari’ati disebabkan karena perspektif pandang
yang berbeda. Apabila Bacon sebagai seorang filosof lebih menekankan
pandanganya dalam dimensi internal manusia yang kemudian terwujud dalam budaya,
maka Shari’ati lebih menekankan pandanganya dari sudut sosiologi sebagai
disiplin yang ditekuninya. Secara esensi boleh jadi dua pendapat itu dapat
dikatakan memiliki muara yang sama, yaitu suatu penelusuran teoretik perihal
kendala yang menghalangi teraktualisasinya kemampuan kritis manusia ketika
melihat, mencondro, dan mendefinisikan realitas.[9]
Dalam kerangka empiris wujud “berhala
dan belenggu” di atas boleh jadi mengejawantahkan dalam bentuk pendidikan,
budaya, agama, dan politik. Pendidikan tentulah harus berupa sistem dan proses
yang berusaha memekarkan potensialitas manusia dan membimbing aktualisasinya.
Dengan demikian, pendidikan berperan sebagai pembebas manusia dari keterjebakan
dan keterbelengguan jiwa manusia dalam dan/atau oleh orientasi semu. Di sisi lain, melalui pendidikan pula proses
penciptaan mentalitas dan kultur demokrasi suatu masyarakat dapat dilakukan.[10]
Sistem pendidikan yang dianut suatu
bangsa akan mencerminkan mentalitas dan perilaku para pengambil kebijakannya. Realitas sejarah di
Indonesia telah menunjukkan betapa institusi pendidikan dijadikan alat
melanggengkan kekuasaan. Implikasi dari semua itu adalah hilangnya
profesionalisme dan independensi institusi pendidikan dari konteksnya sebagai
institusi yang mencerdaskan dan membebaskan.
Dengan demikian, pendidikan merupakan
proses dekonstruksi yang memproduksi wacana untuk membangkitkan kesadaran kritis
kemanuisaan. Pendidikan identik dengan proses pembebasan manusia. Pendirian ini
berangkat dari asumsi bahwa manusia dalam sistem dan struktur sosial yang ada
telah mengalami proses dehumanisasi.[11]
Istilah humanis merupakan kata sifat dari homo (manusia). Secara istilah
humaniora/humanis yang memiliki muatan pengertian sebagai bahan.
- Pendidikan Yang Membebaskan
Kebebasan
secara umum berarti ketiadaan paksaan. Ada kebebasan fisik yaitu secara fisik
bebas bergerak ke mana saja. Kebebasan moral yaitu kebebasan dari paksaan
moral, hukum dan kewajiban (termasuk di dalamnya kebebasan berbicara).
Kebebasan psikologis yaitu memilih berniat atau tidak, sehingga kebebasan ini
sering disebut sebagai kebebasan untuk
memilih. Manusia juga mempunyai kebebasan berpikir, berkreasi dan berinovasi.
Kalau disimpulkan ada dua kebebasan yang dimiliki manusia yaitu kebebasan
vertikal yang arahnya kepada Tuhan dan kebebasan horisontal yang arahnya kepada
sesama makhluk.
Sementara
pendidikan adalah media kultural untuk membentuk “manusia”. Kaitan antara
pendidikan dan manusia sangat erat sekali, tidak bisa dipisahkan. Kata
Driyarkara, pendidikan adalah “humanisasi”, yaitu sebagai media dan proses
pembimbingan manusia muda menjadi dewasa, menjadi lebih manusiawi (“humanior”).
Jalan yang ditempuh tentu menggunakan massifikasi jalur kultural. Tidak boleh
ada model “kapitalisasi pendidikan” atau “politisasi pendidikan”. Karena,
pendidikan secara murni berupaya membentuk insan akademis yang berwawasan dan
berkepribadian kemanusiaan.
Pandangan
klasik tentang pendidikan pada umumnya dikatakan sebagai pranata yang dapat
dijalankan pada tiga fungsi sekaligus ; Pertama, menyiapkan generasi
muda untuk memegang peranan-peranan tertentu dalam masyarakat dimasa depan. Kedua,
mentranfer atau memindahkan pengetahuan, sesuai dengan peranan yang
diharapkan, dan Ketiga, mentransfer nilai-nilai dalam rangka memelihara
keutuhan dan kesatuan masyarakat sebagai prasyarat bagi kelangsungan hidup (survive)
masyarakat dan peradaban.[12]
Dalam
perkembangan berikutnya, ekstensifikasi pengertian pendidikan
tersebut, sejalan dengan tuntutan masyarakat atau “pasar”. Dari sini lalu
pendidikan memainkan fungsi sebagai suplementer, melestarikan tata
social dan tata nilai yang ada dimasyarakat dan sekaligus sebagai agen pembaharuan.[13] Proses ini, kemudian menimbulkan persoalan dalam
pendidikan, yaitu ketika terjadinya hubungan timbal-balik antara kepentingan
pendidikan disatu sisi dan kepentingan kebutuhan masyarakat disisi lainnya.
Kepentingan pendidikan seringkali menjadi terabaikan oleh tuntutan masyarakat.
Artinya, fungsi konservasi budaya lebih menonjol dari pada upaya antisipasi
masa depan secara akurat dan memadai. Maka, muncullah berbagai kritik
terhadap system pendidikan. Kritik ini muncul karena melihat pendidikan telah
mengalami stagnasi, yang kemudian melahirkan berbagai aliran dalam
pendidikan.
Salah
satu kritik cukup tajam menganai pendidikan ini datang dari Paulo Friere.
Menurut Freire, kala itu pendidikan di Brazil (dan mungkin masih terjadi sampai
kini di banyak negeri, termasuk Indonesia) telah menjadi alat penindasan dari
kekuasaan untuk membiarkan rakyat dalam keterbelakangannya dan
ketidaksadarannya bahwa ia telah menderita dan tertindas. "Pendidikan gaya
Bank", dimana murid menjadi celengan dan guru adalah orang yang menabung,
atau memasukkan uang ke celengan tersebut, adalah gaya pendidikan yang telah
melahirkan kontradiksi dalam hubungan guru dengan murid.[14]
Lebih lanjut dikatakan, "konsep pendidikan gaya bank juga memeliharanya
(kontradiksi tersebut) dan mempertajamnya, sehingga mengakibatkan terjadinya
kebekuan berpikir dan tidak munculnya kesadaran kritis pada murid". Murid
hanya mendengarkan, mencatat, menghapal dan mengulangi ungkapan-ungkapan yang disampaikan
oleh guru, tanpa menyadari dan memahami arti dan makna yang sesungguhnya.
Inilah yang disebut Freire sebagai kebudayaan bisu (the culture of silence).
Keprihatinan
Friere terhadap kaum tertindas (oppressed) telah mendorong dirinya
untuk mengantisipasi persoalan tersebut demi masa depan kemanusian. Menurutnya,
kaum tertindas yang menginternalisasi citra diri kaum penindas dan menyesuaikan
diri dengan jalan fikiran mereka, akan membawa rasa takut yang berat. Padahal
kebebasan menghendaki mereka, untuk menolak citra diri tersebut harus
menggatinya dengan perasaan bebas serta tanggungjawab. Kebebasan hanya bias
“direbut” bukan “dihadiahkan” kata Friere.
Di
dalam bukunya yang lain, Friere menulis dengan mengutip pendapat Erich Fromm
sebagai argumentasi terhadap situasi yang mengungkung manusia modern ;
“(manusia)
menjadi bebas terhadap ikatan-ikatan yang berasal dari luar, yang mencegahnya
bertindak dan berfikir menurut apa yang mereka anggap cocok. Ia akan bertindak
bebas, jika ia tahu tentang masalahnya. Yang menjadi persoalan adalah ketika
mereka tidak tahu. Karena ia tidak tahu, maka ia akan menyesuaikan diri dengan
penguasa yang tidak dikenalnya dan ia akan meng-ia-kan hal-hal yang
tidak disetujuinya. Semakin ia bertindak demikian, maka ia semakin tidak
berdaya untuk merasa dan ia semakin ditekan untuk menurut.[15]
Manusia
modern, kata Friere, telah dikuasai oleh kekuatan mitos-mitos dan telah
dimanipulasi oleh iklan-iklan yang jitu, kampanye ideology, dan lainnya tanpa
disadari oleh manusia modern, yang pada gilirannya akan menghilangkan kemampuan untuk
memilih dan mengambil keputusan secara bebas. Manusia modern, kemudian tidak
terbiasa untuk menangkap sendiri tugas-tugas zaman, melainkan hanya menerima
apa adanya dari hasil penafsiran penguasa atau kaum “elit”.
Jika
kita mau memandang perjalanan peradaban manusia sendiri, yaitu ketika gerakan renaissance
itu muncul, berangkat dari tuntutan kebebasan dan pembebasan dari berbagai
ikatan dan halangan agar perkembangan manusia serta bakatnya dapat terwujud dan
teraktualisasi. Sedangkan pada masa gerakan Aufklaerung, yang menjadi
“cita-cita”-nya adalah moral rasionalisme, yaitu keberanian untuk memakai
kemampuan akal budi secara bebas.[16] Atau jika kita mengikuti pendapat Soedjatmoko
bahwa yang kita butuhkan adalah pembebasan dari rasa tidak berdaya dan dari
ketergantungan “dari rasa cemas, rasa keharusan untuk mempertanyakan apakah
tindakan-tindakan mereka diizinkan atau tidak oleh wewenang yang lebih tinggi
atau oleh adat kebiasaan…”.[17]
Melalui
pembacaannya terhadap gagasan Antonio Gramsci yang pernah menyatakan bahwa
kesenjangan struktural manusia perlu diperiksa secara kritis dengan menggunakan
teori penyadaran, yaitu pembacaan secara mendalam dan kritis terhadap “realitas
akal sehat”, maka Paulo Freire merefleksikan gagasan tersebut dengan
memformulasikannya dalam sebuah model “penyadaran (conscientizacao)”.[18]
Dampak
riil dari gagasan Freire ini adalah upayanya yang ingin memperhadapkan
pendidikan dengan realitas yang tengah bergumul di sekitarnya. Kenyataan yang
nampak hingga hari ini justru proses dan reproduksi pendidikan sangat jauh dari
keinginan untuk mampu menbaca realitas secara kritis dan cerdas.
“Pendidikan
kritis” (sebuah gagasan yang memang banyak dipengaruhi oleh Freire) merupakan
suatu bentuk “kritisisme sosial”; semua pengetahuan pada dasarnya dimediasi
oleh linguistik yang tidak bisa dihindari secara sosial dan historis;
individu-individu secara syechochical berhubungan dengan masyarakat
yang lebih luas melalui tradisi mediasi (yaitu bagaimana lingkup keluarga,
teman, agama, sekolah formal, budaya pop, dan sebagainya). Pendidikan mempunyai
hubungan dialogis dengan konteks sosial yang melingkupinya. Sehingga,
pendidikan harus kritis terhadap berbagai fenomena yang ada dengan menggunakan
pola pembahasaan yang bernuansa sosio-historis.
Lebih
lanjut, dimaknai bahwa pendidikan kritis yang disertai adanya kedudukan
wilayah-wilayah pedagogis dalam bentuk universitas, sekolah negeri, museum,
galeri seni, atau tempat-tempat lain, maka ia harus memiliki visi dengan tidak
hanya berisi individu-individu yang adaptif terhadap dunia hubungan sosial yang
menindas, tapi juga didedikasikan untuk mentransformasikan kondisi semacam itu.
Artinya, pendidikan tidak berhenti pada bagaimana produk yang akan
dihasilkannya untuk mencetak individu-individu yang hanya diam manakala mereka
harus berhubungan dengan sistem sosial yang menindas. Harus ada kesadaran untuk
melakukan pembebasan. Pendidikan adalah moment kesadaran kritis kita terhadap berbagai
problem sosial yang ada dalam masyarakat.
Upaya
menggerakkan kesadaran ini bisa menggeser dinamika dari pendidikan kritis
menuju pendidikan yang revolusioner. Keduanya berasal dari rahim pemikiran
Freire juga. Menurutnya, pendidikan revolusioner adalah sistem kesadaran untuk
melawan sistem borjuis karena tugas utama pendidikan (selama ini) adalah
mereproduksi ideologi borjuis. Artinya, pendidikan telah menjadi kekuatan kaum
borjuis untuk menjadi saluran kepentingannya. Maka, revolusi yang nanti
berkuasa akan membalikkan tugas pendidikan yang pada awalnya telah dikuasai
oleh kaum borjuis kini menjadi jalan untuk menciptakan ideologi baru dengan
terlebih dahulu membentuk “masyarakat baru”. Masyarakat baru adalah tatanan
struktur sosial yang tak berkelas dengan memberikan ruang kebebasan penuh atas
masyarakat keseluruhan.
Pendidikan
pembebasan akan dicapai dengan menumbangkan realitas penindasan, yaitu dengan
mengisi konsep pedagogis yang memberikan kekuatan pembebasan yang baru. Di
sinilah kita perlu memperbincangkan soal kurikulum pendidikan yang membebaskan.
Tapi, terlebih dahulu kita perlu mengkritik konsep pengetahuan selama ini. Dan
sebenarnya pengetahuan yang ingin didorong oleh Freire adalah pengetahuan
melalui transformasi dan subversi terhadap pengetahuan itu sendiri, yaitu
pengetahuan yang “didepositokan” dalam buku-buku teks sehingga apa yang
dihasilkan dari pola pendidikan dan pengetahuan ini akan terpisah dengan realitas
kontekstual.
Kebebasan
tentu ada batasnya. Kebebasan memiliki batasan-batasan tersendiri, tergantung
persoalan yang dihadapi oleh “kaum tertindas” tersebut. Karena jika kebebasan
tidak diiringi dengan batasan-batasan tertentu, justru akan berbenturan dengan
hak-hak orang lain, yang pada ahirnya akan menimbulkan anarkhisme.
Oleh
sebab itu, kesadaran kritis menjadi titik tolak pemikiran pembebasan
Freire. Tanpa kesadaran kritis rakyat bahwa mereka sedang ditindas oleh
kekuasaan, tak mungkin pembebasan itu dapat dilakukan. Karena itu, konsep
pendidikan Freire ditujukan untuk membuka kesadaran kritis rakyat itu melalui
pemberantasan buta huruf dan pendampingan langsung dikalangan rakyat tertindas.
Upaya membuka kesadaran kritis rakyat itu, dimata kekuasaan rupanya lebih
dipandang sebagai suatu "gerakan politik" ketimbang suatu gerakan
yang mencerdaskan rakyat. Karena itu, pada tahun 1964 Freire diusir oleh
pemerintah untuk meninggalkan Brazil. Pendidikan pembebasan, menurut Freire
adalah pendidikan yang membawa masyarakat dari kondisi "masyarakat
kerucut" (submerged society) kepada masyarakat terbuka (open
society).
- Keberadaan Manusia di dalam (in) dan dengan (with) Dunia
Manusia sebagai makhluk yang tidak sempurna, punya panggilan
ontolosis dan historis untuk menjadi manusia yang lebih sempurna. Apa yang di
maksud dengan “ontological vacation” adalah panggilan alamiah dari dalam diri
manusia untuk merealisasikan potensinya sebagai manusia secara penuh.
Kebalikanya “dehumanisasi adalah distorsi panggilan ontologis manusia untuk
menjadi manusia sampurna. Dalam proses menjadi manusia diajak untuk secara
terus-menerus memanusiakan diri mereka lewat menamakan (naming) dunia
dalam aksi-refleksi dengan manusia yang lain. Manusia, sebagi subjek, dalam
konteks ini diakarkan pada perjuangan historis. Dalam diskusinya tentang Paulo
Freire, Coulun Lankshear mengatakan bahwa Freire mengatakan manusia adalah
“makhluk praksis yang hidup secara otentik hanya ketika terlibat dalam
transformasi dunia.” Dus, manusia, sebagai historical beings, harus
sadar bahwa mereka hidup dalam suatu ruang dan waktu tertentu yang dibentuk
oleh beragam dimensi-dimensi kehidupan, seperti gender, ras, agama, etnik, dan
budaya. Proses pendidikan diarahkan untuk membantu manusia memahami realitas
eksistenisal mereka untuk kemudian menggubahnya[19].
Darisitu kita berangkat dari pemahaman mausia sebagai makhluk hidup
di dalam dan dengan dunia. Karena pelaku konsistensi adalah
subjek (Makhluk yang sadar), maka konsistensi seperti juga pendidikan merupakan
sebuah proses kemanusiaan yang khusus dan eksklusif. Dalam proses kemanusiaan
sebagai makhluk yang sadar, manusia bukan hanya hidup di dunia namun juga bersama
dengan dunia, bersama dengan orang lain. Hanya manusia sebagai makhluk
yang terbuka yang dapat melakukan transformasi terhadap dunia secara
berkesinambungan denga aksi, pemahaman dan mengungkapkan kenyataan dalam bahasa
yang kreatif.
Manusia dapat hidup bersama dengan dunia karena dia dapat
menjaga jarak dengannya secara objektif. Tanpa objektifikasi seperti ini, termasuk mengobjektifikasi
dirinya, manusia hanya dapat hidup di dunia tampa pengetahuan tentang
dirinya dan dunia[20].
Disamping itu juga mereka bisa di dan bersama dunia karena mereka
punya kapasitas untuk berpikir. Kapasitas berpikir inilah yang membuat manusia
mampu memproblematisasi kontradiksi-kontradiksi yang terjadi dalam realitas
kehidupan dan bagaimana mengubahnya. Mereka juga mampu memahami dan mengubah
dunia lewat bahas pikirannya untuk menciptakan sejarah dan masa depan[21].
Lain halnya dengan binatang yang hanya berada di dunia
karena tidak dapat mengobjektifikasi dirinya dan dunia. Binatang hidup tanpa
menperhitungkan waktu, tanpa bahasa verbal, tenggelam didasar dunia tanpa ada
kemungkinan untuk muncul ke permukaan atau mengatur dan mengikuti perkembangan
jaman. Sebaliknya, manusia mampu mengatur dan menteransendensikan diri serta
terus mengembangkan apa yang telah dilakukanya. To Exsit berarti suatu
cara hidup manusia yang sanggup melakukan transformasi, produksi, membuat keputusan,
berkreasi dan berkomunikasi dengan diri sendiri[22].
Manusia yang hanya sekedar hidup tidak akan dapat melakukan
refleksi dan mengetahui bahwa dirinya hidup di dunia. Berbeda dengan
subjek yang menghayati hidupnya dengan ‘kekuasaan’ (dominan) dan yang
mempertahankan hubungannya dengan dunia. Kekuasaannya adalah karya, sejarah,
kebudayaan, nilai di mana manusia menjalani pengembaraannya dalam dialektika
antara deteminisme dan kebebasan.
Jika manusia tidak mengikuti perkembangan dunia dan ‘muncul’
kepermukaan sebagaimana kesadaran dimaknai sebagai pengakuan (admiration)
atas dunia sebagai objek, maka manusia hanya akan menjadi makhluk yang menyerah
pada takdir (determinate being), dan manusia tidak mungkin dapat
berpikir secara bebas. Hanya manusia yang menyadari bahwa dirinya mempunyai
kemauan, yang mampu membebaskan dirinya. Semua ini merupakan refleksi yang akan
menghasilkan perubahan dunia, bukan sekedar kesadaran semu. Oleh karena itu,
kesadaran akan kenyataan yang ada dan tindakan perubahan dunia, bukan sekedar
kesadaran semu. Oleh karena itu, kesadaran akan kenyataan yang ada dan tindakan
didunia adalah konstituen yang tak terpisahkan dari transformasi dengan pelaku
manusia yang menjadi makhluk yang mempunyai hubungan (beings or relations).
Ciri ciri kemanusiaan seperti refleksi, kesungguhan, terikat waktu, transendensi,
kesadaran dan aksi, membedakannya dari hubungan binatang dengan dunia. Hubungan
binatang dengan dunia tidak krits binatang tidak mempunyai proses asosiasi
pengalaman. Binatang itu singular, tidak plural. Binatang tidak merumuskan
tujuan hidupnya, maka ia hidup pada tingkat immersion dan tidak megenal
waktu (atemporal)[23].
Perjanjian dengan dunia dan menjaga jarak secara objektif, memahami
kenyataan sebagai objek, memahami signifikasi tindakan manusia pada kenyataan
objektif, berkomunikasi dengan alat yang disebut bahasa, respon yang plural
terhadap sebuah tantangan semua ini merupakan dimensi-dimensi yang menguji
refleksi kritis manusia dalam hubungannya dengan dunia. Kesadaran dituangkan
dalam dialektika antara objektifikasi dan tidakannya. Kesadaran itu bukan
sekedar refleksi, namun refeksi terhadap kenyataan matrial.
Jika kesadaran tidak akan terwujud tanpa diakui oleh dunia, maka
dunia juga tidak akan ada jika dunia itu sendiri dalam menyatakan kesadaran tidak
menjadi objek refleksi kritis manusia. Maka objektifisme yang mekanistik tidak
akan dapat menjelaskan manusia seperti idealisme yang solipsistik yang
mengabaikan dunia.
Bagi objektifisme mekanistik, kesadaran hanyalah tiruan kenyataan
objektif. Bagi solipsisme, dunia direduksi menjadi penciptaan kesadaran yang
tidak teratur. Dalam kasus pertama, kesadaran tidak akan dapat mentransendensi
keadaan, sedangkan dalam kasus kedua, spanjang solipsime menciptakan (creates)
kenyataan, maka berarti apriori terhadapnya. Oleh karena itu, manusia tidak
terikat dengan transformasi. Dalam pengertian yang objektif, teransformasi ini
tidak akan terwujud, karena bagi objektifisme kesadaran yang merupakan replika
atau tiruan dari kenyataan, adalah objek kenyataan, dan kenyataan akan ditransformasikan
dengan sendirinya. Pandangan solipsistik tidak sesuai dengan konsep transformasi
kenyataan, jika transformasi kenyataan yang dibayangkan absurd. Dalam kedudukan
konsep kesadaran tersebut, tidak ditemukan praksis yang sebenarnya. Paksis
hanya akan mungkin jika dialektika objektif-subjektif tetap dilakukani[24].
- Pendidikan dan Realitas Sosial
Pendidikan usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan susana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecedasan, akhlak mulia, serta
ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.[25]
Secara tegas menjelaskan bahwa sebuah proses menjadi prioritas utama dalam
pendidikan bagi manusia. Pendidikan memiliki misi untuk membantu menumbuhkembangkan
potensi-potensi kemanusiaan baik itu potensi intelektual maupun social.
Pendidikan yang diperoleh tidak cukup hanya memiliki kemampuan
intelektualitasnya saja yang menjadikan manusia berfikir pragmatis dan
menciptakan manusia sebagai alat produksi. Secara tidak langsung menyebutkan
bahwa pendidikan hanya dimanfaatkan untuk kepentingan dan keuntungan bagi dirnya. Pendidikan yang sesungguhnya
adalah menjadikan manusia seutuhnya yang memilki semangat perjuangan demi
kepentingan bersama. Namun dalam realitasnya, nampaknya pendidikan yang
dipraktikanya mengalami ketidak sesuaian semakin jauh dari landasan dan tujuan
pendidikan. Manusia tidak menyadari sifat hakekatnya sebagai manusia.
Manusia merupakan makhluk yang mempunyai
karakteristik yang berbeda dengan makhluk lain dan merupakan makhluk yang
paling sempurna. Dengan potensinya manusia dapat melakukan eksistensinya dalam
proses pendidikan dengan baik. Sehingga prakteknya manusia dapat mengetahui
landasan dan tujuannya. Landasan dan tujuan pendidikan itu sendiri sifatnya
filsofis normatif. Bersifat filosofis karena untuk mendapatkan landasan yang
kukuh diperlukan adanya kajian yang bersifat mendasar, sistematis dan universal
tentang ciri hakiki manusia. Bersifat normatif karena pendidikan mempunyai
tugas untuk menumbuhkembangkan sifak hakekat manusia tersebut sebagai sesuatu
yang bernilai luhur, dan hal itu menjadi keharusan. Dengan landasan dan tujuan
yang jelas setidaknya dapat mengarah pendidikan seperti apa yang akan dicapai.
Praktek penyelenggaraan pendidikan pada suatu
masyarakat selalu dilatar belakangi oleh pertimbangan subjektif masing-masing
berupa filosofis, nilai-nilai, serta suatu prinsip yang dipilih. Pertimbangan
subjektif tersebut sebenarnya bisa dimengerti, mengingat praktek pendidikan
merupakan bagian dari bentuk aktualisasi atas keinginan-keinginan masyarakat
dalam mewujudkan kehendaknya. Kehendak masyarakat yang dimaksud merupakan
sebuah cita-cita sosial, kemana pendidikan itu diarahkan.[26]
Dalam pendidikan tidak ada terdapat proses mengajar dan diajar namun sejatiya
memahami makna apa yan diajarkan untuk diterapakn. Meminjam ungkapan Paulo Freire (1972), mengajar bukan sekadar
memindahkan pengetahuan dengan hafalan. Mengajar tidak dapat direduksi sebagai
mengajar untuk mengajar, tetapi mengajar akan berfungsi bila siswa belajar
untuk belajar (learn to learn). Artinya, siswa sanggup belajar alasan dan
tujuan dari objek dan isi yang dipelajari. Mengintegrasikan realitas sosial ke dalam praktik
pendidikan akan membuat keluaran pendidikan tidak sekadar menghafal dan tahu
lebih banyak informasi pengetahuan, tetapi juga sanggup memberi nilai praktis
atas informasi yang diperolehnya.
Perlu
diketahui bersama bahwa mengetahui sifat hakekat manusia merupakan hal yang
pokok dalam mewujudkan pendidikan yang berladaskan dan bertujuan. Sedangkan
wujud sifat hakekat manusia sebagaimana yang dikemukakan oleh paham
eksisitensialisme dengan maksud untuk membenahi konsep pendidikan yaitu:[27]
a. Kemampuan menyadari diri
Kemampuan menyadari diri yang dimiliki manusia merupakan
hal yang membedakan manusia dengan makhluk lain. Manusia dapat menyadari bahwa
ia memiliki karakteristik diri. Sehingga dapat membedakan dirinya dengan aku
aku yang lain dan dengan lingkungan sekitar
b. Kemampuan bereksistensi
Manusia dapat menembus atau menerobos dan mengatasi
batas- batas belenggu yang ada pada dirinya. Kemampuan tersebut bukan hanya
kaitannya soal ruang, melainkan juga dengan waktu.
c. Pemilikan kata hati
Kata hati merupakan kemampuan yang ada pada diri manusia
yang memberi penerangan baik buruknya perbuatan sebagai manusia
d. Moral
Moral merupakan perwujudan dari perbuatan kata hati.
Kedua hal ini masih memiliki jarak. Seseorang yang memiliki kata hati yang
tajam belum tentu secara otomatis dapat direalisasikan.
e. Kemampuan bertaggung jawab
Tanggung jawab merupakan kesediaan untuk menanggung
akibat dari perbuatan yang menuntut jawab.
f. Rasa kebebasan (kemerdekaan)
Kebebasan yang dimaksud adalah bebas dalam berbuat
sepanjang tidak bertentangan dengan tuntutan kodrat manusia. Artinya kebebasan
yang lakukan sesuai dengan kata hati yang diwujudkan dengan perbuatan moralnya
tanpa diikuti oleh rasa kekhawatiran.
g. Kesediaan melaksanakan kewajiban dan menyadari
hal
Kewajiban dan hak merupakan dua macam gejala yang timbul
sebagai manifestasi dari manusia sebagai makhluk sosial. Jika seseorang
mempunyai hak untuk menuntut sesuatu maka tenti ada pihak-pihak lain yang
berkewajiban untuk memenuhi hak tersebut.
h. Kemampuan menghayati kebahagiaan.
Kebahagiaan merupakan bentuk luapan ekspresi manusia
dalam kehidupannya. Pengahayatan hidup yang disebut kebahagiaan ini meskipun
tidak mudah dijabarkan tetapi tidak sulit untuk dirasakan. Pada dasarnya
Kebahagiaan itu rupanya tidak terletak pada keadaannya sendiri secara faktual
ataupun pada rangkaian prosesnya, maupun pada perasaan yang diakibatkannya
tetapi terletak pada kesanggupan menghayati semuanya itu dengan keheningan jiwa
dan mendudukkan hal-hal tersebut di dalam rangkaian (usaha,norma-norma, dan
taqdir).
Pendidikan diharapkan memberikan pengetahuan
yang memungkinkan orang dapat mengatasi masalah-masalah kehidupan dalam
tugas-tugas profesional maupun dalam kehidupan sehari-hari.[28] Sekarang ini anggapan masyarakat semakin kuat
mengenai pendidikan merupakan jalan untuk mencari kerja. Orang tua menyekolahkan
anaknya agar kelak memperoleh pekerjaan yang memadahi sesuai dengan apa yang
ditanamkan disekolah. Hal ini yang menjadi pertimbangan bagi orang tua. Budaya
pragmatis sekarang ini sudah merajalela dalam kehidupan publik. Sehingga
menganggap bahwa nilai kuantitatif menjadi lebih penting dari pada
kualitatifnya. Maka dari itu perlu
adanya pemahaman pendidikan. Pendidikan bukan dibangun dalam kerangka ekonomi
saja akan tetapi bagaimana memahaminya secara non- ekonomi dalam proses
pendidikan. Kita harus menyadari bahwa pendidikan dan sekolah tidaklah identik
dengan mencari kerja. Karena hal tersebut bukanlah inti pokok. Mencari kerja adalah bagian, bukan tujuan utama.
Tujuan yang lebih mulia adalah untuk memahami kehidupan, memahami bagaimana
realitas eksistensial dikontruksi, memahami bagaiman seharusnya hidup di dan
bersama dunia, dan bagaimana menjadi subjek di tengah-tengah perubahan social.[29]
Kesimpulan
Pendidikan merupakan pimpinan dan bimbingan bagi
peserta didik. Pendidikan menjadikan prosesnya harus berjalan dengan kebijakan
“Learning Process Skill” daripada “Learning Concept”. Pada
pendekatan proses akan ditandai dengan kurikukulum yang student centered,
bukan teacher centered. Peran guru lebih sebagai fasilitator,
mediator, dinamisator, organisator, dan katalisator yang bekerja keras untuk
memberlakukan “dialog” sebagai ruh yang mendasari hidupnya proses
pendidikan, serta tidak mencoba menerapkan sikap “anti dialog” di
dalamnya. Sehingga paradigma pendidikan semacam ini sering disebut sebagai
pendidikan “produksi kesadaran kritis
Ada 3 (tiga) filosofis dari ciri pokok pendidikan
kritis yaitu: Belajar dari realitas atau pengalaman, Tidak
menggurui, Dialogis. Tetapi
di sisi lain, Ali Shari’ati seorang sosiolog muslim mengedepankan empat
belenggu manusia yakni, historisme, sosiologisme, biologisme, dan Ego.
Dengan demikian, untuk mewujudkan kesadaran kritis
maka peran pendidikan sebagai pembebas manusia dari keterjebakan dan
keterbelengguan jiwa manusia dalam dan/atau oleh orientasi semu. Di sisi lain, melalui pendidikan pula proses
penciptaan mentalitas dan kultur demokrasi suatu masyarakat dapat dilakukan.
Hal
itu bisa terjadi bila “(manusia) bebas terhadap ikatan-ikatan yang berasal dari
luar, yang mencegahnya bertindak dan berfikir menurut apa yang mereka anggap
cocok. Ia akan bertindak bebas, jika ia tahu tentang masalahnya. Kalau kita
lihat kebebasan manusia itu dapat disimpulkan ada dua kebebasan yang dimiliki
manusia yaitu kebebasan vertikal yang arahnya kepada Tuhan dan kebebasan
horisontal yang arahnya kepada sesama makhluk.
Disatu sisi manusia bisa hidup di dan bersama dunia karena mereka punya
kapasitas untuk berpikir. Kapasitas berpikir inilah yang membuat manusia mampu
memproblematisasi kontradiksi-kontradiksi yang terjadi dalam realitas kehidupan
dan
bagaimana mengubahnya. Mereka juga mampu memahami dan mengubah dunia
lewat bahas pikirannya untuk menciptakan sejarah dan mansa depan. Sehingga menjadikan manusia seutuhnya yang memilki
semangat perjuangan demi kepentingan bersama.
Daftar Pustaka
……UU SIKDIKNAS No
20 Tahun 2003
Dalam Islam, secara normative disandarkan pada sebuah hadits Nabi “Tuntutlah
ilmu dari buaian sampai ke liang lahat”.
Escobar, M dkk
(ed.), Sekolah Kapitalisme yang Licik, cet. III, (Yogyakarta: LKiS, 2001)
Fakih, Mansour ,Pendidikan Populer
Francis Wahono, Kapitalisme Pendidikan: Antara Kompetensi dan
Keadilan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001)
Freire, Paulo, Politik Pendidikan Kebudayaan Kekuasaan dan
Pembebasan, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007)
Friere, Paulo, Pendidikan
Kaum Tertindas, (trj), (Jakarta : LP3ES, 1985),
Friere, Paulo, Pendidikan
Sebagai Praktik Pembebasan, (trj), (Jakarta : Gramedia, 1984)
Karim, Rusli “Pendidikan Islam Sebagai Upaya Pembebasan Manusia”
dalam Muslih Usa (ed), Pendidikan Islam di Indonesia ; Antara Cita dan
Fakta, (Yogyakarta ; Tiara Wacana, 1999)
Kleden, Ignas,
“Pengantar” dalam Sudjatmoko, Etika Pembebasan, (Jakarta : LP3ES,
1984).
Langgulung,
Hasan, Beberapa
Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, (Bandung ; al-Maarif, 1980)
Machfudin, “Antara Konsientasi, Masifikasi dan Gnosiologi Dalam
Pendidikan”, dalam Jurnal Insania No 2 Th I(Purwokerto: IAIN
Walisongo Fak. Tarbiyah Purwokerto, 1996)
Nuryatno, M. Agus, Mazhab Pendidikan Kritis menyingkap relasi
pengetahuan politik dan kekuasaan, (Yogyakarta, Resist book, 2008).
Raharja, Umar Tirta. dan Sula, S. L.La, Pengantar Pendidikan (Edisi Revisi), (Jakarta : PT Rineka Cipta),
hlm. 4
Rahman, Arif, Politik Ideologi Pendidikan, (Yogyakarta : Lask Bang Mediatama,2009) hlm
89
Shari’ati, Ali, Tugas Cendekiawan Muslim, Terj. Dr. Amin
Rais (Yogyakarta: Solahudin Press, 1980).
Sudjatmoko, Pembangunan
dan Pembebasan, (Jakarta : LP3ES, 1984).
Zamroni, Pendidikan Untuk Demokrasi Tantangan Menuju Civil
Society (Yogyakarta: Bigraf Publishing, 2001)
Zuchdi, Darmiyati, Humanisasi Pendidikan Menemukan Kembali
Pendidikan yang Manusiawi, (Jakarta : PT Bumi Aksara,2008), hlm. 124
[1] Zaim Elmubarok, Membumikan Pendidikan Nilai Mengumpulkan yang
Terserak, Menyambung yang Terputus, dan Menyatukan yang Tercerai, (Bandung
: Alfabeta, 2008), hlm. 3
[2]
Dalam Islam, secara normative disandarkan pada sebuah hadits Nabi “Tuntutlah
ilmu dari buaian sampai ke liang lahat”.
[3]
Hasan Langgulung,Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, (Bandung
; al-Maarif, 1980), hlm. 92.
[4]
Rusli Karim, “Pendidikan Islam Sebagai Upaya Pembebasan Manusia” dalam
Muslih Usa (ed), Pendidikan Islam di Indonesia ; Antara Cita dan
Fakta, (Yogyakarta ; Tiara Wacana, 1999), hlm. 28
[5] Machfudin, “Antara Konsientasi, Masifikasi dan Gnosiologi Dalam
Pendidikan”, dalam Jurnal Insania No 2 Th I(Purwokerto: IAIN Walisongo
Fak. Tarbiyah Purwokerto, 1996), hal. 8.
[6]
Mansour Fakih, Pendidikan Populer, hal. 11.
[7] Ibid,
hal. 61
[8] Ali Shari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, Terj. Dr. Amin
Rais (Yogyakarta: Solahudin Press, 1980), hal. 49-76.
[9]
Machfudin, “Antara Konsientasi, Masifikasi dan Gnosiologi Dalam Pendidikan”,
hal. 8-9
[10] Zamroni, Pendidikan Untuk Demokrasi Tantangan Menuju Civil
Society (Yogyakarta: Bigraf Publishing, 2001), hal.Viii.
[11] Francis Wahono, Kapitalisme Pendidikan: Antara Kompetensi dan
Keadilan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001),hal. Viii.
[12]
Hasan Langgulung,Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, (Bandung
; al-Maarif, 1980), hlm. 92.
[13]
Rusli Karim, “Pendidikan Islam Sebagai Upaya Pembebasan Manusia” dalam Muslih
Usa (ed), Pendidikan
Islam di Indonesia ; Antara Cita dan Fakta, (Yogyakarta ; Tiara
Wacana, 1999), hlm. 28
[14]Lihat
Paulo Friere, Pendidikan Kaum Tertindas, (trj),
(Jakarta : LP3ES, 1985), terutama pada Bab. 2.
[15]
Paulo Friere, Pendidikan Sebagai Praktik Pembebasan, (trj),
(Jakarta : Gramedia, 1984), hlm. 6 – 7.
[16]
Ignas Kleden, “Pengantar” dalam Sudjatmoko, Etika Pembebasan, (Jakarta : LP3ES,
1984).
[17]
Sudjatmoko, Pembangunan dan Pembebasan, (Jakarta
: LP3ES, 1984).
[18] M.
Escobar dkk (ed.), Sekolah Kapitalisme yang Licik, cet. III, (Yogyakarta: LKiS,
2001), hal. xvi.
[19] M.
Agus Nuryatno, Mazhab Pendidikan Kritis menyingkap relasi pengetahuan
politik dan kekuasaan, Yogyakarta, Resist book, 2008, hal. 40.
[20]
Paulo Freire, Politik Pendidikan Kebudayaan Kekuasaan dan Pembebasan,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007, hal,123.
[21] M.
Agus Nuryatno, Mazhab Pendidikan Kritis menyingkap relasi pengetahuan
politik dan kekuasaan, Yogyakarta, Resist book, 2008, hal. 41.
[22]
Paulo Freire, Politik Pendidikan Kebudayaan Kekuasaan dan Pembebasan,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007, hal. 124
[23]
Ibid..hal, 125.
[24]
Ibid..126.
[27] Umar Tirta Raharja dan S. L.La Sula, Pengantar Pendidikan (Edisi Revisi),
(Jakarta : PT Rineka Cipta), hlm. 4
[28] Darmiyati Zuchdi, Humanisasi Pendidikan Menemukan Kembali Pendidikan
yang Manusiawi, (Jakarta : PT Bumi Aksara,2008), hlm. 124
[29] M. Agus Nuryano, Mazhab Pendidikan Kritis Menyikap Relasi Pengetahuan
Politik dan Kekuasaan, (Yogyakarta : Resist Book,2008) hlm. 83
Tidak ada komentar:
Posting Komentar