Kamis, 18 Oktober 2012

Humanisasi Pendidikan Dengan Ideologi Pendidikan Kritis

Oleh : Arfian Bayu Bekti



Pendahuluan
Manusia dari waktu ke waktu selalu mengalami perubahan. Perubahan yang terjadi dapat dilakukan di waktu kapan dan dimana saja. Karena manusia memiliki potensi untuk melakukan perubahan. Lalu yang menjadi pertanyaan apakah hanya cukup punya potensi lalu bisa langsung direalisasikan? tentunya tidak semudah seperti membalikkan telapak tangan. Potensi yang dimilikinya tentunya sangat membutuhkan pengarahan yang baik. Pendidikan merupakan sarana utama dalam mengarahkan potensi yang nantinya akan membimbing bagi perjalanan hidup manusia. Manusia dapat berfikir apa yang seharusnya dilakukan bukan apa yang akan dilakukan.
Menurut zamroni pendidikan adalah suau proses menanamkan dan mengembangkan pada diri peserta didik pengetahuan tentang hidup, sikap dalam hidup agar kelak ia dapat membedakan yang benar dan yang salah, yang baik dan yang buruk, sehingga kehadirannya ditengah-tengah masyarakat akan bermakna dan berfungsi secara optimal.[1] Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa pendidikan merupakan usaha atau proses yang ditujukan untuk membina kualitas sumber daya manusia seutuhnya agar ia dapat melakukan peranannya dalam kehidupan secara fungsional dan optimal. Pada intinya pendidikan menolong dan dapat dirasakan manfaatnya ditengah-tengah kehidupan bermasyarakat.
Dizaman globalisasi, pendidikan mengalami kehilangan identitasnya sebagai pendidikan yang menjadikan manusia seutuhnya. Manusia tidak diberlakukan selayaknya dalam artian tidak diberi kesempatan ruang gerak dalam berfikir terhadap hal yang dinilai menindas. Mereka dipaksa mengikuti pendidikan global yang dibangun atas kerangka ekonomi dan liberal. Nampak jelas pendidikan menjadi tidak manusiawi (dehumanisasi). Untuk menanggapi hal tersebut pemikiran-pemikiran kritis sangat diperlukan agar proses pendidikan yang humanis dapat terlaksana dengan baik. Dalam makalah ini kami membahas “Humanisasi Pendidikan Dengan Ideologi Pendidika Kritis”.

Humanisasi Pendidikan Dengan Ideologi Pendidikan Kritis
  1. Paradigma Pendidikan Kritis
Pendidikan pada dasarnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Dari mulai lahir (sejak dari buaian), manusia senantiasa belajar dengan yang terjadi disekitarnya, hingga manusia lanjut usia bahkan meninggal dunia, ia tetap melakukan prakondisi-prakondisi dalam melihat persoalan yang dihadapi, dan inilah proses pembelajaran.[2]
Pandangan klasik tentang pendidikan pada umumnya dikatakan sebagai pranata yang dapat dijalankan pada tiga fungsi sekaligus ; Pertama, menyiapkan generasi muda untuk memegang peranan-peranan tertentu dalam masyarakat dimasa depan. Kedua, mentransfer atau memindahkan pengetahuan, sesuai dengan peranan yang diharapkan, dan Ketiga, mentransfer nilai-nilai dalam rangka memelihara keutuhan dan kesatuan masyarakat sebagai prasyarat bagi kelangsungan hidup (survive) masyarakat dan peradaban.[3]
Dalam perkembangan berikutnya, ekstensifikasi pengertian pendidikan tersebut, sejalan dengan tuntutan masyarakat atau “pasar”. Dari sini lalu pendidikan memainkan fungsi sebagai suplementer, melestarikan tata social dan tata nilai yang ada dimasyarakat dan sekaligus sebagai agen pembaharuan.[4]
Pendidikan merupakan pimpinan dan bimbingan bagi peserta didik. Pendidikan menjadikan prosesnya harus berjalan dengan kebijakan “Learning Process Skill” daripada “Learning Concept”. Pada pendekatan proses akan ditandai dengan kurikukulum yang student centered, bukan teacher centered. Peran guru lebih sebagai fasilitator, mediator, dinamisator, organisator, dan katalisator yang bekerja keras untuk memberlakukan “dialog” sebagai ruh yang mendasari hidupnya proses pendidikan, serta tidak mencoba menerapkan sikap “anti dialog” di dalamnya.[5]
Proses pendidikan ideal di atas memungkinkan munculnya sikap kritis (prise conscience) pada peserta didik, di mana persepsi terhadap siswa tidak lagi ia pandang sebagai “cawan” (yang pasif dan dituangi air ke dalamnya), tetapi sebagai subjek yang belajar dan bersama-sama dengan subjek yang mendidik untuk selalu berada dalam derap pencarian makna sesuatu kebenaran. Paradigma pendidikan semacam ini sering disebut sebagai pendidikan “produksi kesadaran kritis”. Lebih lanjut, hasil dari proses pendidikan adalah kesadaran kelas, kesadaran gender, maupun kesadaran kritis lainnya. Oleh karena itu, pendidikan lebih merupakan pembebasan manusia. Pendidikan merupakan sarana memproduksi kesadaran untuk mengembalikan kemanusiaan manusia.[6]
Pendidikan kritis merupakan media untuk resistensi dan aksi sosial yang tidak dapat dipisahkan. Pendidikan merupakan bagian dari proses transformasi sosial, maka pendidikan kritis merupakan proses perjuangan politik. Dalam perspektif kritis, proses pendidikan merupakan proses refleksi dalam aksi (praksis) terhadap seluruh tatanan dan relasi sosial dari sistem dan struktur sosial, dan bagaimana perannya dan cara kerjanya dalam mengembangkan ketidakadilan dan ketidaksetaraan sosial. Oleh karena tugas utama pendidikan adalah menciptakan ruang agar sikap kritis terhadap sistem dan struktur yang diskriminatif terhadap kaum tertindas, kemudian bagaimana melakukan proses dekonstruksi dan aksi praktis maupun strategis menuju sistem sosial yang sensitif dan non-diskriminatif. Melihat dasar filosofis dari pendidikan kritis di atas, maka selanjutnya ada 3 (tiga) ciri pokok pendidikan kritis.
1. Belajar dari realitas atau pengalaman; yang dipelajari bukan ajaran (teori, pendapat, kesimpulan, wejangan, nasihat, dan seterusnya) dari seseorang, tetapi keadaan nyata masyarakat atau pengalaman seseorang atau sekelompok orang yang terlibat di atas keadaan yata tersebut. Akibatnya, tidak ada otoritas pengetahuan seorang yang lebih tinggi dari lainnya. Keabsahan pengetahuan seorang ditentukan oleh pembuktiannya dalam realitas tindakan/pengalaman langsung, bukan pada retorika atau kepintaran omong-nya.
2. Tidak menggurui; karena itu tidak ada guru dan tidak ada murid yang digurui, semua orang yang terlibat dalam proses pendidikan ini adalah guru sekaligus murid pada saat yang bersamaan.
3. Dialogis; proses berlangsungnya belajar mengajar bersifat komunikasi dalam berbagai bentuk kegiatan (diskusi, kelompok bermain, dan sebagainya), dan media (peraga, grafik, audio-visual, dan sebagainya) yang lebih memungkinkan terjadinya dialog kritis antara semua orang yang terlibat dalam proses pelatihan tersebut[7]
  1. Menuju Pendidikan Humanis
Acap kali pendidikan ditempatkan sebagai sesuatu yang hanya bertali-temali dengan transfer of nowledge dan arena indoktrinasi. Pada hal sesungguhnya pendidikan lebih dari itu, di samping sebagai aktivitas transfer of knowledge, pendidikan juga merupakan media dan aktivitas membangun kesadaran, kedewasaan, dan kehadiran peserta didik. Kesadaran, kedewasaan,dan kemandirian itulah yang menjadi tujuan pendidikan.
Ketidakteraktualisasikannya potensi manusia itu berkaitan dengan kondisi pendidikan, sosial budaya, atau bahkan nilai-nilai dasar (keyakinan) yang dihayati suatu masyarakat atau individu. Franscise Bacon mengidentifikasikan minimal ada lima belenggu yang dapat menghalangi teraktualisasinya kemampuan berpikir kritis pada diri manusia. Belenggu-belenggu itu adalah Idols of market, Idols of temple, Idols of trible, Idols of threathre, dan Idols of cave. Di sisi lain, Ali Shari’ati seorang sosiolog muslim mengedepankan empat belenggu manusia yakni, historisme, sosiologisme, biologisme, dan Ego.[8]
Perbedaan pengidentifikasian perihal belenggu manusia dari Bacon dan Shari’ati disebabkan karena perspektif pandang yang berbeda. Apabila Bacon sebagai seorang filosof lebih menekankan pandanganya dalam dimensi internal manusia yang kemudian terwujud dalam budaya, maka Shari’ati lebih menekankan pandanganya dari sudut sosiologi sebagai disiplin yang ditekuninya. Secara esensi boleh jadi dua pendapat itu dapat dikatakan memiliki muara yang sama, yaitu suatu penelusuran teoretik perihal kendala yang menghalangi teraktualisasinya kemampuan kritis manusia ketika melihat, mencondro, dan mendefinisikan realitas.[9]
Dalam kerangka empiris wujud “berhala dan belenggu” di atas boleh jadi mengejawantahkan dalam bentuk pendidikan, budaya, agama, dan politik. Pendidikan tentulah harus berupa sistem dan proses yang berusaha memekarkan potensialitas manusia dan membimbing aktualisasinya. Dengan demikian, pendidikan berperan sebagai pembebas manusia dari keterjebakan dan keterbelengguan jiwa manusia dalam dan/atau oleh orientasi semu.  Di sisi lain, melalui pendidikan pula proses penciptaan mentalitas dan kultur demokrasi suatu masyarakat dapat dilakukan.[10]
Sistem pendidikan yang dianut suatu bangsa akan mencerminkan mentalitas dan perilaku para pengambil kebijakannya. Realitas sejarah di Indonesia telah menunjukkan betapa institusi pendidikan dijadikan alat melanggengkan kekuasaan. Implikasi dari semua itu adalah hilangnya profesionalisme dan independensi institusi pendidikan dari konteksnya sebagai institusi yang mencerdaskan dan membebaskan.
Dengan demikian, pendidikan merupakan proses dekonstruksi yang memproduksi wacana untuk membangkitkan kesadaran kritis kemanuisaan. Pendidikan identik dengan proses pembebasan manusia. Pendirian ini berangkat dari asumsi bahwa manusia dalam sistem dan struktur sosial yang ada telah mengalami proses dehumanisasi.[11] Istilah humanis merupakan kata sifat dari homo (manusia). Secara istilah humaniora/humanis yang memiliki muatan pengertian sebagai bahan.
  1. Pendidikan Yang Membebaskan
Kebebasan secara umum berarti ketiadaan paksaan. Ada kebebasan fisik yaitu secara fisik bebas bergerak ke mana saja. Kebebasan moral yaitu kebebasan dari paksaan moral, hukum dan kewajiban (termasuk di dalamnya kebebasan berbicara). Kebebasan psikologis yaitu memilih berniat atau tidak, sehingga kebebasan ini sering disebut sebagai kebebasan untuk memilih. Manusia juga mempunyai kebebasan berpikir, berkreasi dan berinovasi. Kalau disimpulkan ada dua kebebasan yang dimiliki manusia yaitu kebebasan vertikal yang arahnya kepada Tuhan dan kebebasan horisontal yang arahnya kepada sesama makhluk.
Sementara pendidikan adalah media kultural untuk membentuk “manusia”. Kaitan antara pendidikan dan manusia sangat erat sekali, tidak bisa dipisahkan. Kata Driyarkara, pendidikan adalah “humanisasi”, yaitu sebagai media dan proses pembimbingan manusia muda menjadi dewasa, menjadi lebih manusiawi (“humanior”). Jalan yang ditempuh tentu menggunakan massifikasi jalur kultural. Tidak boleh ada model “kapitalisasi pendidikan” atau “politisasi pendidikan”. Karena, pendidikan secara murni berupaya membentuk insan akademis yang berwawasan dan berkepribadian kemanusiaan.
Pandangan klasik tentang pendidikan pada umumnya dikatakan sebagai pranata yang dapat dijalankan pada tiga fungsi sekaligus ; Pertama, menyiapkan generasi muda untuk memegang peranan-peranan tertentu dalam masyarakat dimasa depan. Kedua, mentranfer atau memindahkan pengetahuan, sesuai dengan peranan yang diharapkan, dan Ketiga, mentransfer nilai-nilai dalam rangka memelihara keutuhan dan kesatuan masyarakat sebagai prasyarat bagi kelangsungan hidup (survive) masyarakat dan peradaban.[12]
Dalam perkembangan berikutnya, ekstensifikasi pengertian pendidikan tersebut, sejalan dengan tuntutan masyarakat atau “pasar”. Dari sini lalu pendidikan memainkan fungsi sebagai suplementer, melestarikan tata social dan tata nilai yang ada dimasyarakat dan sekaligus sebagai agen pembaharuan.[13]  Proses ini, kemudian menimbulkan persoalan dalam pendidikan, yaitu ketika terjadinya hubungan timbal-balik antara kepentingan pendidikan disatu sisi dan kepentingan kebutuhan masyarakat disisi lainnya. Kepentingan pendidikan seringkali menjadi terabaikan oleh tuntutan masyarakat. Artinya, fungsi konservasi budaya lebih menonjol dari pada upaya antisipasi masa depan secara akurat dan memadai. Maka, muncullah berbagai kritik terhadap system pendidikan. Kritik ini muncul karena melihat pendidikan telah mengalami stagnasi, yang kemudian melahirkan berbagai aliran dalam pendidikan.
Salah satu kritik cukup tajam menganai pendidikan ini datang dari Paulo Friere. Menurut Freire, kala itu pendidikan di Brazil (dan mungkin masih terjadi sampai kini di banyak negeri, termasuk Indonesia) telah menjadi alat penindasan dari kekuasaan untuk membiarkan rakyat dalam keterbelakangannya dan ketidaksadarannya bahwa ia telah menderita dan tertindas. "Pendidikan gaya Bank", dimana murid menjadi celengan dan guru adalah orang yang menabung, atau memasukkan uang ke celengan tersebut, adalah gaya pendidikan yang telah melahirkan kontradiksi dalam hubungan guru dengan murid.[14] Lebih lanjut dikatakan, "konsep pendidikan gaya bank juga memeliharanya (kontradiksi tersebut) dan mempertajamnya, sehingga mengakibatkan terjadinya kebekuan berpikir dan tidak munculnya kesadaran kritis pada murid". Murid hanya mendengarkan, mencatat, menghapal dan mengulangi ungkapan-ungkapan yang disampaikan oleh guru, tanpa menyadari dan memahami arti dan makna yang sesungguhnya. Inilah yang disebut Freire sebagai kebudayaan bisu (the culture of silence).
Keprihatinan Friere terhadap kaum tertindas (oppressed) telah mendorong dirinya untuk mengantisipasi persoalan tersebut demi masa depan kemanusian. Menurutnya, kaum tertindas yang menginternalisasi citra diri kaum penindas dan menyesuaikan diri dengan jalan fikiran mereka, akan membawa rasa takut yang berat. Padahal kebebasan menghendaki mereka, untuk menolak citra diri tersebut harus menggatinya dengan perasaan bebas serta tanggungjawab. Kebebasan hanya bias “direbut” bukan “dihadiahkan” kata Friere.
Di dalam bukunya yang lain, Friere menulis dengan mengutip pendapat Erich Fromm sebagai argumentasi terhadap situasi yang mengungkung manusia modern ;
“(manusia) menjadi bebas terhadap ikatan-ikatan yang berasal dari luar, yang mencegahnya bertindak dan berfikir menurut apa yang mereka anggap cocok. Ia akan bertindak bebas, jika ia tahu tentang masalahnya. Yang menjadi persoalan adalah ketika mereka tidak tahu. Karena ia tidak tahu, maka ia akan menyesuaikan diri dengan penguasa yang tidak dikenalnya dan ia akan meng-ia­-kan hal-hal yang tidak disetujuinya. Semakin ia bertindak demikian, maka ia semakin tidak berdaya untuk merasa dan ia semakin ditekan untuk menurut.[15]
Manusia modern, kata Friere, telah dikuasai oleh kekuatan mitos-mitos dan telah dimanipulasi oleh iklan-iklan yang jitu, kampanye ideology, dan lainnya tanpa disadari oleh manusia modern, yang pada gilirannya akan menghilangkan kemampuan untuk memilih dan mengambil keputusan secara bebas. Manusia modern, kemudian tidak terbiasa untuk menangkap sendiri tugas-tugas zaman, melainkan hanya menerima apa adanya dari hasil penafsiran penguasa atau kaum “elit”.
Jika kita mau memandang perjalanan peradaban manusia sendiri, yaitu ketika gerakan renaissance itu muncul, berangkat dari tuntutan kebebasan dan pembebasan dari berbagai ikatan dan halangan agar perkembangan manusia serta bakatnya dapat terwujud dan teraktualisasi. Sedangkan pada masa gerakan Aufklaerung, yang menjadi “cita-cita”-nya adalah moral rasionalisme, yaitu keberanian untuk memakai kemampuan akal budi secara bebas.[16]  Atau jika kita mengikuti pendapat Soedjatmoko bahwa yang kita butuhkan adalah pembebasan dari rasa tidak berdaya dan dari ketergantungan “dari rasa cemas, rasa keharusan untuk mempertanyakan apakah tindakan-tindakan mereka diizinkan atau tidak oleh wewenang yang lebih tinggi atau oleh adat kebiasaan…”.[17] 
Melalui pembacaannya terhadap gagasan Antonio Gramsci yang pernah menyatakan bahwa kesenjangan struktural manusia perlu diperiksa secara kritis dengan menggunakan teori penyadaran, yaitu pembacaan secara mendalam dan kritis terhadap “realitas akal sehat”, maka Paulo Freire merefleksikan gagasan tersebut dengan memformulasikannya dalam sebuah model “penyadaran (conscientizacao)”.[18]
Dampak riil dari gagasan Freire ini adalah upayanya yang ingin memperhadapkan pendidikan dengan realitas yang tengah bergumul di sekitarnya. Kenyataan yang nampak hingga hari ini justru proses dan reproduksi pendidikan sangat jauh dari keinginan untuk mampu menbaca realitas secara kritis dan cerdas.
“Pendidikan kritis” (sebuah gagasan yang memang banyak dipengaruhi oleh Freire) merupakan suatu bentuk “kritisisme sosial”; semua pengetahuan pada dasarnya dimediasi oleh linguistik yang tidak bisa dihindari secara sosial dan historis; individu-individu secara syechochical berhubungan dengan masyarakat yang lebih luas melalui tradisi mediasi (yaitu bagaimana lingkup keluarga, teman, agama, sekolah formal, budaya pop, dan sebagainya). Pendidikan mempunyai hubungan dialogis dengan konteks sosial yang melingkupinya. Sehingga, pendidikan harus kritis terhadap berbagai fenomena yang ada dengan menggunakan pola pembahasaan yang bernuansa sosio-historis.
Lebih lanjut, dimaknai bahwa pendidikan kritis yang disertai adanya kedudukan wilayah-wilayah pedagogis dalam bentuk universitas, sekolah negeri, museum, galeri seni, atau tempat-tempat lain, maka ia harus memiliki visi dengan tidak hanya berisi individu-individu yang adaptif terhadap dunia hubungan sosial yang menindas, tapi juga didedikasikan untuk mentransformasikan kondisi semacam itu. Artinya, pendidikan tidak berhenti pada bagaimana produk yang akan dihasilkannya untuk mencetak individu-individu yang hanya diam manakala mereka harus berhubungan dengan sistem sosial yang menindas. Harus ada kesadaran untuk melakukan pembebasan. Pendidikan adalah moment kesadaran kritis kita terhadap berbagai problem sosial yang ada dalam masyarakat.
Upaya menggerakkan kesadaran ini bisa menggeser dinamika dari pendidikan kritis menuju pendidikan yang revolusioner. Keduanya berasal dari rahim pemikiran Freire juga. Menurutnya, pendidikan revolusioner adalah sistem kesadaran untuk melawan sistem borjuis karena tugas utama pendidikan (selama ini) adalah mereproduksi ideologi borjuis. Artinya, pendidikan telah menjadi kekuatan kaum borjuis untuk menjadi saluran kepentingannya. Maka, revolusi yang nanti berkuasa akan membalikkan tugas pendidikan yang pada awalnya telah dikuasai oleh kaum borjuis kini menjadi jalan untuk menciptakan ideologi baru dengan terlebih dahulu membentuk “masyarakat baru”. Masyarakat baru adalah tatanan struktur sosial yang tak berkelas dengan memberikan ruang kebebasan penuh atas masyarakat keseluruhan.
Pendidikan pembebasan akan dicapai dengan menumbangkan realitas penindasan, yaitu dengan mengisi konsep pedagogis yang memberikan kekuatan pembebasan yang baru. Di sinilah kita perlu memperbincangkan soal kurikulum pendidikan yang membebaskan. Tapi, terlebih dahulu kita perlu mengkritik konsep pengetahuan selama ini. Dan sebenarnya pengetahuan yang ingin didorong oleh Freire adalah pengetahuan melalui transformasi dan subversi terhadap pengetahuan itu sendiri, yaitu pengetahuan yang “didepositokan” dalam buku-buku teks sehingga apa yang dihasilkan dari pola pendidikan dan pengetahuan ini akan terpisah dengan realitas kontekstual.
Kebebasan tentu ada batasnya. Kebebasan memiliki batasan-batasan tersendiri, tergantung persoalan yang dihadapi oleh “kaum tertindas” tersebut. Karena jika kebebasan tidak diiringi dengan batasan-batasan tertentu, justru akan berbenturan dengan hak-hak orang lain, yang pada ahirnya akan menimbulkan anarkhisme.
Oleh sebab itu, kesadaran kritis menjadi titik tolak pemikiran pembebasan Freire. Tanpa kesadaran kritis rakyat bahwa mereka sedang ditindas oleh kekuasaan, tak mungkin pembebasan itu dapat dilakukan. Karena itu, konsep pendidikan Freire ditujukan untuk membuka kesadaran kritis rakyat itu melalui pemberantasan buta huruf dan pendampingan langsung dikalangan rakyat tertindas. Upaya membuka kesadaran kritis rakyat itu, dimata kekuasaan rupanya lebih dipandang sebagai suatu "gerakan politik" ketimbang suatu gerakan yang mencerdaskan rakyat. Karena itu, pada tahun 1964 Freire diusir oleh pemerintah untuk meninggalkan Brazil. Pendidikan pembebasan, menurut Freire adalah pendidikan yang membawa masyarakat dari kondisi "masyarakat kerucut" (submerged society) kepada masyarakat terbuka (open society).
  1. Keberadaan Manusia di dalam (in) dan dengan (with) Dunia
Manusia sebagai makhluk yang tidak sempurna, punya panggilan ontolosis dan historis untuk menjadi manusia yang lebih sempurna. Apa yang di maksud dengan “ontological vacation” adalah panggilan alamiah dari dalam diri manusia untuk merealisasikan potensinya sebagai manusia secara penuh. Kebalikanya “dehumanisasi adalah distorsi panggilan ontologis manusia untuk menjadi manusia sampurna. Dalam proses menjadi manusia diajak untuk secara terus-menerus memanusiakan diri mereka lewat menamakan (naming) dunia dalam aksi-refleksi dengan manusia yang lain. Manusia, sebagi subjek, dalam konteks ini diakarkan pada perjuangan historis. Dalam diskusinya tentang Paulo Freire, Coulun Lankshear mengatakan bahwa Freire mengatakan manusia adalah “makhluk praksis yang hidup secara otentik hanya ketika terlibat dalam transformasi dunia.” Dus, manusia, sebagai historical beings, harus sadar bahwa mereka hidup dalam suatu ruang dan waktu tertentu yang dibentuk oleh beragam dimensi-dimensi kehidupan, seperti gender, ras, agama, etnik, dan budaya. Proses pendidikan diarahkan untuk membantu manusia memahami realitas eksistenisal mereka untuk kemudian menggubahnya[19].
Darisitu kita berangkat dari pemahaman mausia sebagai makhluk hidup di dalam dan dengan dunia. Karena pelaku konsistensi adalah subjek (Makhluk yang sadar), maka konsistensi seperti juga pendidikan merupakan sebuah proses kemanusiaan yang khusus dan eksklusif. Dalam proses kemanusiaan sebagai makhluk yang sadar, manusia bukan hanya hidup di dunia namun juga bersama dengan dunia, bersama dengan orang lain. Hanya manusia sebagai makhluk yang terbuka yang dapat melakukan transformasi terhadap dunia secara berkesinambungan denga aksi, pemahaman dan mengungkapkan kenyataan dalam bahasa yang kreatif.
Manusia dapat hidup bersama dengan dunia karena dia dapat menjaga jarak dengannya secara  objektif. Tanpa objektifikasi seperti ini, termasuk mengobjektifikasi dirinya, manusia hanya dapat hidup di dunia tampa pengetahuan tentang dirinya dan dunia[20]. Disamping itu juga mereka bisa di dan bersama dunia karena mereka punya kapasitas untuk berpikir. Kapasitas berpikir inilah yang membuat manusia mampu memproblematisasi kontradiksi-kontradiksi yang terjadi dalam realitas kehidupan dan bagaimana mengubahnya. Mereka juga mampu memahami dan mengubah dunia lewat bahas pikirannya untuk menciptakan sejarah dan masa depan[21].
Lain halnya dengan binatang yang hanya berada di dunia karena tidak dapat mengobjektifikasi dirinya dan dunia. Binatang hidup tanpa menperhitungkan waktu, tanpa bahasa verbal, tenggelam didasar dunia tanpa ada kemungkinan untuk muncul ke permukaan atau mengatur dan mengikuti perkembangan jaman. Sebaliknya, manusia mampu mengatur dan menteransendensikan diri serta terus mengembangkan apa yang telah dilakukanya. To Exsit berarti suatu cara hidup manusia yang sanggup melakukan transformasi, produksi, membuat keputusan, berkreasi dan berkomunikasi dengan diri sendiri[22].
Manusia yang hanya sekedar hidup tidak akan dapat melakukan refleksi dan mengetahui bahwa dirinya hidup di dunia. Berbeda dengan subjek yang menghayati hidupnya dengan ‘kekuasaan’ (dominan) dan yang mempertahankan hubungannya dengan dunia. Kekuasaannya adalah karya, sejarah, kebudayaan, nilai di mana manusia menjalani pengembaraannya dalam dialektika antara deteminisme dan kebebasan.
Jika manusia tidak mengikuti perkembangan dunia dan ‘muncul’ kepermukaan sebagaimana kesadaran dimaknai sebagai pengakuan (admiration) atas dunia sebagai objek, maka manusia hanya akan menjadi makhluk yang menyerah pada takdir (determinate being), dan manusia tidak mungkin dapat berpikir secara bebas. Hanya manusia yang menyadari bahwa dirinya mempunyai kemauan, yang mampu membebaskan dirinya. Semua ini merupakan refleksi yang akan menghasilkan perubahan dunia, bukan sekedar kesadaran semu. Oleh karena itu, kesadaran akan kenyataan yang ada dan tindakan perubahan dunia, bukan sekedar kesadaran semu. Oleh karena itu, kesadaran akan kenyataan yang ada dan tindakan didunia adalah konstituen yang tak terpisahkan dari transformasi dengan pelaku manusia yang menjadi makhluk yang mempunyai hubungan (beings or relations). Ciri ciri kemanusiaan seperti refleksi, kesungguhan, terikat waktu, transendensi, kesadaran dan aksi, membedakannya dari hubungan binatang dengan dunia. Hubungan binatang dengan dunia tidak krits binatang tidak mempunyai proses asosiasi pengalaman. Binatang itu singular, tidak plural. Binatang tidak merumuskan tujuan hidupnya, maka ia hidup pada tingkat immersion dan tidak megenal waktu (atemporal)[23].
Perjanjian dengan dunia dan menjaga jarak secara objektif, memahami kenyataan sebagai objek, memahami signifikasi tindakan manusia pada kenyataan objektif, berkomunikasi dengan alat yang disebut bahasa, respon yang plural terhadap sebuah tantangan semua ini merupakan dimensi-dimensi yang menguji refleksi kritis manusia dalam hubungannya dengan dunia. Kesadaran dituangkan dalam dialektika antara objektifikasi dan tidakannya. Kesadaran itu bukan sekedar refleksi, namun refeksi terhadap kenyataan matrial.
Jika kesadaran tidak akan terwujud tanpa diakui oleh dunia, maka dunia juga tidak akan ada jika dunia itu sendiri dalam menyatakan kesadaran tidak menjadi objek refleksi kritis manusia. Maka objektifisme yang mekanistik tidak akan dapat menjelaskan manusia seperti idealisme yang solipsistik yang mengabaikan dunia.
Bagi objektifisme mekanistik, kesadaran hanyalah tiruan kenyataan objektif. Bagi solipsisme, dunia direduksi menjadi penciptaan kesadaran yang tidak teratur. Dalam kasus pertama, kesadaran tidak akan dapat mentransendensi keadaan, sedangkan dalam kasus kedua, spanjang solipsime menciptakan (creates) kenyataan, maka berarti apriori terhadapnya. Oleh karena itu, manusia tidak terikat dengan transformasi. Dalam pengertian yang objektif, teransformasi ini tidak akan terwujud, karena bagi objektifisme kesadaran yang merupakan replika atau tiruan dari kenyataan, adalah objek kenyataan, dan kenyataan akan ditransformasikan dengan sendirinya. Pandangan solipsistik tidak sesuai dengan konsep transformasi kenyataan, jika transformasi kenyataan yang dibayangkan absurd. Dalam kedudukan konsep kesadaran tersebut, tidak ditemukan praksis yang sebenarnya. Paksis hanya akan mungkin jika dialektika objektif-subjektif tetap dilakukani[24].
  1. Pendidikan dan Realitas Sosial
Pendidikan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan susana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecedasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.[25] Secara tegas menjelaskan bahwa sebuah proses menjadi prioritas utama dalam pendidikan bagi manusia. Pendidikan memiliki misi untuk membantu menumbuhkembangkan potensi-potensi kemanusiaan baik itu potensi intelektual maupun social. Pendidikan yang diperoleh tidak cukup hanya memiliki kemampuan intelektualitasnya saja yang menjadikan manusia berfikir pragmatis dan menciptakan manusia sebagai alat produksi. Secara tidak langsung menyebutkan bahwa pendidikan hanya dimanfaatkan untuk kepentingan dan keuntungan  bagi dirnya. Pendidikan yang sesungguhnya adalah menjadikan manusia seutuhnya yang memilki semangat perjuangan demi kepentingan bersama. Namun dalam realitasnya, nampaknya pendidikan yang dipraktikanya mengalami ketidak sesuaian semakin jauh dari landasan dan tujuan pendidikan. Manusia tidak menyadari sifat hakekatnya sebagai manusia.
Manusia merupakan makhluk yang mempunyai karakteristik yang berbeda dengan makhluk lain dan merupakan makhluk yang paling sempurna. Dengan potensinya manusia dapat melakukan eksistensinya dalam proses pendidikan dengan baik. Sehingga prakteknya manusia dapat mengetahui landasan dan tujuannya. Landasan dan tujuan pendidikan itu sendiri sifatnya filsofis normatif. Bersifat filosofis karena untuk mendapatkan landasan yang kukuh diperlukan adanya kajian yang bersifat mendasar, sistematis dan universal tentang ciri hakiki manusia. Bersifat normatif karena pendidikan mempunyai tugas untuk menumbuhkembangkan sifak hakekat manusia tersebut sebagai sesuatu yang bernilai luhur, dan hal itu menjadi keharusan. Dengan landasan dan tujuan yang jelas setidaknya dapat mengarah pendidikan seperti apa yang akan dicapai.
Praktek penyelenggaraan pendidikan pada suatu masyarakat selalu dilatar belakangi oleh pertimbangan subjektif masing-masing berupa filosofis, nilai-nilai, serta suatu prinsip yang dipilih. Pertimbangan subjektif tersebut sebenarnya bisa dimengerti, mengingat praktek pendidikan merupakan bagian dari bentuk aktualisasi atas keinginan-keinginan masyarakat dalam mewujudkan kehendaknya. Kehendak masyarakat yang dimaksud merupakan sebuah cita-cita sosial, kemana pendidikan itu diarahkan.[26] Dalam pendidikan tidak ada terdapat proses mengajar dan diajar namun sejatiya memahami makna apa yan diajarkan untuk diterapakn. Meminjam ungkapan Paulo Freire (1972), mengajar bukan sekadar memindahkan pengetahuan dengan hafalan. Mengajar tidak dapat direduksi sebagai mengajar untuk mengajar, tetapi mengajar akan berfungsi bila siswa belajar untuk belajar (learn to learn). Artinya, siswa sanggup belajar alasan dan tujuan dari objek dan isi yang dipelajari. Mengintegrasikan realitas sosial ke dalam praktik pendidikan akan membuat keluaran pendidikan tidak sekadar menghafal dan tahu lebih banyak informasi pengetahuan, tetapi juga sanggup memberi nilai praktis atas informasi yang diperolehnya.  
 Perlu diketahui bersama bahwa mengetahui sifat hakekat manusia merupakan hal yang pokok dalam mewujudkan pendidikan yang berladaskan dan bertujuan. Sedangkan wujud sifat hakekat manusia sebagaimana yang dikemukakan oleh paham eksisitensialisme dengan maksud untuk membenahi konsep pendidikan yaitu:[27]
a.       Kemampuan menyadari diri
Kemampuan menyadari diri yang dimiliki manusia merupakan hal yang membedakan manusia dengan makhluk lain. Manusia dapat menyadari bahwa ia memiliki karakteristik diri. Sehingga dapat membedakan dirinya dengan aku aku yang lain dan dengan lingkungan sekitar 
b.      Kemampuan bereksistensi
Manusia dapat menembus atau menerobos dan mengatasi batas- batas belenggu yang ada pada dirinya. Kemampuan tersebut bukan hanya kaitannya soal ruang, melainkan juga dengan waktu.
c.       Pemilikan kata hati
Kata hati merupakan kemampuan yang ada pada diri manusia yang memberi penerangan baik buruknya perbuatan sebagai manusia
d.      Moral
Moral merupakan perwujudan dari perbuatan kata hati. Kedua hal ini masih memiliki jarak. Seseorang yang memiliki kata hati yang tajam belum tentu secara otomatis dapat direalisasikan.
e.       Kemampuan bertaggung jawab
Tanggung jawab merupakan kesediaan untuk menanggung akibat dari perbuatan yang menuntut jawab.
f.       Rasa kebebasan (kemerdekaan)
Kebebasan yang dimaksud adalah bebas dalam berbuat sepanjang tidak bertentangan dengan tuntutan kodrat manusia. Artinya kebebasan yang lakukan sesuai dengan kata hati yang diwujudkan dengan perbuatan moralnya tanpa diikuti oleh rasa kekhawatiran. 
g.      Kesediaan melaksanakan kewajiban dan menyadari hal
Kewajiban dan hak merupakan dua macam gejala yang timbul sebagai manifestasi dari manusia sebagai makhluk sosial. Jika seseorang mempunyai hak untuk menuntut sesuatu maka tenti ada pihak-pihak lain yang berkewajiban untuk memenuhi hak tersebut.
h.      Kemampuan menghayati kebahagiaan.
Kebahagiaan merupakan bentuk luapan ekspresi manusia dalam kehidupannya. Pengahayatan hidup yang disebut kebahagiaan ini meskipun tidak mudah dijabarkan tetapi tidak sulit untuk dirasakan. Pada dasarnya Kebahagiaan itu rupanya tidak terletak pada keadaannya sendiri secara faktual ataupun pada rangkaian prosesnya, maupun pada perasaan yang diakibatkannya tetapi terletak pada kesanggupan menghayati semuanya itu dengan keheningan jiwa dan mendudukkan hal-hal tersebut di dalam rangkaian (usaha,norma-norma, dan taqdir).
Pendidikan diharapkan memberikan pengetahuan yang memungkinkan orang dapat mengatasi masalah-masalah kehidupan dalam tugas-tugas profesional maupun dalam kehidupan sehari-hari.[28] Sekarang ini anggapan masyarakat semakin kuat mengenai pendidikan merupakan jalan untuk mencari kerja. Orang tua menyekolahkan anaknya agar kelak memperoleh pekerjaan yang memadahi sesuai dengan apa yang ditanamkan disekolah. Hal ini yang menjadi pertimbangan bagi orang tua. Budaya pragmatis sekarang ini sudah merajalela dalam kehidupan publik. Sehingga menganggap bahwa nilai kuantitatif menjadi lebih penting dari pada kualitatifnya.  Maka dari itu perlu adanya pemahaman pendidikan. Pendidikan bukan dibangun dalam kerangka ekonomi saja akan tetapi bagaimana memahaminya secara non- ekonomi dalam proses pendidikan. Kita harus menyadari bahwa pendidikan dan sekolah tidaklah identik dengan mencari kerja. Karena hal tersebut bukanlah inti pokok. Mencari  kerja adalah bagian, bukan tujuan utama. Tujuan yang lebih mulia adalah untuk memahami kehidupan, memahami bagaimana realitas eksistensial dikontruksi, memahami bagaiman seharusnya hidup di dan bersama dunia, dan bagaimana menjadi subjek di tengah-tengah perubahan social.[29]


Kesimpulan
Pendidikan merupakan pimpinan dan bimbingan bagi peserta didik. Pendidikan menjadikan prosesnya harus berjalan dengan kebijakan “Learning Process Skill” daripada “Learning Concept”. Pada pendekatan proses akan ditandai dengan kurikukulum yang student centered, bukan teacher centered. Peran guru lebih sebagai fasilitator, mediator, dinamisator, organisator, dan katalisator yang bekerja keras untuk memberlakukan “dialog” sebagai ruh yang mendasari hidupnya proses pendidikan, serta tidak mencoba menerapkan sikap “anti dialog” di dalamnya. Sehingga paradigma pendidikan semacam ini sering disebut sebagai pendidikan “produksi kesadaran kritis
Ada 3 (tiga) filosofis dari ciri pokok pendidikan kritis yaitu: Belajar dari realitas atau pengalaman, Tidak menggurui, Dialogis. Tetapi di sisi lain, Ali Shari’ati seorang sosiolog muslim mengedepankan empat belenggu manusia yakni, historisme, sosiologisme, biologisme, dan Ego.
Dengan demikian, untuk mewujudkan kesadaran kritis maka peran pendidikan sebagai pembebas manusia dari keterjebakan dan keterbelengguan jiwa manusia dalam dan/atau oleh orientasi semu.  Di sisi lain, melalui pendidikan pula proses penciptaan mentalitas dan kultur demokrasi suatu masyarakat dapat dilakukan.
Hal itu bisa terjadi bila “(manusia) bebas terhadap ikatan-ikatan yang berasal dari luar, yang mencegahnya bertindak dan berfikir menurut apa yang mereka anggap cocok. Ia akan bertindak bebas, jika ia tahu tentang masalahnya. Kalau kita lihat kebebasan manusia itu dapat disimpulkan ada dua kebebasan yang dimiliki manusia yaitu kebebasan vertikal yang arahnya kepada Tuhan dan kebebasan horisontal yang arahnya kepada sesama makhluk.
Disatu sisi manusia bisa hidup di dan bersama dunia karena mereka punya kapasitas untuk berpikir. Kapasitas berpikir inilah yang membuat manusia mampu memproblematisasi kontradiksi-kontradiksi yang terjadi dalam realitas kehidupan dan
bagaimana mengubahnya. Mereka juga mampu memahami dan mengubah dunia lewat bahas pikirannya untuk menciptakan sejarah dan mansa depan. Sehingga menjadikan manusia seutuhnya yang memilki semangat perjuangan demi kepentingan bersama.

Daftar Pustaka
……UU SIKDIKNAS No 20 Tahun 2003
Dalam Islam, secara normative disandarkan pada sebuah hadits Nabi “Tuntutlah ilmu dari buaian sampai ke liang lahat”.
Escobar, M dkk (ed.), Sekolah Kapitalisme yang Licik, cet. III, (Yogyakarta: LKiS, 2001)
Fakih, Mansour ,Pendidikan Populer
Francis Wahono, Kapitalisme Pendidikan: Antara Kompetensi dan Keadilan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001)
Freire, Paulo, Politik Pendidikan Kebudayaan Kekuasaan dan Pembebasan, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007)
Friere, Paulo, Pendidikan Kaum Tertindas, (trj), (Jakarta : LP3ES, 1985),
Friere, Paulo, Pendidikan Sebagai Praktik Pembebasan, (trj), (Jakarta : Gramedia, 1984)
Karim, Rusli “Pendidikan Islam Sebagai Upaya Pembebasan Manusia” dalam Muslih Usa (ed), Pendidikan Islam di Indonesia ; Antara Cita dan Fakta, (Yogyakarta ; Tiara Wacana, 1999)
Kleden, Ignas, “Pengantar” dalam Sudjatmoko, Etika Pembebasan, (Jakarta : LP3ES, 1984).
Langgulung, Hasan, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, (Bandung ; al-Maarif, 1980)
Machfudin, “Antara Konsientasi, Masifikasi dan Gnosiologi Dalam Pendidikan”, dalam Jurnal Insania No 2 Th I(Purwokerto: IAIN Walisongo Fak. Tarbiyah Purwokerto, 1996)
Nuryatno, M. Agus, Mazhab Pendidikan Kritis menyingkap relasi pengetahuan politik dan kekuasaan, (Yogyakarta, Resist book, 2008).
Raharja, Umar Tirta. dan Sula, S. L.La, Pengantar Pendidikan (Edisi Revisi), (Jakarta : PT Rineka Cipta), hlm. 4
Rahman,  Arif, Politik Ideologi Pendidikan, (Yogyakarta : Lask Bang Mediatama,2009) hlm 89
Shari’ati, Ali, Tugas Cendekiawan Muslim, Terj. Dr. Amin Rais (Yogyakarta: Solahudin Press, 1980).
Sudjatmoko, Pembangunan dan Pembebasan, (Jakarta : LP3ES, 1984).
Zamroni, Pendidikan Untuk Demokrasi Tantangan Menuju Civil Society (Yogyakarta: Bigraf Publishing, 2001)
Zuchdi, Darmiyati, Humanisasi Pendidikan Menemukan Kembali Pendidikan yang Manusiawi, (Jakarta : PT Bumi Aksara,2008), hlm. 124



[1] Zaim Elmubarok, Membumikan Pendidikan Nilai Mengumpulkan yang Terserak, Menyambung yang Terputus, dan Menyatukan yang Tercerai, (Bandung : Alfabeta, 2008), hlm. 3
[2] Dalam Islam, secara normative disandarkan pada sebuah hadits Nabi “Tuntutlah ilmu dari buaian sampai ke liang lahat”.
[3] Hasan Langgulung,Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, (Bandung ; al-Maarif, 1980), hlm. 92.
[4] Rusli Karim, “Pendidikan Islam Sebagai Upaya Pembebasan Manusia” dalam Muslih Usa (ed), Pendidikan Islam di Indonesia ; Antara Cita dan Fakta, (Yogyakarta ; Tiara Wacana, 1999), hlm. 28
[5] Machfudin, “Antara Konsientasi, Masifikasi dan Gnosiologi Dalam Pendidikan”, dalam Jurnal Insania No 2 Th I(Purwokerto: IAIN Walisongo Fak. Tarbiyah Purwokerto, 1996), hal. 8.
[6] Mansour Fakih, Pendidikan Populer, hal. 11.
[7] Ibid, hal. 61
[8] Ali Shari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, Terj. Dr. Amin Rais (Yogyakarta: Solahudin Press, 1980), hal. 49-76.
[9] Machfudin, “Antara Konsientasi, Masifikasi dan Gnosiologi Dalam Pendidikan”, hal. 8-9
[10] Zamroni, Pendidikan Untuk Demokrasi Tantangan Menuju Civil Society (Yogyakarta: Bigraf Publishing, 2001), hal.Viii.
[11] Francis Wahono, Kapitalisme Pendidikan: Antara Kompetensi dan Keadilan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001),hal. Viii.
[12] Hasan Langgulung,Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, (Bandung ; al-Maarif, 1980), hlm. 92.
[13] Rusli Karim, “Pendidikan Islam Sebagai Upaya Pembebasan Manusia” dalam Muslih Usa (ed), Pendidikan Islam di Indonesia ; Antara Cita dan Fakta, (Yogyakarta ; Tiara Wacana, 1999), hlm. 28
[14]Lihat Paulo Friere, Pendidikan Kaum Tertindas, (trj), (Jakarta : LP3ES, 1985), terutama pada Bab. 2.
[15] Paulo Friere, Pendidikan Sebagai Praktik Pembebasan, (trj), (Jakarta : Gramedia, 1984), hlm. 6 – 7.
[16] Ignas Kleden, “Pengantar” dalam Sudjatmoko, Etika Pembebasan, (Jakarta : LP3ES, 1984).
[17] Sudjatmoko, Pembangunan dan Pembebasan, (Jakarta : LP3ES, 1984).
[18] M. Escobar dkk (ed.), Sekolah Kapitalisme yang Licik, cet. III, (Yogyakarta: LKiS, 2001), hal. xvi.
[19] M. Agus Nuryatno, Mazhab Pendidikan Kritis menyingkap relasi pengetahuan politik dan kekuasaan, Yogyakarta, Resist book, 2008, hal. 40.
[20] Paulo Freire, Politik Pendidikan Kebudayaan Kekuasaan dan Pembebasan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007, hal,123.
[21] M. Agus Nuryatno, Mazhab Pendidikan Kritis menyingkap relasi pengetahuan politik dan kekuasaan, Yogyakarta, Resist book, 2008, hal. 41.
[22] Paulo Freire, Politik Pendidikan Kebudayaan Kekuasaan dan Pembebasan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007, hal. 124
[23] Ibid..hal, 125.
[24] Ibid..126.
[25] UU SIKDIKNAS No 20 Tahun 2003.hlm 3
[26] Arif Rahman, Politik Ideologi Pendidikan, (Yogyakarta : Lask Bang Mediatama,2009) hlm 89
[27] Umar Tirta Raharja dan S. L.La Sula, Pengantar Pendidikan (Edisi Revisi), (Jakarta : PT Rineka Cipta), hlm. 4
[28] Darmiyati Zuchdi, Humanisasi Pendidikan Menemukan Kembali Pendidikan yang Manusiawi, (Jakarta : PT Bumi Aksara,2008), hlm. 124
[29] M. Agus Nuryano, Mazhab Pendidikan Kritis Menyikap Relasi Pengetahuan Politik dan Kekuasaan, (Yogyakarta : Resist Book,2008) hlm. 83

Tidak ada komentar:

Posting Komentar