Oleh: Arfian Bayu Bekti
BAB I
PENDAHULUAN
Sejarah pemikiran dalam Islam
memang merupakan bawaan dari ajaran Islam sendiri. Karena dalam Al-Qur’an
terdapat banyak ayat-ayat yang memerintahkan untuk membaca, berfikir,
menggunakan akal, yang kesemuanya medorong umat Islam terutama pada ahlinya
untuk berfikir mengenai segala sesuatu guna mendapatkan kebenaran dan
kebijaksanaan.
Kebangkitan pemikiran dalam
dunia Islam baru muncul abad 19 yang dipelopori oleh Sayyid Jamalludin
al-Afghani di Asia Afrika, Muhammad Abduh di mesir. Kedua tokoh ini di bawa
oleh pelajar Indonesia yang belajar di Timur Tengah seperti
diantaranya K.H. Ahmad Dahlan. Berbekal ilmu agama yang ia kuasai dan ide-ide
pembaru dari Timur Tengah, K.H. Ahmad Dahlan mencoba menerapkannya di bumi
Nusantara.
Muhammad Dahlan dididik dalam
lingkungan pesantren sejak kecil yang mengajarinya pengetahuan agama dan bahasa
Arab. la menunaikan ibadah haji ketika berusia 15 tahun (1883), lalu
dilanjutkan dengan menuntut ilmu agama dan bahasa Arab di Mekkah selama lima
tahun.
Di sinilah ia berinteraksi
dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam dunia Islam, seperti Muhammad Abduh,
al-Afghani, Rasyid Ridha, dan Ibn Taimiyah. Buah pemikiran tokoh-tokoh Islam
ini mempunyai pengaruh yang besar pada Darwisy. Jiwa dan pemikirannya penuh
disemangati oleh aliran pembaharuan ini yang kelak kemudian hari menampilkan corak
keagamaan yang sarna, yaitu melalui Muhammadiyah, yang bertujuan untuk
memperbaharui pemahaman keagamaan (keislaman) di sebagian besar dunia Islam
saat itu yang masih bersifat ortodoks (kolot).
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Riwayat Hidup Singkat KH
Ahmad Dahlan
Kyai Haji Ahmad Dahlan yang pada waktu kecilnya bernama
Muhammad Darwis. Beliau dilahirkan di Kauman Yogyakarta dari pernikahan Kyai Haji
Abu Bakar dengan Siti Aminah pada tahun 1285 H (1868 M ). Kyai Haji Abu Bakar
adalah khatib di Majid Agung Kesultanan Yogyakarta, sedangkan ayahnya Siti
Aminah adalah penghulu besar di Yogyakarta.[1]
Kampung Kauman sebagai tempat kelahiran dan tempat
Muhammad Darwis dibesarkan merupakan lingkungan keagamaan yang sangat kuat,
yang berpengaruh besar dalam perjalanan hidup Muhammad Darwis di kemudian hari.
Ayahnya KH Abu Bakar adalah Khotib Masjid Agung Yogyakarta. KH Ahmad Dahlan
belajar mengaji sekitar tahun 1875 dan masuk pesantren. Sudah sejak kanak-kanak
diberikan pelajaran dan pendidikan agama
oleh orang tuanya, oleh para guru (ulama) yang ada di dalam masyarakat
lingkungannya. Ini menunjukan naluri melainkan juga melalui ilmu-ilmu yang
diajarkan kepadanya. Pengetahuan yang dimiliki sebagian besar merupakan hasil
otodidaknya, kemampuan membaca dan menulisnya diperoleh dari belajar kepada
ayahnya, sahabatnya dan saudara-saudaranya dan iparnya. Ia di didik sendiri
melalui cara pengajian yaitu dengan menirukan kalimat-kalimat atau bacaan yang
diajarkan oleh ayahnya.
Dikala muda KH. Ahmad Dahlan terkenal memiliki pikiran
yang cerdas dan bebas memiliki akal budi yang bersih dan baik. Pendidikan agama
yang diterima dipilih secara selektif tidak hanya itu tetapi sesudah dipikirkan
di bawa dalam perenungan-perenungan, ingin dilaksanakannya dengan
sebaik-baiknya. Waktu menjelang dewasa KH Ahmad Dahlan belajar Ilmu Fiqih
kepada KH Muhammad Shaleh. Dan belajar Ilmu Nahwu kepada KH Muhsin, kemudian
gurunya yang lain ialah KH Abdul Hamid. Keahlian dalam Ilmu Falaq, diperoleh
dari belajar dan berguru kepada KH Raden Dahlan salah seorang putra Kyai Termas
dan yang terakhir Ilmu Hadits dipelajarinya dari Kyai Mahfud dan Syech Khayyat.[2]
Pada usia 22 tahun (1890) dengan bantuan kakaknya ( Nyai
Hajah Sholeh ) beliau pergi ke Makkah, dan belajar disana selama satu tahun
untuk memperdalam ilmu pengetahuan tentang Islam, setelah kembali lagi ke
Kauman Yogyakarta KH Ahmad Dahlan membantu ayahnya mengajar pengajian anak-anak
namun pada kesempatan-kesempatan yang memungkinkan sering pula KH Ahmad Dahlan
mewakili ayahnya memberikan pelajaran keagamaan kepada orang-orang yang usianya
lebih tua dari dirinya sendiri, keadaan itu telah menyebabkan pengaruh KH Ahmad Dahlan luas
karena masyarakat semakin yakin bahwa KH Ahmad Dahlan adalah seorang yang
memiliki ketaatan beragama yang baik dan seorang yang mumpuni, baik dalam ilmu
maupun dalam penalangan akal budi, oleh sebab itu maka KH Ahmad dahlan di
gelari degan sebutan “Kyai” lengkapnya Kyai Haji Ahmad Dahlan. Sebagai seorang
kyai, KH Ahmad Dahlan merupakan sosok ulama yaitu orang yang saleh dan menekuni
serta memiliki wawasan keilmuan tentang agama Islam.
Dalam silsilah, beliau termasuk keturunan yang kedua
belas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali besar dan seorang yang terkemuka
di antara Wali Songo, yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan
pengembangan Islam di tanah Jawa.
B.
Dasar Pemikiran
Selama beliau berstudi di Makkah tampaknya Tafsir al-
Manar yang dikarang oleh Muhammad Abduh mendapat perhatian serius dan yang
paling disenanginya, tafsir ini memberikan cahaya terang dalam hatinya serta
membuka akalnya untuk berfikir jauh kedepan tentang eksitensi Islam di Indonesia yang pada waktu itu masih
sangat tertekan dari penjajah kolonial Belanda, ketika ia belajar di Makkah
itulah, mempunyai kesempatan baik untuk dapat bertukar pikiran langsung dengan
Rasyid Ridha, yang diperkenalkan KH Bakir. Ide reformasi telah meresap di
hatinya, dengan dasar ilmu-ilmu yang diperolehnya, demikian pula pengalaman
keagamaan yang ia alami di Makkah, mendorong ia melakukan perubahan-perubahan
yang berarti dalam kehidupan keagamaan kaum Muslimin di tanah air.[3]
Dalam bukunya Dr. H. Maksum (1999) Steenbrink
mengidentifikasikan ada empat faktor yang mendorong gerakan pembaharuan Islam
di Indonesia awal abad 20 antara lain:
1.
Faktor keinginan untuk kembali
kepada al-Qur’an dan al- Hadits.
2.
Faktor semangat nasionalisme
dalam melawan penjajahan.
3.
Faktor memperkuat basis gerakan
sosial, ekonomi, budaya dan politik.
4.
Faktor pembaharuan pendidikan
Islam di Indonesia.
Dalam hal ini ia memberi catatan bahwa, ke empat faktor
itu tidak secara terpadu mendorong gerakan pembaharuan; melainkan bahwa
gerakan-gerakan pembaharuan yang muncul di Indonesia disebabkan oleh salah satu
atau dua faktor tersebut. Dengan kata lain menurut Steenbrink gerakan-gerakan
pembaharuan Islam di Indonesia memiliki alasan atau motif yang berbeda-beda.
Untuk itu KH. Ahmad Dahlan mendirikan sebuah organisasi
Islam yaitu Muhammadiyah pada tanggal 18 November 1912. KH. Ahmad Dahlan meletakkan batu pertama ke
organisasian Islam dengan Muhammadiyah, ini atas dasar melihat tujuan
didirikannya Muhammadiyah kiranya semua motif yang empat diatas adalah benar
atas dasar pemikiran KH. Ahmad Dahlan.
Ada beberapa faktor intern dan faktor ekstern, yang
mendorong mengapa KH. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah:[4]
Yang merupakan faktor intern adalah:
a.
Kehidupan beragama tidak sesuai
dengan Al-Qur’an dan Hadits, karena merajalelanya taklid, bid’ah dan churafat
(TBC), yang menyebabkan Islam menjadi beku.
b.
Keadaan bangsa Indonesia serta
umat Islam yang hidup dalam kemiskinan, kebodohan, kekolotan dan kemunduran.
c.
Tidak terwujudnya semangat
ukhuwah Islamiyah dan tidak adanya organisasi Islam yang kuat.
d.
Lembaga pendidikan Islam tak dapat
memenuhi fungsinya dengan baik, dan sistem pesantren yang sudah sangat kuno.
e.
Adanya pengaruh dan dorongan,
gerakan pembaharuan dalam Dunia Islam.
Faktor-faktor ekstern, mencakup:
a.
Adanya kolonialisme Belanda di
Indonesia.
b.
Kegiatan serta kemajuan yang dicapai
oleh golongan Kristen dan Katolik di Indonesia.
c.
Sikap sebagian kaum intelektual
Indonesia yang memandang Islam sebagai agama yang telah ketinggalan zaman.
d.
Adanya rencana politik
kristenisasi dari pemerintah Belanda, demi kepentingan politik kolonialnya.
Pendirian KH. Ahmad Dahlan mengenai pentingnya
organisasi bagi pelaksanaan dakwah amar ma’ruf nahi munkar, memang
mutlak meskipun dalam hal ini organisasi hanya merupakan sarana, bukan tujuan.
Ada tujuan yang tidak dapat sampai kepada tujuan yang dicita-citakan, hal ini
di sebabkan sarana itu tidak tepat atau kurang sesuai dengan tuntutan kemajuan
zaman dalam dakwah amar ma’ruf nahi munkar.
Banyak kalangan yang menggambarkan K.H. Ahmad Dahlan
adalah sosok tua yang memakai sorban dan menentang keras apapun yang berbau
budaya Barat. Anggapan semacam itu bisa dimaklumi, bisa jadi lantaran selama
ini gambar beliau yang terpampang di mana-mana adalah sosok yang sudah sepuh
memakai sorban. Padahal, beliau di masa mudanya merupakan sosok yang
berpenampilan cukup “gaul.” Hal itu antara lain tercermin pada penampilan
beliau saat pulang dari Makkah yang menenteng kitab dan biola.
C.
Pemikiran Pendidikan
KH. Ahmad Dahlan adalah tokoh yang tidak banyak
meninggalkan tulisan, beliau lebih menampilkan sosoknya sebagai manusia amal
atau praktisi dari pada filosuf yang banyak melahirkan gagasan-gagasan tetapi
sedikit amal, sekalipun demikian tidak berarti beliau tidak memiliki pemikiran.
Sebagai wujud kongkrit yang dicetuskan beliau yaitu Muhammadiyah yang sampai
sekarang masih eksis.
Adapun metode yang ditawarkan KH. Ahmad Dahlan merupakan
sintesis antara metode pendidikan Belanda dengan metode pendidikan tradisional.
Amal usaha Muhammadiyah merupakan refleksi dan manifestasi pemikiran beliau
dalam bidang pendidikan dan keagamaan. Istilah pendidikan disini dipergunaksn
dalam konteks yang luas tidak hanya terbatas pada sekolah formal tetapi
mencakup semua usaha yang dilaksanakan secara sistematis untuk
mentransformasikan ilmu pengetahuan, nilai dan keterampilan dari generasi
terdahulu kepada generasi muda, dalam konteks ini termasuk dalam pengertian
pendidikan adalah kegiatan pengajian, tabligh dan sejenisnya.
Adapun tujuan pendidikan menurut KH. Ahmad Dahlan yaitu
membentuk manusia yang:
1.
Alim dalam ilmu agama.
2.
Berpandangan luas, dengan
memiliki pengetahuan umum;
3.
Siap berjuang, mengabdi untuk
Muhammadiyah dalam menyantuni nilai-nilai keagamaan pada masyarakat.
Rumusan tujuan pendidikan tersebut merupakan pembaharuan
dari tujuan pendidikan pesantren yang hanya bertujuan untuk menciptakan
individu yang salih dan mendalami ilmu agama. Di dalam system pendidikan
pesantren tidak diajarkan sama sekali pelajaran dan pengetahuan umum serta
menggunakan tulisan latin. Semua kitab dan tulisan yang diajarkan menggunakan
bahasa dan tulisan Arab. Sebaliknya, pendidikan sekolah model Belanda merupakan
pendidikan “sekuler” yang di dalamnya tidak diajarkan ilmu agama sama sekali.
Pelajaran di sekolah ini menggunakan huruf latin. Akibat dualisme pendidikan
tersebut dilahirkan dua kutub inteligensia; lulusan pesantren yang menguasai
agama tetapi tidak menguasai ilmu umum dan lulusan sekolah Belanda yang
menguasai ilmu umum tetapi tidak menguasai ilmu agama.
Melihat ketimpangan itu KH. Ahmad Dahlan berpendapat
bahwa tujuan pendidikan yang sempurna adalah melahirkan individu yang utuh
menguasai ilmu agama dan ilmu umum, material dan spiritual serta dunia dan
akhirat. Bagi beliau keduanya tersebut merupakan sesuatu yang tidak dapat
dipisahkan satu sama lain.
Pada tahun 1912, beliau mengadakan acara Sidratul
Muntaha, sebuah pelajaran mengaji dan berdakwah dalam rangka merintis
pergerakan Muhammadiyah di sebuah langgar di Kauman bagian selatan. Pada tahap
berikutnya, beliau mendirikan sebuah sekolah lanjutan yang berdiri pada tahun
1919 bernama Hooge School Muhammadiyah dan kemudian diganti menjadi Kweek
School pada tahun 1923. Pada tahun 1930, sekolah ini dipecah menjadi dua, untuk
laki-laki (Mu’allimin) dan perempuan (Mu’allimat).[5]
D.
Pendidikan dan Pengajaran
Muhammadiyah berusaha mengembalikan ajaran Isam pada
sumbernya yaitu Al-Qur’an dan Hadis. Muhammadiyah bertujuan meluaskan dan
mempertinggi pendidikan agama Islam, sehingga terwujud masyarakat Islam yang
sebenarnya. Untuk mencapai tujuan itu, muhammadiyah mendirikan sekolah-sekolah
yang tersebar di seluruh Indonesia.
Masalah pendidikan dan pengajaran menjadi perhatian yang
utama dari Muhammadiyah. Pada 30 Maret - 2 April 1923, Muhammadiyah secara
mendalam membicarakan lembaga yang menentukan corak masyarakat dikemudian hari.
Sebagai hasilnya pada tanggal 14 Juli 1923 berdirilah suatu badan yang diberi
nama Majelis Pimpinan Pengajaran Muhammadiyah. Ketua pertama Majelis Pimpinan
Pengajaran Muhammadiyah yaitu Mas Ngabehi Joyosugito.[6]
Dalam dunia pendidikan dan pengajaran Muhammadiyah telah
mengadakan pembaruan pendidikan agama. Modernisasi dalam sistem pendidikan
dijalankan dengan menukar sistem pondok pesantren dengan pendidikan modern
sesuai dengan tuntutan dan kehendak zaman.Pengajaran agama Islam diberikan di
sekolah-sekolah umum baik negeri maupun swasta. Muhammadiyah telah mendirikan
sekolah-sekolah baik yang khas agama maupun yang bersifat umum.
Sekolah-sekolah yang didirikan Muhammadiyah selalu
mengikuti stelsel pengajaran
pemerintah Hindia Belanda. Karena itu, banyak sekolah-sekolah Muhammadiyah mendapat
subsidi dari pemerintah Hindia Belanda.Pada zaman pemerintah Hindia Belanda
Muhammadiyah mempunyai bagian-bagian sekolah.[7]
Taman kanak-kanak (Bustanul
Athfal), Sekolah Angka II, Sekolah
Schakel, HIS, MULO, Inheemse
MULO, Normaalschool, Kweekschool, HIK, dan AMS; sedangkan
sekolah-sekolah agama yaitu: Ibtidaiyah
(Sekolah Dasar dengan dasar Islam), Tsanawiyah
(Sekolah Lanjutan dengan dasar Islam/Diniyah), yang hanya memberikan pelajaran
agama Islam, Muallimin/Muallimat
(Sekolah Guru Bawah Agama Islam), dan Kulhiyatul
Mubalighin (sekolah Pendidikan Guru Agama Islam). Pada zaman pendudukan
Bala Tentara Jepang sekolah-sekolah Muhammadiyah ini pada umumnya berjalan
terus meskipun ada kegoncangan disana-sini.
Muhammadiyah menanamkan keyakinan paham tentang Islam
dalam sistem pendidikan dan pengajaran.
Penerapan sistem pendidikan Muhammadiyah ini ternyata membawa hasil yang
tidak tenilai harganya bagi kemajuan, bangsa Indonesia pada umumnya dan
khususnya umat Islam di Indonesia.
Muhammadiyah, berpendirian, bahwa para guru memegang
peranan yang penting di sekolah dalam usaha menghasilkan anak-anak didik
seperti yang dicita-citakan Muhammadiyah. Yang penting bagi para guru ialah
memahami dan menghayati serta ikut beramal dalam Muhammadiyah. Dengan memahami
dan menghayati serta ikut beramal dalam Muhammadiyah, para guru dapat
menjalankan fungsinya sesuai dengan apa yang dicita-citakan Muhammadiyah.
Dalam muhammadiyah, guru menduduki tempat penting, tidak
hanya sekadar alat mekanis tanpa pengetahuan, kesadaran, motivasi, dan tujuan.
Di dalam pengertian Muhammadiyah, guru merupakan subjek pendidikan, dan subjek
dakwah yang sangat penting fungsi dan amal pengabdiannya. Perlu diketahui bahwa
tujuan Muhammadiyah dalam lapangan pendidikan yaitu membentuk manusia yang muslim
yang cakap, berakhlak mulia, percaya pada diri sendiri dan berguna bagi
masyarakat. Jadi tidak hanya bertujuan membentuk manusia intelektual saja,
tetapi juga manusia muslim, manusia moralis, dan manusia yang berwatak.
Segi menarik yang lain dari sekolah Muhammadaiyah,
pemisahan Bahasa Arab sebagai mata pelajaran yang berdiri sendiri merupakan
langkah yang menentukan dalam pandangan kaum pembaharu. Di pondok pesantren,
bahasa Arab diajarkan sebagai bagian membaca Al-Qur’an. Setelah mempelajari
huruf Arab dan cara pengucapan, ayat-ayat Al-Qur’an dipelajari secara urut, dan
tafsir ayat-ayat tertentu diberikan dalam bahasa Jawa. Tidak ada pengajaran
bahasa Arab sebagai bahasa. Sekolah Muhammadiyah mengajarkan bahasa Arab
sebagai mata pelajaran yanga berdiri sendiri. Ini telah dicoba sebagai
pembaruan dalam mempelajari Al-Qur’an dikalangan masyarakat Jawa di Mekah akhir
abad ke-19, ketika Snouck Hurgronje tinggal di sana (Hurgronje, 1931: 267).
Metode baru yang diterapkan oleh sekolah Muhammadiyah mendorong pemahaman Al-Qur’an
dan Hadis secara bebas oleh para pelajar sendiri. Tanya jawab dan pembahasan
makna dan ayat tertentu juga dianjurkan dikelas. “Bocah-bocah dimardikaake pikire (anak-anak diberi kebebasan
berpikir)”, suatu pernyataan yang dikutip dari seorang pembicara kongres
Muhammadiyah tahun 1925, melukiskan suasana baik sekolah-sekolah Muhammadiyah
pertama kali (Mailrapport No.
467X/25: 13).[8]
Dengan sistem pendidikan yang dijalankan Muhammadiyah,
bangsa Indonesia dididik menjadi bangsa berkeperibadian utuh, tidak terbelah
menjadi pribadi yang berilmu umum atau yang berilmu agama saja.
BAB III
KESIMPULAN
Ahmad Dahlan lahir di Kauman
(Yogyakarta) pada tahun 1968 dan meninggal pada tanggal 25 Februari 1921. Ia
berasal dari keluarga yang didaktis dan terkenal alim dalam ilmu agama. Ayahnya
bernama K.H. Abu Bakar, seorang imam dan khatib masjid besar KratonYogyakarta.
Sementara ibunya bernama Siti Aminah, putri K.H. Ibrahim yang pernah menjabat
sebagai penghulu di Kraton Yogyakarta.
Ide pembaharuan K.H. Ahmad
Dahlan mulai disosialisasikan ketika menjabat khatib di Masjid Agung
Kesultanan. Salah satunya adalah menggarisi lantai Masjid Besar dengan penggaris
miring 241/2 derajat ke utara. Ketika berusia empat puluh tahun, 1909, Ahmad
Dahlan telah membuat terobosan dan strategi dakwah: ia memasuki perkumpulan
Budi Utomo. Melalui perkumpulan ini, Dahlan berharap dapat memberikan pelajaran
agama kepada para anggotanya.
Gerakan pembaruan K.H. Ahmad
Dahlan, yang berbeda dengan masyarakat zamannya mempunai landasan yang kuat,
baik dari keilmuan maupun keyakinan Qur’aniyyah guna meluruskan tatanan
perilaku keagamaan yang berlandaskan pada sumber aslinya, Al-Qur’an dengan
penafsiran yang sesuai dengan akal sehat. Berangkat dari semangat ini, ia
menolak taqlid dan mulai tahun 1910 M. penolakannya terhadap taqlid semakin
jelas.akan tetapi ia tidak menyalurkan ide-idenya secara tertulis. Pada tanggal
1 Desember 1911 M. Ahmad Dahlan mendirikan sebuah Sekolah Dasar di lingkungan
Keraton Yogyakarta. Di sekolah ini, pelajaran umum diberikan oleh beberapa guru
pribumi berdasarkan sistem pendidikan gubernemen. Sekolah ini barangkali
merupakan Sekolah Islam Swasta pertama yang memenuhi persyaratan untuk mendapatkan
subsidi pemerintah.
Sementara itu, usaha-usaha
Muhammadiyah bukan hanya bergerak pada bidang pengajaran, tapi juga
bidang-bidang lain, terutama sosial umat Islam. Sehubungan dengan itu,
Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan mempunyai ciri-ciri khas sebagai
berikut:
1. Muhammadiyah
sebagai gerakan Ilam
2. Muhammadiyah
sebagai gerakan dakwah
3. Muhammadiyah
sebagai gerakan tajdid
4. Muhammadiyah
sebagai gerakan gerakan keagamaan
DAFTAR PUSTAKA
Sairin, Weinata , Gerakan Pembaharuan Muhammadiyah,
Jakarta: PT Fajar Interpratama, 1995.
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia,
Jakarta: PT Grafindo Persada, 1990.
Asrofie, M Yusron, Kyai Haji Ahmad Dahlan,
Pemikiran dan Kepemimpinannya, Yogyakarta: Yogyakarta Offset, 1983.
Mulkhan, Abdul Munir, Warisan Intelektual KH Ahmad
Dahlan dan Amal Muhammadiyah Cet I, Yogyakarta: PT Percetakan Persatuan,
1990.
Anshoriy Ch, Nasruddin, Matahari Pembaharuan,
Yogyakarta: Jogja Bangkit Publisher, 2010.
Jatmika. Sidik, Kauman;
Muhammadiyah Undercover, Yogyakarta: Gelanggang,2010
[1] M. Yusron Asrofie, Kyai Haji Ahmad Dahlan, Pemikiran dan
Kepemimpinannya, hlm. 21.
[2] Abdul Munir Mulkhan SU, Warisan Intelektual KH Ahmad Dahlan dan Amal
Muhammadiyah Cet I ,hlm. 62.
[3] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia , hlm. 95.
[4] Weinata Sairin, Gerakan Pembaharuan Muhammadiyah , hlm.
24-24.
[5] Sidik Jatmika dkk, Kauman; Muhammadiyah Undercover, hlm. 32.
[6] Nasruddin Anshoriy Ch, Matahari Pembaharuan, hlm. 110.
[7] Ibid
[8] Ibid, hlm. 112.